tag:blogger.com,1999:blog-5019271312696987372024-03-13T16:46:44.145-07:00GALERI KARYA FLPdokumentasi karya FLPgalerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.comBlogger49125tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-47838477809533381372016-01-04T20:45:00.004-08:002016-01-04T20:45:52.706-08:00Amplop KosongCerpen Daud Insyirah <div>
Dimuat di <i>Republika </i>05/18/2014</div>
<div>
<br /><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-kGiaffBzuOU/VotJ_GuE1lI/AAAAAAAAAuI/hfb7qaNwlQU/s1600/Cover%2BRusa%2BKulomang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="480" src="http://4.bp.blogspot.com/-kGiaffBzuOU/VotJ_GuE1lI/AAAAAAAAAuI/hfb7qaNwlQU/s640/Cover%2BRusa%2BKulomang.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(dok. republika)</td></tr>
</tbody></table>
<div>
<br />Syawal 1429 H<br /> <br /> IA masih menatap undangan yang bergerak perlahan mengikuti angin. Kemudian ia menyandarkan diri di tembok dan sesekali melihat undangan yang sempat ia buka beberapa hari yang lalu. Wajahnya kusut dan memelas seperti tak ada lembaran penyambung hidup di kantongnya.<br /><br />Andai ia diterima kerja di pabrik bulan ini, mungkin ia bisa memperoleh pemasukan. Jika tak ada pemasukan, apa layak menghadiri pesta pernikahan? Biasanya, orang menyebut resepsi pernikahan dengan sebutan bowo.<br /><br />Di acara tersebut ada semacam kotak infak yang dihias sedemikian rupa hingga jauh dari kesan kotak infak itu sendiri. Malahan ada juga bentuknya seperti pot bunga yang besar sekali. Namun, fungsinya sama saja. Untuk mengisi amplop. <br /><br />Tapi masalahnya, mau diisi apa? Uang pun tak ada. Jika ada paling buat beli pulsa dengan nominal terendah. Apa tidak perlu datang? Ah, bukankah menghadiri undangan itu wajib?<br /><br />“Assalamu’alaikum.”<br /><br />“Waalaikumussalam.” Bejo akhirnya datang juga. Rambutnya klimis dan mengenakan baju kotak-kotak sekaligus memamerkan motor keluaran terbaru miliknya. Bahkan, plat nomornya saja belum ada. Maklum, ia sudah bekerja di pabrik dengan gaji lumayan.<br /><br />“Lho, belum mandi Man?”<br /><br />“Ya, sudahlah.” Meski wajahnya kumus- kumus, ia sudah mandi tiga jam yang lalu. Tapi tetap saja, wajahnya memang sedemikian rupa.<br /><br />“Jadi, datang ke nikahannya Adi, kan?”<br /><br />“Tentu saja.” jawabnya pelan sambil berdiri.<br /><br />“Ndang cepat, ganti baju sana!” dengan langkah yang berat, Rochman pergi ke dalam untuk ganti baju. Tidak sampai lima menit, ia sudah siap dan tak lupa mengambil helm yang biasa digunakan ayahnya bekerja.<br /><br />Helm itu tidak SNI meski bagian belakang helm tersebut ada tulisan SNI cukup besar. Orang-orang biasa menyebutnya helm cebok atau helm gayung. Karena sejarahnya, helm itu bisa dibuat gayung juga. Tapi yang mengkhawatirkan, jika lewat jalan protokol, sudah dipastikan ia akan ditilang polisi.<br /><br />“Nggak ada helm lain?”<br /><br />“Nggak ada. Ayo berangkat.” Rochman tak mempermasalahan helm itu. Tapi, Bejo waswas. Jika polisi menilang, otomatis ia yang bayar.<br /><br />“Kamu sakit, Man?” Bejo menghidupkan mesin motornya.<br /><br />“Enggak.”<br /><br />“Laper?”<br /><br />“Ya.” Candanya membuat Bejo terpingkal. Padahal, tidak lucu-lucu amat. Akhirnya, motor pun melaju dengan gesit. Jarak antara rumah Rochman menuju lokasi tujuan sebenarnya tidak terlalu jauh. Sekitar empat kilometerlah.<br /><br />Sedangkan Bejo rumahnya malah tak sampai 10 meter dari rumah Adi yang menikah hari ini. Bila saja Rochman tidak SMS dirinya, mungkin ia bisa jalan kaki menuju resepsi pernikahannya Adi dan lima menit kemudian, mereka berdua melewati daerah pasar tradisional.<br /><br />“Sebentar… berhenti dulu, Jo.”<br /><br />“Hah?”<br /><br />“Aku mau beli amplop dulu.”<br /><br />“Halah, Ndang cepet!”<br /><br />“Oke.”<br /><br />***<br /><br />“Kok lama, Man?”<br /><br />“Aku ke counter hape dulu.” Perjalanan dilanjutkan kembali. Tidak sampai 10 menit, sampai juga di daerah perkampungan Ndelesep Jaya. Namanya sesuai dengan lokasinya. Ndelesep alias terpencil. Dan, nama di belakangnya ada kata “jaya” itu artinya banyak orang kaya di sana. Dan memang benar, di sana memang banyak orang berduit.<br /><br />Tidak sulit untuk menemui lokasi pernikahan. Suara pengeras suara yang nyaring menjadi pertanda alamat resepsi pernikahan. Suara itu semakin keras ketika langkah Bejo dan Rochman mendekat. Kalau berada di radius empat sampai lima meter, telinga akan bermasalah untuk sementara waktu.<br /><br />Suara sound system juga tidak hanya menggetarkan area sekitar. Namun, juga menggetarkan hati Rochman. Dan, yang pertama ia cari bukanlah kedua mempelai, melainkan semacam kotak infak yang di hias. Setelah matanya menerawang segala penjuru, ia pun segera menuju ke sana diiringi salam- salaman dengan pihak ke luarga. Dan, amplop itu masuk dengan sukses. Malu lah jika ia berikan langsung ke Adi.<br /><br />“Wah pasti mahal nih biaya resepsinya. Makanannya enak-enak. Ada orkes Melayu, bahkan malam harinya ada wayang juga.” Kata Bejo yang ada di belakangnya.<br /><br />***<br /><br />Seperti biasa, keluarga yang memiliki hajatan menghitung uang yang di kotak saat pagi hari. Sesuai tradisi, uang yang ada di kotak itu bukanlah hadiah. Akan tetapi, semacam utang yang harus dibayar jika esok-esok sang pemberi amplop ada hajatan. Entah itu nikahan atau khitanan.<br /><br />“Lho kok iki kosong?” Seorang wanita berusia 40 tahunan yang memiliki tahi lalat di bawah hidung itu langsung mengomel. Suaranya membuat Adi yang ada di ruang tamu terkejut dan menuju ke kamar ibunya.<br /><br />“Ada apa toh, Bu?”<br /><br />“Ini ada amplop kosong. Hanya ada tulisan. Enak betul nih orang,” Adi mengambil kertas itu dan membacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.”<br /><br />Begitulah kira-kira isinya.<br /><br />“Apa itu temanmu?” tanya Ibunya.<br /><br />“Mungkin.” Ia sebenarnya menduga pemilik tulisan itu. Tulisan yang tidak rapih bahkan setara dengan tulisan anak kelas 2 SD namun masih dapat dibaca dengan jelas. Adi agak marah dengan amplop kosong itu. Tidak ada namanya juga.<br /><br />Padahal, selain amplop itu ada juga amplop yang tidak ada identitas pengirim. Tapi, isinya Rp 325 ribu dan ibunya Adi tidak mungkin mengomel kalau tak ada nama pengirim. Tentu ia bersyukur ada uang tanpa identitas. Itu artinya, uang itu rezeki dan tidak perlu dikembalikan.<br /><br />“Enak betul temanmu itu. Dengan amplop kosong, ia dapatkan makanan gratis, suvenir dan lain-lain.” Ibunya terus mengomel. Namun, Adi tak mempermasalahkannya, sesuai tradisi, kalau ia dapat hadiah semacam itu, ia kembalikan saja saat pemilik amplop kosong itu menikah.<br /><br />***<br /><br />3 Muharram 1432 H<br /><br />“Kenapa nikahnya pada bulan Suro seperti ini, Man?” Orang Jawa biasa menyebut Muharam dengan sebutan Suro.<br /><br />“Iya. Memang kenapa?” Mereka berdua asyik mencatat undangan yang akan disebar hari ini.<br /><br />“Bulan Suro itu bulan Muharam.”<br /><br />“Iya, aku tahu.”<br /><br />“Muharam Man..Muharam. Banyak larangan di bulan itu.”<br /><br />“Kata siapa memangnya? Kalau peperangan, memang diharamkan di bulan Muharram. Apa kau berpikiran kalau nikah juga diharamkan? Ah, kau ini mengada-ada.”<br /><br />“Kata masku sih kalau nikah bulan Suro seperti ini, nanti banyak kesialan, musibah bahkan nantinya keluarga tidak harmonis.”<br /><br />“Terserah kaulah. Nabi Muhammad saja nggak ngelarang. Memang masmu peramal?”<br /><br />“Ya nggak lah. Kau tahu sendirikan masku tukang tambal ban.”<br /><br />“Lha iya, kau lebih percaya masmu atau Nabi Muhammad?”<br /><br />“Tentu saja Nabi Muhammad Man, tapi ini bulan Suro, Man ..bulan Suro…”<br /><br />Rochman hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang yakin kalau bulan Suro itu bukan bulan yang tidak baik. Padahal, tidak ada bulan baik ataupun bulan jelek untuk menikah.<br /><br />***<br /><br />9 Muharram 1432 H<br /><br />Adi masih menyimpan kertas itu. Ia memasukan ke amplop dan mengelemnya. Ia sama sekali tidak merasa aneh karena itu sudah tradisi. Seribu dibayar seribu. Kertas dibalas kertas.<br /><br />Kemudian di depan rumahnya ada orang yang memanggil. Seorang pemuda yang bertubuh besar dan berambut klimis. Orang biasanya memanggilnya Bejo.<br /><br />“Di, nggak bareng ta?”<br /><br />“Aku sibuk Jo… titip amplop ini saja ya.” Padahal, tidak juga. Ia hanya sungkan saja. Masa memberi amplop kosong, bisa makan gratis di sana.<br /><br />“Oke.” Bejo pun turun dari motor dan menerima amplop itu, tapi Bejo merasa aneh. Ia sangat peka sekali dengan uang. Seolah matanya mampu menerawang isi amplop. Bahkan, tebakannya 80 persen tepat ketika menebak jumlah uang yang ada di amplop, hanya dengan memegangnya. Entah dari mana keahlian itu ia dapatkan.<br /><br />“Eh, Di. Apa nggak salah? Ini bukan uang kan?”<br /><br />Adi kaget. Kenapa Bejo bisa tahu?<br /><br />“Ya, memang itu Jo. Memang berapa, hah? Kasihkan saja. Toh dulu Rochman memberikan itu.” Tidak salah jika saat sekolah dulu, Adi dikenal pelit. Tapi, tak seharusnya ia marah-marah begitu. Bejo langsung meninggalkan Adi. Ia sudah terbiasa dengan ucapan Adi. Bejo meremas amplop dan memasukannya ke sakunya. Kemudian Bejo menoleh kebelakang,<br /><br />“Jika kau ingin membalas dengan adil, harusnya kau berikan dua amplop. Amplop pertama isinya ucapan dan yang kedua isinya uang. Apa kau tahu Rochman menjual hape satu-satunya demi datang dan memberikan infak sebesar Rp 325 ribu ke pernikahanmu?”<br /><br /> <br /><br /> <br /><br /> <br /><br />*Pemilik nama asli Taufiq ini, lahir di Sidoarjo 6 November 1990. Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena Sidoarjo</div>
</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-30458225620188648782016-01-04T00:29:00.000-08:002016-01-04T00:29:08.414-08:00Anak, Perempuan, Tetangga Sebelah<div style="text-align: justify;">
Cerpen Koko Nata</div>
<div style="text-align: justify;">
Dimuat di <i>Sriwijaya Post</i> 03/02/2003</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-EnpZAYjcLE0/VootOxnVTJI/AAAAAAAAAs4/_DStsRFzRxY/s1600/girl.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="472" src="http://4.bp.blogspot.com/-EnpZAYjcLE0/VootOxnVTJI/AAAAAAAAAs4/_DStsRFzRxY/s640/girl.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(kinja-img.com)</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
ANAK itu lucu. Lebih lucu daripada teddy bear atau boneka mana pun yang dipajang pada toko etalase mainan. Pipinya montok seperti bakpao panas. Matanya hitam berkilau bagai mutiara dari lautan. Dan bibirnya, merah jambu bercahaya. Bila ia tersenyum, sempurna sudah karunia Tuhan yang dianugrahkan kepadanya. Aku suka anak itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Usianya tak lebih dari tengah tahun pertama. Aku sering melihatnya ditimang-timang tiap petang dijalan depan rumah. Demi melihat tawanya, bertingkahlah orang-orang dengan ekspresi kanak-kanak. Jika menarik merekalah bibirnya yang selalu basah. Kata-kata kerap mengajak bayi itu berbicara. Padahal semua orang tahu, satu kalimatpun ia tak punya tapi orang tetap senang mengajaknya bicara, sebab ia lucu, lugu, segar bagai embun pagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya aku ingin mendekatinya, menggendongnya serta memberikan satu kecupan. Aku ingin menimang dan menyanyikan lagu sayang. Biar sumbang, ia tak akan menentang. Ia hanya akan menangis atau tertawa sebagai tanda suka tidaknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya aku tak bisa. Aku tak bisa menghampiri atau bahkan memeluknya. Ia bagai bintang yang tak dapat dijangkau. Ia seperti sinar suci yang pecah saat kujamah. Ia...ah...mengapa jauh jarak terbentang kalau aku merindukannya. Inikah dera yang harus kuterima akibat perilaku masa lalu?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terpenjara oleh jeruji yang aku dirikan sendiri. Aku tenggelam dalam lautan penyesalan. Aku...Aku harus puas hanya dengan menikmatinya dari sela-sela jendela. Aku telah tersihir oleh kerling lembut pesonanya tapi tak berdaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa bulan yang lalu aku tak acuh dengan percakapan itu</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Stt... anaknya Nuning sudah lahir”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Anak haram itu”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Iya...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bakalan ngetop lagi kampung kita”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Betul. Kelahiran anaknya ini pasti lebih ramai dibanding peristiwa perkosaannya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Lagian, mau-maunya dia mengandung benih lelaki yang tak jelas asal muasalnya”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya namanya juga musibah, Bu, siapa, sih yang mau”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi, kan, dia bisa saja menggugurkan kandungannya”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ibu nggak tahu sama si Nuning, sih. Nyamuk saja enggan dia bunuh apalagi janin dalam rahimnya. Dia memang sempat bilang, anak itu tidak dikehendakinya. Tapi setelah perutnya membesar dia malah jadi sayang. Dia menganggap musibah sebagai takdir, cobaan, cara yang di atas mengasihinya. Siapa tahu anak itu malah membawa berkah”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ce...ile...masih sempat ceramah juga dia rupanya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Biarlah, Bu. Selama tidak merugikan kita. Ya nggak massya... lah”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Betul...betul... Ngapain kita pusing mikiran dia. Dianya sendiri tenang-tenang saja”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Iya”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Lebih baik kita mempersiapkan diri. Sekarang kan banyak wartawan yang ingin meliput kejadian ini. Nah kita sebagai tetangganya pasti ikut dimintai keterangan. Kita jadi masuk koran deh. Ikutan ngetop. Siapa tahu ada yang tertarik untuk mengorbitkan kita jadi model”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hi...hi...hi...ibu ini ada-ada saja”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan mata kulumat habis sosok perempuan itu. Ia tak bisa dikatakan cantik tapi salah jika menilainya tak menarik. Ia punya pesona yang tak bisa diraba dengan indra. Apa namanya, aku tak tahu.Ia perempuan yang hebat menurutku. Ia tak menyesal dengan segala sial yang menghampiri. Ia tak menganggap Tuhan tak berlaku adil padanya. Tabah dan sabar adalah teman yang membuatnya tegar menghadapi bisik-bisik pedas gunjingan. Semua ia jalani dalam syukur baik suka maupun duka. Dia yakin dibalik cobaan maupun musibah pasti tersirat hikmah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aduh lagi mamam, ya? Mamam apa, cayang?“ seorang perempuan tambun setengah baya menegur anaknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia tersenyum seraya menyodorkan sesendok bubur untuk buah hatinya. Aku ingin bertanya bubur apa yang engkau suapkan? Makanan penuh gizi atau sekedar beras yang direbus dengan air berlebih? Susu yang bagaimana pula kau regukkan untuk melepas dahaga bayimu? ASI kaya sempurna atau sekedar air putih encer tiada guna. Aku yakin jawabannya pasti mengecewakan. Kau hanya seorang yatim yang kini bukan janda dan bukan seorang istri pula. Rumah kayu yang berdiri di samping kediamanku sudah cukup menggambarkan keseharian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bila mengingatnya aku jadi benci sebenci bencinya pada lelaki yang tega menghinakannya. Mengapa ia dan harus ia. Bukankah masih banyak gadis kaya bergaya foya-foya dan hura-hura. Kenapa tidak mereka saja yang jelas hidup tanpa punya arah. Kenapa harus Dia ?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semakin memikirkannya semakin gila saja otakku dijejali tanya dan terka. Penyesalan bereaksi hebat dengan kagum yang datang. Hari kemarin senantiasa menjadi senjata yang meneteskan nestapa. Dan aku semakin benci dengan laki-laki itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau jadi milikku malam ini!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak..tidak...jangan... !!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Telah lama kau bercokol dalam alam maya. Sudah lelah dahaga menunggu rengkuh cinta. Mari kita puaskan mari kita tuntaskan sekarang juga.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jangan...kau hanya akan menikmati neraka lebih segera. Aku bukan kembang kau bukan kumbang. Hentikan...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak...aku tak bisa berhenti.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tolong jangan buat Tuhan dan pengikutnya mengutuk perbuatanmu!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hehehe... Mari kita mulai saja.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jangan... Pergi!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ayolah!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ayo!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak!!!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Breeet...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aaaa...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terjaga. Aku melihatnya. Lelaki yang kubenci dengan perempuan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pelangi melengkung di langit biru. Harum semerbak bunga menebar bau. Alam di mata berwarna-warna indah mempesona.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bimbii...Bimbi...ayo sini ikut papa...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tawa renyah bocah tak berdosa. Riang jenaka anak manusia memulai perjalanannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sudah lama papa ingin menggendongmu Bimbi. Ayo...kemarilah, Sayang!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anak manis merentangkan tangan. Dekap bahagia akan segera diberikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Duh, manisnya. Kua benar-benar anugerah terindah meski tak pernah sengaja terencana.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wajah polos lebarkan bibirnya. Liur menetes basah berpola peta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Senangnya bisa menggendongmu...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa diduga si bocah berubah. Badan menghitam tumbuhkan bulu serigala. Taring runcing mencuat siap mengoyak mangsa bersama dengus panas moncong mencari udara. Anak manis menjelma monster buruk rupa. Ia siap menerkam. Menghisap darah. Mencabik tubuh hingga patah tulang jadinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mengapa...mengapa kau jadi begini...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Grrr..Graw...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiada jawaban. Hanya kengerian yang disajikan.Kuku tajam mencakar sasaran. Kulit tersayat. Darah membasah. Anak buruk lepas dari pegangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bimbi...Bimbi... ini papa... ini papa...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Graw..Graw...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Luka mengaga. Jerit membahana. Malam pecah porak poranda</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berteriak. Mimpi ternyata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Napasku turun naik memasok udara. Keringat bergulir bergilir-gilir. Aku sudah tak dapat menghitung lagi sudah berapa kali kengerian itu menghantuiku. Bayang-bayang menakutkan seolah tiada lelah bergentayangan. Aku ketakutan. Aku tertekan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk kesekian kalinya aku kembali mengamati anak dan ibu tetanggaku. Wajah mereka masih sama. Masih ceria tertawa renyah. Hidup dibiarkan berjalan apa adanya. Yang terjadi terjadilah. Mereka tak peduli dengan suara-suara usil yang melingkupi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedang aku, lihatlah aku. Makin ringkih menapaki hari makin tersiksa oleh nyeri tersembunyi. Panah-panah maya terus melesat ke arahku. Sebuah kekuatan memaksa dan terus memaksa agar aku mengaku bahwa akulah ayah bayi itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Palembang, 6 September 2002</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-64446814818375841002016-01-03T22:56:00.002-08:002016-01-03T22:56:13.436-08:00Bangku Belakang<div style="text-align: justify;">
Cerpen Sofie Dewayani</div>
<div style="text-align: justify;">
Dimuat di <i>Koran Tempo</i> 17/05/2009</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-g7tYmKQURqY/VooXXq43fjI/AAAAAAAAAso/Xld29OK9K1w/s1600/classroom_surrealism_by_artchby-d8ozawr.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="452" src="http://4.bp.blogspot.com/-g7tYmKQURqY/VooXXq43fjI/AAAAAAAAAso/Xld29OK9K1w/s640/classroom_surrealism_by_artchby-d8ozawr.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(deviantart.net)</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PADA hariku yang lelah, warnet adalah tempat istirah. Di dunia maya aku bisa menyapa teman-teman lama. Ceria, tertawa, seperti dulu waktu SMA. Cerita nostalgia, kabar bahagia, terpampang bergantian seperti pajangan. Mataku menelan lembar demi lembar layar, menyusuri kota demi kota. Teknologi memang gila. Ruang dan waktu dirangkumnya dalam satu sentuhan jemari saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak heran orang menyebutnya dunia maya. Jejaring pertemanan ini meleburkan peristiwa dan masa. Aku bisa tergelak oleh kisah lama, tersenyum memandangi potret kelabu masa remaja. Aku menyeletuk sekadarnya, tapi lebih sering menyaksikannya saja. Aku tak ingin beranjak dari bangku belakang. Seperti dulu, waktu SMA.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayang Tino tak tahu bagaimana nikmatnya. Katanya, bernostalgia seperti itu membuang waktu saja. Padahal aku tahu diam-diam dia ingin tahu kabar teman-teman lama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Semua menanyakan kamu," aku meyakinkannya. "Harno kirim salam. Dia kerja di perusahaan penerbangan. Bambi sudah jadi bos sekarang. Kardiman sudah lama tinggal di Jerman. Vina, Karina, Mira, sudah punya anak remaja. Kamu pasti nggak percaya, Bian jadi kandidat pilkada."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hebat," celetuknya. Namun matanya tak lepas dari roda sepeda di tangannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Memangnya kamu tahu semua itu dari mana?" Tino membetulkan letak kacamatanya dengan punggung tangannya. Jemarinya berlumur gemuk. Sebuah rangka sepeda terburai di depannya, tak berbentuk. Aku membungkukkan tubuh, agar suaraku mengalahkan deru bajaj yang terbatuk-batuk.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dari internet tentu. Ayo, kapan kita ke warnet sama-sama? Aku yang bayar. Nanti kutunjukkan foto-foto mereka. Kamu bisa bikin akun Facebook, lalu ngobrol dengan mereka."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Buat apa? Aku akan memamerkan apa?" Dia tertawa. Aku diam saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku bukan lagi komandan upacara, Sam." Tino berdiri lalu melempar lap yang bergemuk seperti jemarinya. Tak ada yang akan mengira bahwa bibirnya yang kehitaman itu pernah berteriak lantang memimpin upacara bendera. "Aku bukan siapa-siapa," ujarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku juga bukan, No." Tawaku terdengar mengambang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku malas. Kalau aku menang undian, boleh deh aku kontak mereka." Dia tertawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa kamu pernah cerita tentang aku?" Tino tak mengangkat kepalanya. Tangannya sibuk mengusap jeruji sepeda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menggeleng. Bengkel ini terlalu kusam dan temaram, tak seperti pendar dunia maya yang menentramkan. Di sana, semuanya harus sempurna, tampak bahagia. Foto keluarga terpajang. Anak-anak berpose lucu menggemaskan. Keluarga berpelukan mengumbar tawa, berlatar eksotika tempat wisata. Semuanya harus indah untuk dikenang, seperti masa-masa SMA.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Lagipula, apa iya mereka akan ingat aku?" gumamnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dibandingkan teman-teman kita, kamu nggak berubah sejak SMA," jawabku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tino mengerlingku. Senyumnya masam. Aku memalingkan mataku ke arah kali yang kehitaman di bawah jembatan. Siapapun akan mengakui bahwa Tino tak banyak berubah. Dia tidak botak, tidak gendut. Rambutnya pun tak memutih. Dia hanya terlihat sedikit tua, dan kusam. Juga letih, ringkih. Legam, mengisut oleh garang debu jalanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dulu, bangkuku dan bangku Tino bersebelahan. Karenanya, kutahu pasti Tino tak pernah mencatat pelajaran. Buku catatannya penuh berisi gambar-gambar. Dia hanya belajar dari fotokopian catatan teman-teman perempuan. Dia juga setia kawan, rajin membagi contekan. Tak seperti aku yang suka menyendiri di sudut bangku belakang, Tino punya banyak teman. Meskipun bukan yang paling pintar, kutahu otak Tino lumayan. Karenanya banyak yang heran ketika dia tak lolos ujian masuk universitas idamannya. Sejak itu, dia berpindah dari kota ke kota. Konon, mencari peruntungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat melihatnya di sini tiga tahun lalu, aku segera mengenalinya. Dia masih Tino yang sama: Tino yang teguh pendirian, juga makin keras kepala. Memikirkan itu, aku urung memberitahunya tentang rencana reuni SMA minggu depan. Tak mungkin dia mau datang. Kurahasiakan keputusan yang barusan kuniatkan: aku akan datang. Aku bosan tak terlihat. Aku bosan duduk di bangku belakang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
UNTUNG pamanku meminjamiku Kijangnya. Tak mungkin aku menyambangi kafe hotel bintang lima ini dengan menumpang kopaja. Tak akan kubiarkan bajuku tercemari peluh dan aroma debu jalanan. Semuanya harus tampak sempurna, seperti foto-foto yang kupajang di Facebook sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di kafe itu, aku segera mengenali teman-temanku. Harno tampak menyolok dengan tubuhnya yang tambun dan rambut keperakan. Vina, Karina, datang dengan suami dan anak-anak mereka. Kardiman yang baru dua hari tiba dari Jerman membagi-bagi gantungan kunci dan cokelat. Tersipu-sipu, aku menyembunyikan senyum ketika mereka bertanya mengapa badanku tak memuai seperti mereka. "Rajin berolahraga saja," ucapku sambil menjejalkan sekeping keripik ke mulutku. Aku melirik Kardiman. Fasih sekali lidahnya mengeja nama-nama makanan asing ini kepada pelayan. Pad thai, tom yam, ah, entah apa lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Sama seperti dia," kataku kepada pelayan yang menanyakan pesanan, sambil menunjuk Kardiman. Semua tertawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Mana istri dan anakmu, Sam?" Kardiman menatapku sambil menyeruput jus berwarna merah muda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Oh, istriku sedang ada urusan kantor ke Singapura. Anakku ada di rumah sama neneknya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Bisnis kamu sukses ya?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Begitu sajalah, Man. Lumayan."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ada yang tahu kabar Tino, ketua kelas kita?" Bian tiba-tiba berseru dari ujung meja, memecah silang cerita tentang guru-guru SMA. Kardiman mengangkat bahunya. Entah mengapa, aku merasa jadi pusat perhatian semua mata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kabarnya dia sekarang berwiraswasta. Aku juga sudah lama nggak ketemu dia," sahutku. Kureguk teh hangat cepat-cepat. Untung saja, pelayan datang mengedarkan beberapa pinggan makanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jadi, gosip tentang dia punya bengkel sepeda itu bener, nggak?" Karina berseru di tengah kesibukan piring-piring makanan diedarkan. Aku mengangkat bahu. Yang lain membisu, sibuk memulai suapan pertama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tanpa bantuan Tino pasti aku nggak lulus," Kardiman menggumam, "Ingat nggak, dia menyalin jawaban ujian matematika di atas tisu, lalu kita edarkan dari bangku ke bangku?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Harno, Bian, Vina, tergelak hingga bahu mereka terguncang. Aku mengunyah mie bertabur udang bernama pad thai itu pelan-pelan. Bian menyambung ceritanya tentang sukses contekan yang terus berulang hampir di setiap ujian. Entah mengapa, makanan ini terasa aneh di lidah. Aku meletakkan sendokku dengan diam. Lidahku yang ingin mengucapkan sesuatu seperti teriris tajam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku ingat sesuatu yang seperti sengaja terlupa. Kisah sukses contekan itu bumbu yang berlebihan. Tino sempat kepergok membagi contekan, namun dia tak mengaku kepada siapa contekan itu diberikan. Tino dihukum menghormat tiang bendera di tengah lapangan upacara selama dua jam. Sendiri saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku ingat semuanya. Aku, si penghuni bangku belakang. Pad thai ini terlalu manis rasanya. Sup ikan bernama tom yam itu terlalu asam. Tak ada rasa yang akurat. Namun, hidangan ini lumat dengan lahap. Yang terlihat harus tampak sempurna, meskipun menyembunyikan borok atau luka. Menentramkan, seperti kenangan lama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KULETAKKAN dua bungkus pad thai itu di meja makan. Memang aku tak suka, tapi biarlah Yanti dan Restu mencicipi menu restoran hotel bintang lima. Aku akan tidur nyenyak malam ini, setelah mengukir prestasi merasai pad thai. Tersenyum geli, aku mengenang tawaranku untuk membayar semua tagihan di restoran tadi. Basa-basi basi. Tentu saja Bian memenangkan perdebatan soal pembayaran tagihan. Aku tahu dia tak akan membiarkan dirinya ditraktir teman. Pelan-pelan, kulepas sepatu kulit pinjaman dari paman yang sesungguhnya sangat kesempitan. Seandainya Tino hadir di reuni ini, semua lakon ini tak akan sesempurna ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kubuka tirai yang menjadi pintu kamar, menguarkan aroma obat nyamuk bakar. Yanti tertidur dengan mulut terbuka, pasti kelelahan menjahit baju pelanggan. Dia tak tahu aku menghadiri reuni malam ini. Dia tak tahu suaminya telah mengobral cerita tentang seorang istri yang sedang dinas ke Singapura, di sebuah hotel bintang lima. Dia hanya tahu bahwa sewa rumah petak ini belum terbayar hingga dua bulan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin aku akan memberanikan diri berbicara kepada Tino besok pagi. Siapa tahu dia punya sedikit uang yang bisa kupinjam. Kutahu dia selalu setia kawan, seperti tiga tahun lalu, saat dibantunya aku membuka kios majalah di depan bengkel sepedanya. Diajarinya aku mereparasi sepeda, seperti dulu saat diajarinya aku matematika. Selama aku mengenalnya, tak pernah dibiarkannya aku sendirian. Tak pernah dibiarkannya aku terpuruk di bangku belakang.***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Urbana, 11 Januari 2009</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-11175307572407198972015-12-28T22:18:00.001-08:002015-12-28T22:18:44.872-08:00Ulat-ulat pada Kematianku<div>
Cerpen M. Irfan Hidayatullah (<i>Republika</i>, 07 Oktober 2005)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-Oj9qMvYlS_0/VoIlhAc586I/AAAAAAAAATQ/XxuMkE1S8Sw/s1600/ulat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="360" src="http://2.bp.blogspot.com/-Oj9qMvYlS_0/VoIlhAc586I/AAAAAAAAATQ/XxuMkE1S8Sw/s640/ulat.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(youtube.com)</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu pagi itu terlewati. Lalu siang itu terlewati. Lalu malam itu terlewati. Lalu pagi lagi. Aku hanya bisa termanggu menunggui tubuhku. Dan aku tak seperti biasanya lagi. Aku tak dirundung lapar dan haus. Aku telah bebas. Aku bahkan tidak merasakan lagi nuansa mewah kamarku. Karpet tebal penutup lantai. Ranjang kayu jati. Spring bed keluaran terbaru. Bed cover bermotif bendera Juventus. AC pintar plus mutakhir. Poster-poster pemusik hip-hop metal. Komputer dengan segudang game. TV platron 25 inc. Lampu tidur yang bercaping. Dan kamar mandi yang harum terawat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perasaanku telah lain. Aku seperti hampa. Aku mungkin telah berpindah wujud dari segumpal darah, sejumput daging dan sebongkah tulang menjadi udara. Dan, aku tak merasakan sejuknya udara karena aku udara, tepatnya mewujud udara. AC di kamarku telah hanya sekadar benda yang tak punya arti apa-apa. Kehampaan ini bagai sebuah wilayah yang tanpa batas, seperti tanpa sekat, seperti suasana tengah laut, atau seperti di tengah gurun, atau bahkan seperti di langit yang setelah kusampai di sana ditinggalkan biru, lazuardi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, aku tak bisa bergerak. Aku hanya termangu melihat tubuhku tak bergerak. Namun, aku juga tidak tahu pada apa kini berada. Aku seolah menyatu dengan ruang, tak bertubuh. Dan, aku tak membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, sepertinya memoriku hilang. Aku tak punya sejarah lagi. Satu yang kutahu adalah bahwa yang tergolek itu adalah tubuhku. Dan, tubuh di sampingnya adalah tubuh entah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kadang aku merasa ada pada tubuh asalku, kadang pada ranjang itu, kadang pada lampu tidur itu, kadang pada AC itu, atau kadang aku tak di mana-mana. Ini rumit, pikirku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Telah ruhkah aku? Telah mayatkah tubuhku? Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tak beranjak perpindah alam, ke dunia lain? Atau inikah dunia lain itu? Tak mungkin. Aku masih merasakan wujud dunia walau aku tak bisa menyetubuhinya. Aku tertegun, tepatnya merasa tertegun. Aku tak mempunyai gestur lagi saat ini. Yang kupunya hanyalah entah apa. Mungkin hakikat segala sesuatu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba tubuhku bergerak. Namun, gerakannya aneh sekali seperti gerakan mundur. Memutar ulang. Begitu cepat. Sepertinya ada wujud lain yang menekan tombol replay. Sampai pada satu titik peristiwa. Saat tubuhku baru masuk ke kamar itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Naah. Inilah kamarku, Sayang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Oh, ya? Bagus juga.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kita santai saja. Semuaku sedang ngak ada.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Semuamu?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, ibuku, ayahku, adikku, bahkan pembantuku.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Oh, lalu yang tadi?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, itu memang pembantuku, tapi kuanggap tak ada. Dia takkan bicara apa-apa. Dia saksi bisu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi kamu harus hati-hati, Sayang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Tenang saja. Ia telah kubungkam dengan uang. Dia manusia juga. Butuh segalanya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Seperti kita?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, seperti kita yang butuh kamar ini. Butuh kebebasan. Tempat saat hanya kita yang ada. Tak ada keluarga, teman, dan masyarakat yang selalu menghakimi dengan alasan dogma-dogma.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kalau begitu, ayo….”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Nanti dulu, Sayang. Kita akan lakukan semuanya dengan sempurna. Jangan tergesa-gesa. Kita nikmati semuanya dengan sebuah rasa yang terjaga. Detik-detik kita jangan sampai terbuang karena nafsu yang menggelora. Kita harus menikmatinya seperti aliran air di sebuah muara, tenang, tapi menuju sungai yang deras menuju lembah-lembah, bahkan jurang. Kita bukan sungai yang airnya tergesa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tercekat melihat tubuhku yang segar-bugar itu tengah berbincang dengan seorang perempuan atau wanita atau, ah…. Aku betul-betul tak mampu mengingatnya. Atau putar ulang ini adalah proses ingatanku? Aku sepertinya disetting untuk objektif. Menjadi saksi atas diriku sendiri yang dengan penglihatanku yang tanpa mata ini menyaksikan tubuhku berbuat sesuatu. Aku subjek yang melihat aku objek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemutaran ulang itu kemudian seperti dipercepat. Perbincanganpun berubah menjadi menggelikan. Nada menjadi lebih tinggi dan sambung menyambung. Aku tak mampu melihat setiap adegan dengan jelas. Tapi aku bisa simpulkan bahwa aku tubuh dan perempuan itu tengah melakukan sesuatu. Sesuatu yang menurut aku tubuh tadi ingin teralami dengan sangat lambat dengan detik-detiknya tak terlewat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, aku melihat justru pada sebuah proses yang sangat cepat. Pemercepatan itu telah membuatnya sangat cepat. Sesuatu pun terlakukan sudah. Sangat cepat dan cepat. Bahkan, seperti hanya sekejap. Aku bengong, betapa cepat peristiwa itu terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Terima kasih, Sayang. Kau telah memberikan sesuatu yang berharga buatku. Aku takkan menyia-nyiakan itu. Aku janji.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Betulkah, kau berjanji?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau sepertinya diliputi ragu, Sayang?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Karena banyak kejadian–”</div>
<div style="text-align: justify;">
“A…a, kau terpengaruh senetron-sinetron itu rupanya, atau novel-novel itu?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku hanya takut kehilanganmu setelah aku menghilangkan diriku sendiri.” “Kita memang telah menyatu. Karena itu, kita tak bisa lagi saling berpisah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu romantis sekali, Sayang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Itulah aku. Semua yang kumiliki hanya untukmu. Termasuk sifatku yang satu itu. Hanya untukmu. Apa, sih di dunia ini yang takkan kuberikan padamu setelah semuanya terjadi. Kita bahkan harus saling memberikan nyawa kita.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ah, sudah, Sayang. Kau mulai berlebihan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Sudah, kalau begitu. Kau nampak lelah. Kita tidur saja.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku pulang saja.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak. Kau tidur saja di sini. Malam ini milik kita sepenuhnya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kadang sesuatu yang tak terduga bisa terjadi.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku sudah antisipasi. Aku sudah perhitungkan matang-matang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Lalu bila tiba-tiba mereka datang?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Percayalah padaku semua telah kuatur.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi Dia pun mengatur.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau….”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ada apa, Sayang?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau menakut-nakutiku.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku hanya menyebut Dia. Kau takut pada-Nya?”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, aku takut. Karena itu, kau jangan pergi. Temani aku agar aku tidak takut lagi pada-Nya. Kita berdua bisa menghadapi-Nya bersama, hmm…. Bagaimana?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba kejadian di kamar itu dipercepat lagi. Gerakan gerakan aku tubuh dan wanita itu jadi semacam bayangan yang berkelebat, cepat. Peristiwa-peristiwanya pun tidak hanya terjadi di atas ranjang itu, bahkan di bawah shower. Sekejap. Di bath tub. Sekejap. Di tolilet. Sekejap. Lalu terakhir kembali di (ke) ranjang. Sekejap. Setelah itu tak bergerak lagi tubuh-tubuh itu. Diselimuti atau bahkan ditutupi oleh bad cover dan selimut bermotif bendera Juventus itu. Tubuh mereka seperti dibenamkan pada ranjang itu atau disemayamkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memoriku telah penuh. Aku jadi tahu masa laluku. Sehari semalam yang lalu. Namun, hanya itu yang kutahu. Sisanya hitam. Mungkin harus ada yang memutar ulangnya lagi. Dan, aku hanya saksi bagi diriku. Aku ternyata hanya mengenal nama, tidak peristiwa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah ketukan yang keberapa kali, sejak malam tadi. Terdengar. Tergesa. Panggilan-panggilan berbisik, setengah teriak, lalu penuh teriak. Ketukan menjadi gedoran. Gedoran menjadi dorongan. Dorongan menjadi pembongkaran. Lalu jeritan. Histeris.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka berempat. Ibuku, ayahku, adikku, dan pembantu kami itu. Mereka masuk sambil menutupi hidung mereka dengan baju-baju mereka. Bahkan adikku muntah di kamar mandi. Sedangkan aku heran. Ada bau apa gerangan? Mereka menghampiri aku tubuh, tubuhku yang terbenam sempurna di ranjang itu. Mereka membangunkanku. Tak berhasil. Mereka menggoyang-goyang tubuhku. Namun, keheranan terpancar pada mereka. Bukan tubuh yang mereka goyang, tapi benda lunak yang seperti terkelupas karena gesekan. Mereka saling pandang lalu seperti sepakat membuka selimut itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aaaaaaaa, Bagus anakku!”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Ooooooh, Bagus anakku!”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Haa? Kak Bagus? Ya, Allah!”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Iiiiiii, Den Bagus?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Histeris, heran, tak percaya, dan mual bercampur baur. Dan, aku hanya hening. Udara yang mungkin dingin. Tercekat oleh apa yang kulihat. Tiba-tiba aku berubah. Mulai bisa merasakan. Aku seperti membeku. Aku tak bertiup lagi. Raga gaibku yang entah apa wujudnya terpaku dan entah menancap di mana. Tubuhku tinggal wajahku, juga tubuhnya tinggal wajahnya. Wajah tercekat, tercekik, tersiksa, tak kuat, menjerit. Wajah tragedi. Sementara badanku dan badannya hampir tinggal tulang. Ulat-ulat yang gemuk dan penuh lendir kemerah-merahan tercampur darah memagut-magut setiap inci badan itu. Menuju wajah. Aku tak mampu mengekspresikan perasaanku, sementara mereka pingsan kecuali pembantuku. Ia terduduk sambil meraba saku celananya.</div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-11651343760847014222015-12-27T20:28:00.001-08:002015-12-27T20:28:46.963-08:00Laila MajenunHamzah Puadi Ilyas (<i>Majalah Ta’dib</i>, Edisi 45/Th.IX/November 2011)<div>
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-somIzOSOCiw/VoC6CyLGMoI/AAAAAAAAASY/UNv6_OSij1s/s1600/laila.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="464" src="http://4.bp.blogspot.com/-somIzOSOCiw/VoC6CyLGMoI/AAAAAAAAASY/UNv6_OSij1s/s640/laila.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Layla Majnun (http://www.harvardartmuseums.org)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div>
<div style="text-align: justify;">
Laila - yang hampir setahun murung, melamun, dan mengurung diri - tiba-tiba berubah serta menjadi perbincangan orang banyak. Menurut cerita dari mulut ke mulut, ia sembuh lantaran meminum air zam-zam yang dibawa pulang oleh pamannya setelah menunaikan ibadah haji. Katanya lagi, entah benar atau tidak, air itu telah diberi bacaan oleh seorang syaikh di Arab Saudi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila yang dulu tak tampak lagi. Sinar matanya yang semula sayu, kini musnah. Bola matanya memancarkan rona keemasan. Tajam dan tegar. Dengan pakaian warna putih yang selalu melekat di badan, ia menjelma sosok agung serta mampu mengkhilafkan banyak orang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perubahan pada diri Laila tidak berhenti sampai disitu. Ia juga meninggalkan pekerjaannya sebagai seniman patung. Karya-karyanya memang telah bertebaran hingga ke manca negara dan dikoleksi jutaan umat. Tak heran, Laila adalah alumni institut kesenian ternama. Satu persatu patung yang telah ia buat dan menempati ruang pamer di rumahnya berubah menjadi abu. Bahkan sebuah patung besar yang telah ditawar jutaan oleh penggemar seni pun tak luput dari kehancuran. Banyak sekali yang menyayangkan tindakan Laila.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Orang tuanya sendiri bingung, apalagi orang-orang yang selama ini memuja karyanya dan menganggap karya Laila sebagai seni tinggi. Sehingga bermunculanlah orang-orang dari seluruh media menanyakan kenapa ia menghancurkan sendiri karyanya. “Alangkah sayangnya. Beberapa karya agung harus musnah. Bukankah mengundurkan diri dari dunia seni tidak harus diikuti dengan menghancurkan karya sediri?” Begitu kata kebanyakan pengamat seni yang dimuat di berbagai media massa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila menjawab, “saya tidak ingin orang-orang menjadi musyrik. Memuja patung adalah perbuatan syirik walaupun kita tidak bersujud dihadapannya. Dengan ini juga saya memerintahkan kepada kolektor di seluruh dunia yang masih menyimpan patung karya saya untuk memusnahkannya. Patung tidak akan memberikan kedamaian dan keselamatan pada umat manusia. Selamanya mereka bisu. Saya tidak ingin seperti itu. Kini saatnya saya akan membuka suara untuk menyampaikan suatu kebenaran.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah itu Laila menjadi sangat terkenal. Apalagi setelah ia memproklamirkan dirinya sebagai utusan Tuhan. Juru Selamat baru. Seluruh media cetak dan elektronik tak henti-henti memuat berita tentang dirinya. Berbagai respon bermunculan. Ada yang mengakui kebenaran kata-katanya, namun tidak sedikit yang menghujatnya. Di antara orang-orang yang menolak pengakuan itu menganggap Laila sudah gila. Sehingga dirinya kini lebih dikenal dengan sebutan Laila Majenun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya cerita awalnya sederhana. Laila yang menikmati hidup sebagai seniman kaya raya dan terkenal tiba-tiba merasakan kehampaan. Apa yang dia ciptakan adalah sebuah salinan dari karyaNya. Ia hanya meniru. Kejenuhan serta kelelahan menyeruak. Batinnya bergolak. Tak pernah reda, hingga proses kreatifnya seketika mandek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu muncul pertanyaan untuk apa sebenarnya hidup ini? Ia mulai mencari jawaban. Akibat pencariannya selama beberapa tahun, lambat laun Laila memandang dunia hanya sebagai tempat mampir saja, dan hidup manusia dirasakan sebagai senda gurau belaka. Ia sama sekali tak tertarik lagi dengan pekerjaannya. Ia ingin mencari sesuatu dibalik yang kasat mata. Suatu kebenaran yang dianggapnya masih tersembunyi. Sebuah ‘Diri’, yang tak hanya menciptakan materi untuk patung-patungnya, tapi Pencipta yang telah menciptakan dirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pencarian itu ia mengalami berbagai peristiwa yang akhirnya membuat fisiknya lemah. Badannya tidak mampu menopang jiwanya yang haus akan ‘kebenaran yang sesungguhnya’. Pertanyaan dalam dirinya belum terjawab. Perlahan-lahan tubuh itu semakin lemah, sedangkan pikirannya melayang-layang mencari pijakan. Hingga akhirnya air zam-zam itu yang kabarnya mampu menyembuhkannya. Banyak yang menyebutnya mukjizat. Cuma sayangnya ia bersikap sangat aneh, begitu kata kebanyakan orang. Namun tak sedikit yang kagum pada Laila.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian besar orang yang kagum pada Laila mulai menyebar berita yang bermacam-macam. Ia dikatakan memiliki kesaktian. Beritanya cepat menyebar ketika ia mampu menyembuhkan penyakit. Mereka juga percaya bahwa ia adalah utusan Tuhan atau juru selamat atas kebobrokan moral yang sedang melanda negeri ini dan mengakibatkan munculnya bencana dimana-mana. Pengikutnya sangat yakin bahwa Laila mampu memberikan jalan keluar dari setiap masalah. Ia telah dianggap seperti wali atau orang suci.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kabar makin cepat menjalar. Secepat angin dan kedipan mata. Maka datanglah orang-orang yang putus asa dalam menghadapi hidup, terutama orang-orang yang merasa hatinya gersang dan mereka yang tidak sembuh-sembuh didera penyakit. Setiap ada kesembuhan akan menjadi berita yang berpindah bak kilat. Makin lama makin banyak orang yang menemui Laila, sehingga ia mengubah ruang pamernya yang sekarang kosong menjadi tempat pengobatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan cuma itu, setiap malam Jum’at ia mengundang orang-orang untuk berkumpul dan mendengarkan wejangannya. Mereka harus berpakaian serba putih dan selama 24 jam sebelumnya hanya boleh makan nasi putih serta minum air putih. Laila berkata, “hati kita harus putih dan bersih, maka dari itu semua yang melekat di tubuh kita harus berwarna putih, dan yang masuk ke tubuh kita juga harus makanan yang putih serta murni. Kemurnian adalah sumber dari segala pencerahan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan ajarannya, Laila semakin terkenal. Tapi ia makin menunjukkan berbagai keanehan. Salah satu keanehan adalah setahun kemudian perut Laila kelihatan membesar. Para jemaat di perkumpulannya mulai bertanya-tanya: Apakah Laila hamil? Satu dua orang mulai tidak percaya dengan ajaran Laila. Mereka mulai meninggalkannya karena menganggap guru mereka telah hamil di luar nikah, dan itu adalah perbuatan dosa yang tidak boleh dilakukan oleh orang suci yang telah tercerahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menyadari itu, Laila dengan cepat menceritakan kisah Maryam yang mengandung Nabi Isa. Dengan daya pikat bicaranya yang luar biasa ia berkata, “manusia kini sudah semakin keluar dari jalur kodratnya. Mereka tak lagi menyembah Sang Pencipta, tetapi benda-benda fana. Maka itu Tuhan akan kembali membimbing manusia dengan mendatangkan juru selamat yang akan lahir dari rahim saya. Karena saya memiliki jiwa yang murni dengan hati suci. Tidakkah kalian lihat Nabi Isa yang lahir dari seorang perawan suci? Tuhan, dengan kuasanya, telah menjadikan saya seperti Maryam. Saya jelas sekali mendengar bisikan-Nya setiap malam yang disampaikan oleh malaikat Jibril, Sang Ruhul Kudus.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak yang kemudian masih tetap mengikuti Laila walau kini jumlahnya berkurang. Bagi mereka yang percaya, Laila benar-benar akan melahirkan seorang juru selamat baru. Anggapan ini datang dari mereka yang telah sangat muak akan perilaku manusia yang telah berubah bagai hewan. Malah kata mereka hewan kini lebih berharga dari manusia. Lihatlah anjing-anjing yang tinggal di rumah mewah. Mereka lebih disayang dari pada gelandangan dan orang-orang miskin. Bau anjing-anjing itu bahkan jauh lebih wangi. Derajat manusia telah jatuh di bawah anjing.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila kemudian melahirkan bayi perempuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mengapa bayi guru perempuan?” Tanya salah seorang pengikut saat mereka berkumpul. Kini jumlahnya tinggal puluhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Seorang juru selamat tidak harus laki-laki. Bahwa yang menjadi pemimpin haruslah laki-laki adalah gagasan yang selalu didengungkan oleh jiwa-jiwa kerdil yang haus akan kekuasaan. Sebenarnya mereka hanya takut tersingkir. Mereka tidak mampu bersaing.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi selama ini yang dikirim Tuhan selalu laki-laki. Lihatlah orang-orang suci yang berada di seluruh kitab-kitab?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila diam. Warna keemasan matanya mengarah ke seluruh pengikutnya. Mereka semua tertunduk. Sebentar lagi guru mereka akan mengeluarkan untaian mutiara dari mulutnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Lihatlah diri saya. Bukankah saya juga adalah perempuan, dan saya selama ini telah memurnikan hati kalian. Sehingga kalian tidak hidup dalam kesengsaraan duniawi. Hidup kalian menjadi tenteram bukan. Coba seandainya kalian masih memikirkan harta dunia? Pasti hidup kalian semakin gersang dan mata batin kalian semakin tertutup. Lagi pula, orang-orang suci yang namanya tercantum dalam kitab-kitab itu juga lahir dari rahim perempuan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pengikutnya mengangguk. Mereka menyadari alangkah indahnya berada di dekat Laila. Mereka tak lagi gelisah dengan segala harta dunia yang selama ini mereka cari dengan susah payah, lalu ditumpuk, diiringi ketakutan akan kehilangan. Sebelumnya mereka merasa bagai budak yang selalu dipaksa untuk memenuhi kebutuhan nafsu perut, bawah dan atas perut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila melanjutkan kata-katanya, “jika kalian meneliti seluruh kitab-kitab suci yang ada di dunia, kalian akan mengetahui bahwa ada simbol-simbol tersembunyi yang mengatakan akan datang seorang juru selamat yang berjenis kelamin sama dengan ibunya.” Orang-orang yang berada di ruangan itu kembali mengangguk. Bahkan ada beberapa yang menitikkan air mata, lalu mengangkat tangan mereka dan bersujud di depan Laila.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan gencar media kembali meliput kegiatan Laila dan pengikutnya. Beberapa orang merasa penasaran. Mereka menyusup ke dalam jemaat itu selama beberapa minggu, kemudian melaporkan kepada atasan mereka semua kegiatan yang dilakukan dengan membawa buku-buku yang sudah ditulis oleh Laila. Buku-buku tulisan Laila memang sudah diedarkan dan sangat laris. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja telah dicetak ulang beberapa kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa minggu kemudian ada pengumuman resmi yang mengatakan bahwa ajaran Laila sesat. Laila yang selama ini mengaku dibimbing oleh Jibril ditolak oleh orang-orang itu. Mereka mengatakan iblislah yang telah membimbing Laila dan membutakan mata serta hatinya. Ia hanya diberi ilusi dan seolah-olah ia adalah juru selamat utusan Tuhan. Kembali kata-kata ‘Laila Majenun’ menjadi sangat terkenal. Dan ia diminta segera bertobat, kembali ke jalan lurus sesuai dengan ajaran murni yang penafsirannya telah disepakati bersama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Reaksi orang-orang bermacam-macam. Ada yang mendukung dengan alasan hak asasi manusia, ada juga yang menolak. Seorang intelektual bahkan ada yang membelanya dengan mengatakan bahwa banyak pengikut Laila yang berubah menjadi baik. “Bukankah itu tidak melanggar prinsip-prinsip agama manapun?” Kata intelektual itu. Ia lalu melanjutkan kata-katanya, “biarkan mereka menyembah Sang Pencipta dengan cara mereka sendiri, selama itu tidak merugikan siapa pun. Semua manusia yang baik dan menyembah Tuhan pasti akan masuk surga. Terserah bagaimana mereka melakukannya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, jumlah orang yang mencelanya jauh lebih banyak. Bahkan akhirnya ada sekelompok orang yang tidak sabaran mendatangi Laila dan pengikutnya saat mereka sedang berkumpul. Orang-orang yang tidak setuju itu membakar rumah Laila sambil meneriakkan ucapan Tuhan Maha Besar, seolah-olah Tuhan merestui tindakan mereka. Untung kedua orang tua Laila telah lebih dahulu mengungsi ke kampung halaman. Mereka juga takut dan bingung dengan perubahan pada diri anaknya dan reaksi orang-orang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi Laila tidak pernah patah semangat. Ia selalu menghibur pengikutnya dengan menceritakan kisah nabi-nabi dan orang-orang suci yang selalu mendapat halangan dan rintangan saat menyebarkan kebenaran di muka bumi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kita harus maklum.” Kata Laila. “Mereka adalah orang-orang bodoh. Orang-orang yang tak mampu melihat kebenaran karena hati mereka tertutup oleh debu-debu duniawi. Kalau saja mereka mau melihat dengan mata batin? Sayang, mereka hanya mampu melihat wujud kasar.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila berkata sambil menggendong anaknya yang tertidur. Kini kemana-mana ia membawa anak itu yang katanya akan dipersiapkan untuk menjadi juru selamat baru. Selanjutnya ia mengatakan bahwa anak itu akan dibimbing oleh Jibril untuk membawa generasi berikutnya menuju kekekalan yang indah nan abadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melihat kemarahan dari banyak orang dan selalu dikejar-kejar, pelan-pelan Laila mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Bahkan salah seorang bersaksi di televisi bahwa ia seperti tersihir oleh kharisma Laila. Sehingga ia menganggap Laila benar-benar sebagai penyelamat manusia dan utusan Tuhan yang hadir di akhir zaman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari ratusan akhirnya kini pengikut Laila hanya tinggal puluhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Inilah saatnya.” Kata Laila.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saatnya untuk apa guru?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saatnya untuk menemui Dia.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sang Pencipta?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya.” Kata Laila. Suaranya sangat tenang. “Kalianlah orang-orang yang terpilih. Kalian akan bahagia selama-lamanya. Nanti akan datang lagi generasi baru yang akan dipimpin oleh anak saya. Lalu anak saya akan melahirkan seorang anak lagi. Begitu seterusnya. Karena di setiap generasi akan muncul juru selamat dan pembimbing baru. Merekalah yang akan menjaga rambu-rambu, tapi sayangnya kebanyakan manusia tidak mengerti. Padahal tanda-tandanya bertebaran dimana-mana. Seluruh kitab suci mencatatnya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila lalu meninggalkan anaknya yang tertidur di sebuah pondok kecil beberapa ratus meter dari pondok mereka yang terpencil. Di pondok itu ia dan belasan pengikutnya telah membungkus diri dengan pakaian serba putih. Lelaki dan perempuan telah mencukur seluruh rambut yang tumbuh di tubuh mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jangan lupa minum air putih.” Perintah Laila. “Air itu akan membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih ada di tubuh kalian.” Mereka mengikuti apa pun perintah Laila.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Laila dan pengikutnya membentuk lingkaran. Tangan mereka saling mengapit. Lalu terdengar suara-suara senada. Tak lama kemudian mereka kelihatan berada di ambang ketidaksadaran. Mereka terus bergerak. Sampai akhirnya lingkaran itu berputar bagai sebuah roda.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba muncul titik-titik api yang lambat laun melahap pondok itu. Mereka tak peduli. Mereka terus saja berputar sambil melantunkan syair-syair yang menyayat. Syair-syair penjemputan guna menyongsong keabadian yang tenteram di dunia lain. Dunia kekal yang bebas dari hujatan dan belitan nafsu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini mereka telah terkepung api. Suara-suara itu terus melengking, lalu perlahan melemah, sampai akhirnya tidak terdengar sama sekali. Kini yang tinggal hanya batang-batang kayu dan sisa-sisa tubuh berwarna hitam dan beraroma sate.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tempat yang jauh dari pemukiman itu kini tak lagi menyuarakan apa-apa, tidak juga nyanyian binatang. Beberapa jam lagi matahari akan muncul. Tapi di sebuah pondok kecil ada cahaya keemasan. Seorang anak kecil telah membuka matanya. Ia tidak menangis. Mata itu bersinar keemasan. Mirip sekali dengan mata Laila.</div>
</div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-2431304577995745212015-12-20T18:38:00.003-08:002015-12-20T19:44:42.689-08:00Dewi<div>
Cerpem Yus R. Ismail (<i>Tribun Jabar, </i>20 Desember 2015)</div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-Pxfo3LlB4BI/Vnd1h13ACqI/AAAAAAAAAQc/IjLRC-eAKVw/s1600/mata%2Blukis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="360" src="http://3.bp.blogspot.com/-Pxfo3LlB4BI/Vnd1h13ACqI/AAAAAAAAAQc/IjLRC-eAKVw/s640/mata%2Blukis.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(www.youtube.com)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Saya berangkat berdua bersama Dewi ke kota kabupaten. Maksudnya mau mengikuti Pelatihan Kurikulum Bagi Guru Sasaran selama lima hari. Hari pertama, setelah istirahat dan makan, Dewi bilang mau ke toilet. Tapi sampai jam masuk pelatihan berikutnya Dewi tidak datang lagi. Tentu saja saya penasaran. Saya minta ijin ke toilet. Di toilet ternyata tidak ada siapa-siapa. Kemana Dewi?<br />
Karena sampai malam pun Dewi tidak pulang saya mulai cemas. Ibunya bicara khusus kepada saya sebelum kami berangkat.<br />
<div>
“Tolong Dewi diperhatikan dan diperingati ya. Dewi itu kadang-kadang nakal,” kata ibunya Dewi.<br />
Dengan begitu saja saya sudah merasa bertanggung jawab. Karenanya semalaman saya tidak bisa tidur. Pagi-pagi saya dibangunkan dengan suara-suara ribut di halaman. Kebetulan kamar tempat saya menginap paling depan, dekat dengan halaman depan. Saya melongokan kepala melalui jendela.<br />
“Lima belas ribu saja dua bungkus ya, Bu. Saya beli empat bungkus deh,” kata seorang peserta pelatihan sambil menimang-nimang bungkusan ranginang.<br />
Saya terpesona. Saat si ibu penjual oleh-oleh itu menengok kepada saya, beberapa jenak kami saling memandang. Wajah si ibu itu mirip Dewi. Begitu saya sadar saya langsung keluar kamar. Tapi si ibu penjual oleh-oleh itu sudah berlalu. Bakul bawaannya belum diikat selendang ketika dia berlari. Saya mengejarnya.<br />
“Bu, Bu, mengapa berlari?” tanya saya sambil memotong langkahnya.<br />
Si ibu terkejut.<br />
“Mengapa Ibu berlari? Ibu tahu dimana Dewi?” tanya saya langsung ke tujuan.<br />
Ibu itu menggeleng. “Tidak. Tidak tahu,” katanya gugup.<br />
Tapi saya tahu, Ibu itu menyembunyikan sesuatu.<br />
“Kalau begitu, saya ikut kepada Ibu. Saya harus menemukan Dewi.”<br />
Ibu penjual ranginang itu tidak bisa menolak. Kami pun lalu berjalan beriringan. Rumahnya di pinggiran kota kabupaten.<br />
“Kenapa mesti mencari Dewi?” tanya si ibu.<br />
“Karena saya bertanggung jawab kepada anak-anak...,” kata saya tidak melanjutkan kalimat. Ya, saya baru ingat, Dewi sangat dicintai murid-muridnya. Dewi itu pintar, menerangkan pelajaran gampang dimengerti murid-muridnya. Apa yang mesti saya bilang kepada anak-anak bila saya pulang tanpa Dewi?<br />
“Bilang saja Dewi pergi bersama pacarnya.”<br />
Saya terkejut. Saya jadi teringat pacar Dewi. Dewa namanya. Seorang lelaki yang tampan dan bertanggung jawab. Dia sangat mencintai Dewi. Seperti juga Dewi sangat mencintainya. Sebentar lagi mereka merencanakan menikah. Bagaimana jadinya percintaan mereka bila saya pulang tanpa Dewi?<br />
“Takut ya?” tanya si ibu lagi.<br />
“Oh, saya bukan takut. Tapi saya bertanggung jawab. Saya harus menemukan Dewi.”<br />
“Tanggung jawab kepada orang lain? Orang tuanya Dewi, pacarnya, muridnya. Apa bila tidak ada mereka kamu tidak mencari Dewi?”<br />
Saya termenung. Ya, harus diakui, saya tidak akan tenang bila saya tidak menemukan Dewi. Dewi adalah teman sejak kecil. Kami tidak pernah berantem. Bila Dewi mempunyai makanan, katanya saya adalah yang paling diingatnya. Saya berani bilang, barang apapun milik saya, setengahnya adalah milik Dewi.<br />
Dewi itu pencinta lingkungan. Halaman rumahnya, depan dan belakang, penuh dengan bebungaan dan bibit tetumbuhan. Dewi akan menanam bibit tetumbuhan itu di tanah kosong mana pun. Saya adalah sahabatnya yang dengan senang hati menemaninya menanam bibit tetumbuhan itu di pinggir jalan, bantaran sungai, atau pinggir hutan yang gersang. Harus diakui, saya bukan hanya mengantar, saya pun mendapatkan kenikmatan yang indah setiap menanam bibit tetumbuhan itu. Tapi terus terang juga, saya tidak akan bisa melakukannya tanpa Dewi.<br />
Dewi juga pencinta binatang. Mata Dewi akan berkaca-kaca bila melihat kucing liar yang kurus dan tubuhnya penuh luka atau anjing liar yang terduduk lemas kehausan dan kelaparan. Saya bisa membersihkan luka binatang dan mengeringkannya berkat Dewi. Jadi harus diakui, saya tidak bisa melakukannya tanpa Dewi.<br />
Bagi saya, Dewi adalah sosok yang sangat humanis. Sekali waktu Dewi pernah merelakan honornya demi membahagiakan seorang janda tua yang menangis karena kue serabi dagangannya tumpah. Waktu lain saya melihat airmatanya menetes saat suatu malam melihat tunawisma tidur di emperan toko berselimut karung. Saya selalu kebagian harunya saat Dewi seperti itu.<br />
Dewi adalah sosok yang bangga dengan hidup yang bersih. Sekali waktu ada orang yang mendatangi Dewi setelah ujian pns. “Dewi itu sebenarnya lulus, hasil ujiannya termasuk ke dalam kuota yang diterima,” kata orang itu. “Tapi kami tidak menjamin bila ada permainan di belakang. Jadi saya beritahukan, melalui jalan belakang, karena saya kasihan kepada Dewi, pertahankan posisinya dengan uang pengaturan. Hanya sekedarnya saja, untuk uang lelah yang mengatur. Dua puluh juta saja cukup, dibayarkan nanti setelah ada pengumuman. Dewi sendiri kan tahu, saat ini tarif jalan belakang untuk jadi pns sampai seratus juta rupiah.” Tapi Dewi tidak pernah menanggapi penawaran seperti itu. Dia lebih memilih mengajar dengan uang honor dua ratus ribu rupiah saja. Sikap itulah yang membuat saya bangga kepadanya.<br />
“Harus diakui, Dewi adalah segalanya bagi saya,” kata saya kepada ibu pedagang oleh-oleh itu. “Karenanya saya ikut ke sini. Karena saya tidak yakin Ibu tidak tahu apa-apa tentang Dewi. Bicaralah terus terang, Bu, ke mana Dewi pergi?”<br />
Si ibu pedagang oleh-oleh itu balik terkejut. Beberapa jenak dia memandang saya.<br />
“Ya, Dewi memang pernah ke sini. Tapi tidak lama. Hanya mampir. Selanjutnya dia pergi lagi.” Si Ibu itu menarik napas panjang, seolah-olah berat mengatakannya. “Dia ingin mencari sesuatu yang selama ini dicarinya.”<br />
“Apa yang dicarinya?” tanya saya cepat.<br />
“Sebuah hiasan dinding. Hiasan degan huruf kaligrafi.”<br />
Saya pun pergi ke kampung pengrajin kaligrafi. Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Melalui tepi hutan, menyeberang sungai, menuruni jurang. Pantas saja si ibu penjual oleh-oleh itu menyarankan saya membawa nasi dan ikan sebagai bekal. Tapi saya menolaknya. Pikiran dan perasaan saya terlalu penuh oleh keinginan segera bertemu Dewi.<br />
Di sebuah kampung saya terpesona dengan seorang wanita yang sedang menjemur kertas-kertas daur ulang. Rambutnya yang sepunggung teruray indah. Tatapan matanya sangat teduh. Senyumnya bersahabat. Itu semua milik Dewi. Dewi yang punya kelebihan seperti itu.<br />
“Maaf numpang tanya,” kata saya. “Apa tahu dengan yang namanya Dewi?”<br />
“Dewi yang rambutnya sepunggung dan selalu terurai indah?”<br />
“Ya, betul sekali.”<br />
“Dewi yang matanya begitu indah dihiasi dengan bulu-bulu mata yang lentik?”<br />
“Ya, betul.” <br />
“Dewi yang selalu tersenyum bersahabat?”<br />
“Ya.”<br />
“Kemarin dia memang ke sini. Dia memesan hiasan dinding kaligrafi. Tapi setelah selesai, dia pergi dan lupa membawa hiasan pesanannya.”<br />
Saya memandang hiasan pesanannya. Pigura memanjang itu pinggirnya diukir indah. Warna emas peliturnya memantulkan cahaya gemerlap. Dan huruf kaligrafinya tertulis indah: “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu”<br />
Waktu itu juga saya pamitan. Perhiasan dinding bertuliskan huruf kaligrafi itu saya bawa. Saya harus secepatnya mencari Dewi. Dia akan senang bila tahu saya membawa pesanannya yang tertinggal. Tapi perjalanan pulang tidaklah mudah. Melalui jalan setapak di pinggir hutan, menyusuri pinggir sungai, menuruni jurang, jalan kampung berbatu yang seperti tanpa ujung. Saya baru ingat sudah beberapa hari selama mencari Dewi saya tidak makan. Di pinggir sebuah desa saya terjatuh. Beberapa saat saya tidak ingat apa-apa.<br />
Ketika siuman sudah banyak orang mengelilingi saya. Sayup-sayup saya mendengar seseorang berkata.<br />
“Ini ada KTP-nya. Asalnya dari luar kota. Namanya Dewi....”<br />
<div style="text-align: center;">
**</div>
<br />
<div style="text-align: right;">
Pamulihan 8 Juli 2015</div>
</div>
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-feua7OCS9oE/Vndmm6dZpSI/AAAAAAAAAQM/q4VUytIJrKM/s1600/yus%2Br%2Bismail-dewi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="270" src="http://4.bp.blogspot.com/-feua7OCS9oE/Vndmm6dZpSI/AAAAAAAAAQM/q4VUytIJrKM/s320/yus%2Br%2Bismail-dewi.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">sumber: <a href="http://keluargasemilir.blogspot.co.id/2015/12/dewi.html" target="_blank">keluargasemilir</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-59894525276210877342015-12-17T20:00:00.003-08:002015-12-17T20:01:39.844-08:00Komidi Putar<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Cerpen <a href="https://twitter.com/geggemappangewa" target="_blank">Gegge S. Mapanggewa</a> (<i>Republika</i>, 5 Juni 2011)<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-95GC6ym_UCw/VnOEQyjfhJI/AAAAAAAAAOQ/wri8Nmav-Kk/s1600/komidi%2Bputar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="508" src="http://4.bp.blogspot.com/-95GC6ym_UCw/VnOEQyjfhJI/AAAAAAAAAOQ/wri8Nmav-Kk/s640/komidi%2Bputar.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://fineartamerica.com/featured/carousel-at-the-carnival-linda-mears.html" style="background-color: white; color: #444444; font-family: arial; font-size: 10pt; font-stretch: normal; margin: 0px; padding: 0px;">Carousel At The Carnival</a><span style="background-color: white; color: #444444; font-family: "arial"; font-size: 13.3333px;"> by </span><a href="http://fineartamerica.com/profiles/1-linda-mears.html" style="background-color: white; color: #444444; font-family: arial; font-size: 10pt; font-stretch: normal; margin: 0px; padding: 0px;">Linda Mears</a></td></tr>
</tbody></table>
MATA mengantuk Ainun langsung terbelalak, tubuh Aimah yang tadi tidur di sampingnya, kini tak ada. Mendadak, jantungnya seperti lepas dari gantungannya. Seperti orang buta, meraba setiap jengkal tempat tidurnya. Dari sudut ke sudut.<br />
<br />
“Aimah…. Mah…. Aimah, kamu di mana, Nak?” panggilnya sambil sesekali melongok ke kolong ranjang besinya. Aimah tak ada! Putrinya yang masih berumur tiga tahun itu, masih juga dipanggilnya berkali-kali. Tetap tiada!<br />
<br />
Dia teringat perbincangan dengan suaminya tadi pagi.<br />
<br />
“Bu, Aimah saya bawa, ya?”<br />
<br />
“Jangan mimpi, Pa! Galang sudah kamu telantarkan.”<br />
<br />
“Tapi dia kan cari uang.”<br />
<br />
“Jadi, Bapak ingin punya anak karena mau menjadikannya binatang perahan? Anak kita masih terlalu kecil untuk dibebani tanggung jawab.”<br />
<br />
Mata suaminya yang dari tadi menantangnya, kini tertunduk. Ainun pun merasa dirinya menang. Tapi kini…? Aimah yang baru saja dininabobokan, hilang. Dia yakin, pelakunya adalah suaminya sendiri. Dia keluar menembus malam yang pekat. Berjalan menuju lapangan desa yang kini ditempati pertunjukan komidi putar.<br />
<br />
Telah hampir lima tahun, suaminya ikut keliling kampung sebagai pembalap tong edan. Penghasilannya lumayan. Di antara karyawan yang lain, suaminya yang paling tinggi gajinya, sepuluh persen dari seluruh penghasilan. Sedangkan karyawan lainnya yang bertugas di kincir, balon putar, kuda Ramayana, dan ombak asmara, semua hanya mendapat lima persen.<br />
<br />
Apalagi, seluruh saweran dari penonton yang menyaksikan aktraksinya, masuk kantong pribadinya. Tapi, di antara karyawan lainnya juga, suaminya yang risiko kerjanya paling tinggi. Ainun pernah menonton pertunjukan suaminya, tapi dia hanya bertahan semenit. Detak jantungnya terpacu hebat, gendang telinganya terasa pecah mendengar deru motor yang sengaja dilepas knalpotnya, meraung, berputar, dan memanjati tong yang tingginya mencapai empat meter.<br />
<br />
Dia pernah meminta suaminya berhenti bekerja, tapi mau makan apa? Toh, mati juga! Sebagai orang Bugis, suaminya punya prinsip, lebih baik mati berdarah daripada mati kelaparan. Aib! Dia pasrah saja, karena hidup memang harus diperjuangkan bahkan dipertaruhkan dengan kematian. Hingga suatu saat, suaminya datang mengeluh karena penggemar tong edan mulai berkurang. Gaji pun tak cukup lagi buat makan.<br />
<br />
“Ya, dicukupin aja, Pak! Nanti saya yang atur. Apalagi Bapak kan makannya di komidi putar. Saya sih, asal bisa beli susu buat Galang.”<br />
<br />
“Atau Galang saya bawa saja, cari uang bersama saya.”<br />
<br />
“Cari uang?”<br />
<br />
“Maksudku, Galang saya bawa saja. Pemilik komidi putar yang tanggung susu dan makanannya, bahkan pakaiannya.”<br />
<br />
Belum diiyakan, suaminya sudah berdiri dan mengumpul pakaian Galang sendiri.<br />
<br />
“Ibu nggak usah khawatir, kan ada saya?” kata suaminya, namun belum bisa menghapus cemasnya.<br />
<br />
Lebih membuatnya heran, suaminya melarang dia ikut. Suaminya hanya berjanji, akan mengembalikan anaknya sekali sebulan. Saat itu, kebetulan komidi putar sedang pertunjukan di luar kampung. Seperti tertotok, dia mengiyakan saja. Barulah setelah dua hari kepergian suaminya, dia mulai menaruh curiga. Curiga untuk yang pertama kalinya. Selama ini dia memang selalu percaya kata hatinya, bahwa suaminya takkan menyeleweng.<br />
<br />
“Suamimu laki-laki kan? Jangan mudah percaya, Ainun! Jangan-jangan dia mengambil anakmu karena dia punya istri simpanan selama ikut komidi putar.”<br />
<br />
Tetangganya mulai ikut sumbang saran.<br />
<br />
“Suamiku bukan lelaki seperti itu.”<br />
<br />
“Ainun, lelaki semakin dipercaya semakin dia berpeluang memperdaya kita. Apa salahnya kamu mengunjunginya di kampung sebelah?”<br />
<br />
Ainun pun berangkat. Berat langkahnya terangkat, tapi dia melangkah juga. Di antara keramaian pasar malam, sejenak dia berdiri mematung di dekat panggung tong edan yang sementara mengadakan pertunjukan. Awalnya dia enggan. Dia takut melihat aktraksi maut suaminya, yang terkadang berdiri di atas motor, lepas tangan, sambil mengendarai motornya mengelilingi tong. Benar-benar edan! Tanpa pikir panjang lagi, dia berlari menaiki tangga.<br />
<br />
Di tak mengerti, mengapa anaknya bisa ada dalam tong yang di dalamnya sedang mempertunjukkan aktraksi edan? Bagaimana jika motor terjatuh dan menimpa tubuh anaknya yang sedang di lantai tong?<br />
<br />
Ternyata Galang dibonceng bapaknya. Tak ada ketakutan sedikit pun di wajah putranya, bahkan sesekali melepas tangan kanannya dari pinggang bapaknya, untuk mengambil saweran yang diberikan pengunjung.<br />
<br />
Tepuk tangan riuh, bergemuruh, saat Galang menerima saweran itu tanpa takut, bahkan masih sempat cium jauh untuk pengunjung yang memberinya saweran. Padahal, motor yang dikendarai bapaknya sedang meliuk-liuk, memanjat, dan mengelilingi tong yang berdiameter enam meter.<br />
<br />
Batinnya mengutuk perlakuan suaminya yang ternyata menjadikan anaknya pengemis dengan cara lain. Tubuhnya seolah terserang lumpuh layuh. Persendiannya terasa tak kuat lagi. Gravitasinya hilang, dirasakan tubuhnya melambung, saat mata anaknya yang tertuju padanya, seolah tak mengenalnya. Ainun terjatuh. Pingsan. Orang-orang mengerumuninya. Saat siuman, suaminya berada di sampingnya.<br />
<br />
“Begitu cara kamu menjaga Galang?” sinis dia.<br />
<br />
Galang yang melihat ibunya sudah bisa diajak bicara, langsung mendekat dan memberinya kalimat yang semakin memerihkan hatinya.<br />
<br />
“Bu, Galang suka di sini. Saya bisa beli mainan setiap malam,” ucap Galang sambil memperlihatkan mobil-mobilan plastiknya.<br />
<br />
“Penonton selalu ingin pertunjukan baru, Bu! Apalagi Galang laki-laki, kelak dia yang akan menggantikan saya.”<br />
<br />
“Memang di dunia ini cuma satu pekerjaan? Harusnya Galang disekolahkan!”<br />
<br />
“Tapi Galang belum cukup umur kan, Bu?”<br />
<br />
“Kalau anak seperti dia sudah bisa cari uang, bebas main tanpa batas di tengah pasar malam, mana mungkin ada minat untuk sekolah lagi?”<br />
<br />
Suaminya terdiam, membenarkan kalimat istrinya. Setiap Galang ditanya mau sekolah di mana, jawabnya pasti mau sekolah di lapangan. Galang bahkan tak mau pulang ke rumah. Juga tak mau sekolah. Padahal, usianya sudah memantaskan dia masuk TK. Dia lebih senang hidup di komidi putar, keliling kampung. Setelah Galang dirampas masa depannya, kini Aimah yang jadi sasaran.<br />
<br />
***<br />
<br />
Tiba di arena pasar malam, langkah Ainun bergegas menuju tong edan yang mulai mempertunjukkan aktraksi mautnya. Deru mesin motor yang memekakkan telinga, seolah tak didengarnya. Malam ini dia harus mengambil putrinya pulang, bukan karena Aimah anak wanita dan tak cocok ikut aktraksi tong edan, tapi karena dia tak ingin anaknya kehilangan masa depan.<br />
<br />
“Aimah!” teriaknya dari bibir dinding tong edan yang sedang dipanjati motor.<br />
<br />
“Ibu mengenal anak itu?” tanya seorang pengunjung padanya. “Dia baru dilatih. Dulu Galang, kakaknya, juga begitu. Masih takut! Tapi lama-kelamaan, akhirnya jago juga seperti bapaknya,” lanjutnya tanpa menyadari jika dia sedang berhadapan dengan ibu dari anak yang sedang dieksploitasi itu.<br />
<br />
“Cukup, Pak! Cukup!” teriak Ainun seperti orang gila.<br />
<br />
Dia yakin, telah terjadi sesuatu pada Aimah yang sedang dibonceng dengan tubuh yang diikatkan sarung, menyatu dengan tubuh bapaknya. Di belakang Aimah, Galang berdiri sambil berpegang di pundak bapaknya. Sesekali melambaikan tangan untuk pengunjung. Tentu saja dengan motor yang tetap pawai, melengket di dinding tong bagai reptil.<br />
<br />
Galang melihat sosok ibunya berteriak-teriak memanggil Aimah di antara mesin motor yang menderu. Galang langsung membisiki bapaknya. Selintas dia melihat wajah suaminya seperti pencuri yang ketangkap basah dengan barang bukti di tangan. Mungkin merasa bersalah, dia menurunkan motornya ke dasar tong.<br />
<br />
Ainun berlari menuruni panggung tong. Tapi saat tiba di pintu tong yang telah terbuka, dia mendapatkan suaminya, panik, mengguncang tubuh Aimah.<br />
<br />
“Mengapa dengan Aimah, Pak?”<br />
<br />
Suaminya tak pernah menyangka jika akan terjadi sesuatu pada diri Aimah. Tubuh kecil itu tetap kaku. Dingin. Ainun yang menyaksikannya ikut beku. Sayangnya, saat dia siuman, dia tak bisa membawa Aimah pulang. Allah telah duluan membawa Aimah pulang. (*)galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-32492984555524016782014-12-04T06:38:00.000-08:002015-12-09T17:48:58.353-08:00Kepala Saya Tertinggal di Monas<span style="font-family: "californian fb" , serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Cerpen Alizar Tanjung (</span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tribun
Jabar</i>, 4 Desember 2014)</b><br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><br /></b>
<br />
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-4XGYrLedc_s/VmZCHwLx44I/AAAAAAAAAJg/DF_hwReV_mE/s1600/monas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="376" src="http://3.bp.blogspot.com/-4XGYrLedc_s/VmZCHwLx44I/AAAAAAAAAJg/DF_hwReV_mE/s640/monas.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(anekatempatwisata.com)</td></tr>
</tbody></table>
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "californian fb" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span></span></b>Kepala saya tertinggal di Jakarta ketika saya berkunjung ke Monas. Kepala saya terlepas dengan sendirinya dari leher. Saya sedang asyik menjulurkan kepala di pagar Monas. Maklum orang kampung ke Monas, beraninya melihat-lihat dari balik pagar. Awalnya saya merasakan ada yang ganjil. Kepala saya berputar dengan sendirinya. Kepala itu memutar tiga ratus enam puluh derjat. Bermacam yang kepala saya lihat. Samping kiri dan kanan, sama saja, pohon-pohon yang memagar taman Monas. Juga orang-orang yang sama lugunya, memandang Monas dengan kepala menjulur. Anak-anak menaikkan kakinya ke pagar monas yang melintang. Seperti melihat capung-capung, anak-anak berteriak. Memandang ke belakang, anak-anak, orang-orang pacaran, para orang tua yang joging pagi. Saya lihat mereka asyik sekali bercengkrama, senyum, tertawa. Saya lihat gigi-gigi mereka yang putih, gusi mereka yang merah daging.<br /><br /> Sebenarnya saya tidak ada tujuan ke Jakarta, maksud saya menara Monas. Hanya saja waktu yang mengizinkan saya. Ya, tepatnya waktu. Sebab kalau tidak ada waktu yang mengizinkan tentu saja saya tidak akan sampai di Monas subuh-subuh hari. Sebab waktu yang membuat saya terdampar di stasiun Gambir jam tiga dini hari. Kenapa bisa? Ya, kenapa bisa? Pertanyaan ini juga menghuni kepala saya.<br /><br /> Saya sampai di Gambir, jurusan Purwokerto-Gambir pada jam tiga dini hari. Benar sekali. Jam tiga dini hari saya kebingungan. Sebenarnya menurut jadwal saya harusnya sampai jam empat pagi. Artinya saya cukup menunggu setengah jam sampai waktu subuh masuk. <br /><br />Menurut aturannya perjalanan Purwokerto-Gambir, delapan jam dengan kereta. Saya berangkat dari stasiun Purwokerto jam sembilan malam lewat seperempat. Sebenarnya saya pun bukan asli Purwokerto. Ke Purwokerto pun hanya persoalan kekasih. Ah, kekasih, kekasih benar-benar membuat saya dimabuk cinta. Tujuan sebenarnya TIM (Taman Ismail Marzuki). Ya, saya diundang dalam penghargaan pemenang cerpen. Pekerjaan saya memang pengarang cerpen. Orang-orang bilang cerpenis. Biar saja orang-orang bilang cerpenis.<br /><br />Saya sampai di Purwokerto karena tidak ingin waktu saya sia-sia ke pulau Jawa. Saya naik pesawat dari Bandara BIM Padang, Sumbar. Turun di Cingkareng. Mengambil jurusan mobil ke Purwokerto di Kalideres. Bertemu sang kekasih. Seminggu di Purwokerto, kembali ke Jakarta. Ya, di Jakarta-lah kejadian aneh itu bermula. <br /><br />Sialnya saya itu pertama kali ke Jakarta. Maksud saya juga ke Purwokerto. Maklum kota-kota itu terlalu asing bagi saya yang tinggal di pedalaman Sumatera Barat. Dan sampai ke Jakarta-Purwokerto-Jakarta tak lebih sebagai keberanian cari mati. Cari mati! Saya lebih suka menamakannya demikian. Kepergian saya tak lebih sebagai bagian dari nekat saja.<br /><br />Sampai di Jakarta. Ah, jam tiga dini hari saya berjalan menelusuri ke kanan. Berjalan dengan ransel di punggung. Dua puluh menit saya sampai di Monas. Saya tidak begitu tertarik berdiam, di dini hari yang masih kelam Monas tidak ubahnya hantu jahat. Saya teruskan jalan kaki memutar setengah lingkaran. Saya sampai pada pagar-pagar besi, pagar-pagar besi yang memanjang dan melingkar. Pagar besi yang kekar dan memiliki ketinggian tiga meter.<br /><br />“Malam, kerja-malam-malam Pak,” kata saya menyapa kepada tiga orang yang sedang memasang keramik tempat duduk di depan pagar yang melingkar. Seorang sedang melicinkan semen dengan kuas. Seorang mengaduk semen. Seorang memasang keramik “Kenapa pasangnya malam-malam Pak?”<br /><br />“Hidup Nak,” kata seorang yang sedang memasang keramik. Saya teruskan berkeliling pagar besi. Hujan rinai, turun. Pada pagar gerbang yang tingginya saya taksir empat meter, sebuah mobil traveling berhenti di depan pagar. Beberapa orang asyik bercengkrama. Dua orang saya lihat merokok sambil bersandar ke dinding gerbang. Saya tidak ingin ikut campur. Saya teruskan berjalan dan pada menjelang gerbang kedua, saya menemukan seorang meringkuk di bawah hujan rinai. Sedikit berteduh dengan kerobeng halte bus. Lelaki kurus itu meringkuk dengan kain sarung menutupi separuh badan. Ah, ini kota besar. Pada gerbang kedua, dua orang kembali saya temukan meringkuk di bawah rinai. Seorang di bawah pos satpam. Seorang merapat ke dinding gerbang masuk. Kota besar memang menyimpan banyak kisah. <br /><br />Saya buka jam hp, masih jam empat dini hari. Sudah satu jam saya rupanya berjalan.<br /><br />Saya lanjutkan berjalan mengelilingi pagar. Kemanakah pagar ini akan berakhir? Sampai pada gerbang ketiga, pintu gerbang telah dibuka. Seorang baru saja membuka gemboknya. Saya beranikan bertanya. “Maaf Pak, gedung apakah di dalam pagar tinggi ini?” Kata saya kepada seorang yang lebih mirip ustad. Entah karena pakaiannya.<br /><br />“Ini masjid Istiqlal, saudara.”<br /><br />“Oh Masjid Istiqlal ya Pak?”<br /><br /> Isya yang belum saya laksanakan sebelum berangkat dari Purwokerto saya tunaikan di masjid itu. Apa namanya? Oh ya, Masjid Istiqlal. Setengah jam sebelum subuh masuk. Selesai subuh saya kembali mengangkat ransel ke punggung. Bertemu pengemis di pintu keluar masjid. “Abang orang Padang?” katanya. Saya mengangguk. “kalau begitu kita sekampung.” “Darimana Anda tahu?” kata saya. “Dari cara Abang bersikap dan berbicara kepada tukang parkir sepatu di dalam,” katanya. “Abang, saya mohon pinjam uang lima ribu. Saya belum makan.” <br /><br />Pinjam, ah, kemanakah akan ia balikkan? Mungkin ia membalikkan kepada Tuhan. Saya pinjamkan uang sepuluh ribu. Ya, saya pinjamkan. Saya pergi, berfoto, kembali memutar dan bertemu dengan Monas. <br /><br />Pagi-pagi sekali saya menjulurkan kepala di Monas. Jam enam pagi. Dua orang asyik berpose dari kejauhan di belakang saya. Seorang perempuan muda berpose dengan sangat genitnya. Lidahnya menjulur. Tangan kanannya menyentuh pipinya. Seorang laki-laki memotret. Mereka bergantian saling memotret. Kemudian mengaktifkan tombol otomatif. Mereka berpose bersama. Itu saya saksikan ketika kepala saya memutar tiga ratus enam puluh derjat dengan sendirinya. <br /><br />Orang-orang yang menyaksikan kepala saya berputar, hanya berkomentar, “Anda pemain akrobati ya?” “Oh, sangat mirip dengan yang di film-film.” “Maukah Anda mengajarkan bagaimana caranya kepada saya?” “Salup untuk Anda.” Salup, oh, benarkah orang-orang itu benar-benar salup. Atau hanya karena senang melihat ada sesuatu yang aneh saja. Saya abaikan orang-orang yang memuji kepala saya. Saya sendiri tidak memuji kepala saya. Melainkan, ya, melainkan merasakan aneh saja. Bagaimana mungkin kepala saya berputar.<br /><br />Kepala saya itu lepas dari leher saya saat saya memutar kaki hendak meninggalkan Monas. “Tinggalkan saya di Monas,” kata kepala saya. “Anda silahkan pulang. Keluarga Anda sedang menunggu di Padang.”<br /><br />“Maaf, Anda harus pulang bersama saya. Anda datang bersama saya dan pulang bersama saya,” kata saya menarik kepala itu dari pagar. Meletakkan kembali di leher saya. Saya rekatkan erat-erat di leher saya.<br /><br />“Kalau Anda tidak meninggalkan saya, saya akan melepaskan mata saya,” kata kepala saya. Kepala saya melepaskan dua bola mata saya. Saya sungguh tidak percaya, bagaimana mungkin kepala saya melakukan hal itu. Mata saya itu masuk ke balik pagar. Turun naik bak bola pingpong. Dua bola mata kepala saya itu berdiam di pot bunga, di bawah lampu taman. Mata saya memandang kepala saya yang bolong.<br /><br />“Kalau anda tidak juga melepaskan saya, saya akan melepaskan gigi-gigi saya. “Kepala saya melepaskan gigi-giginya. Gigi-gigi itu menari di atas halaman taman. Gigi-gigi itu melompat bagaikan liliput. Gigi-gigi itu berkumpul bersama bola mata. Saya tertegun di balik pagar. Apa yang dipikirkan oleh kepala saya.<br /><br />“Mari kita pulang,” kata saya mengambil ransel yang bersandar ke pagar, meletakkannya ke punggung. Kepala saya memutar-mutar tidak beraturan.<br /><br />“Kalau anda tidak melepaskan saya, saya akan melepaskan rambut-rambut saya.<br /><br />“Anda ini gila!”<br /><br />Kepala saya melepaskan rambutnya satu-satu. Rambut itu serupa kumpulan benang hitam yang putus-putus. Makin lama rambut di kepala saya makin habis. Ketika saya rasakan kepala saya dengan usapan telapak tangan kanan, saya rasakan kepala saya yang licin.<br /><br />“Anda ini neko-neko saja,” kata saya. Kemudian kepala saya menyentak kuat. Dan saya tiba-tiba sudah melihat kepala saya berkumpul dengan mata, gigi-gigi, rambut saya. Dua bola mata saya kembali masuk ke lobang mata kepala saya. Gigi-gigi saya kembali tersusun miring di bagian bawah dan rapi di bagian atas. Rambut-rambut saya kembali terbang dengan perlahan dan menutupi kepala botak saya. <br /><br />“Trimakasih,” kata kepala saya yang melihat saya terpaku dari balik pagar.<br /><br />Saya pulang dari Monas membawa kaki, tangan, dada, punggung, leher tanpa kepala. Menyetop kopaja. Sebuah kopaja berhenti di depan saya. Saya duduk di bangku nomor dua dari depan. Saya tahu orang-orang sedang memperhatikan leher saya tanpa kepala.<br /><br />“Kemana kepala Anda?” Kata kondektur.<br /><br />“Kepala saya sedang mendirikan sejarah,” kata saya.<br /><br />“Di mana?” Kata kondektur sambil meminta uang tiga ribu. Saya keluarkan uang limar ribu. Kondektur membalikkan dua ribu uang receh.<br /><br />“Di Monas.” Kata saya.<br /><br />“Kemana Anda membawa badan tanpa kepala?” Kata kondektur. Oh, betapa tampak kurusnya kondektur itu dengan kumisnya yang tipis. Matanya yang sipit. Giginya yang jarang-jarang dan kuning.<br /><br />“Saya pertemuan penghargaan pemenang cerpen di TIM,” kata saya mengeluarkan surat undangan dari panitia penyelenggara lomba cerpen. Kondektur itu mangguk-mangguk.<br /><br />“Anda seorang pengarang?” saya diam saja. “Anda turun di depan. Anda nanti berjalan ke kiri. Nanti Anda akan melihat tulisan TIM di gerbang pintu masuk,” kata kondektur sembari mengembalikan surat undangan saya. Kemudian saya turun dengan tubuh tanpa kepala.<br /><br />Sesampai di tempat acara penerimaan penghargaan, saya katakan kepada panitia lomba, “Maaf saya datang tanpa membawa kepala saya. Kepala saya meminta izin tinggal di Monas,” kata saya ketika registrasi di meja panitia. Saya masuk melengggangkan tangan. Dalam pertemuan saya melihat badan-badan tanpa kepala.<br /><br />“Kemana kepala Anda, Bung?” Kata saya kepada peserta yang hadir. Peserta yang hadir menoleh kepada saya.<br /><br />“Kepala kami sedang mendirikan sejarah di Monas.” Lebih mirip bunyi paduan suara. Saya pulang ke Padang dengan tanpa kepala, membawa hadiah tropi, tabanas, antologi, dan tanda tanya. Tanda tanya kepala saya.***<br /><br />
<div style="text-align: right;">
Padang, Oktober 2011-2014</div>
</div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNoSpacing" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-31672374123191476212014-11-01T06:49:00.000-07:002015-12-09T17:47:02.902-08:00Nobar Kampung PohuwayamaCerpen Idrus Dama (1 November 2014)<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-gEgZgLsjWKc/VmY_PwIBv9I/AAAAAAAAAJU/x05WAEFVN6M/s1600/bioskop.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="409" src="http://4.bp.blogspot.com/-gEgZgLsjWKc/VmY_PwIBv9I/AAAAAAAAAJU/x05WAEFVN6M/s640/bioskop.JPG" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(geoffreview.com)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
Madrasahku bukan markas militer. Tapi setiap pagi, ujung rotan yang panjangnya sebahu, selalu saja menyambutku. Padahal kesalahan hanya sederhana, menonton televisi. Tidak lebih! Aku tidak paham, aturan mana hendak diterapkan si guru yang ditinggal mati istrinya itu. <br /><br />Si guru sadis itu pak Hasyim namanya. Dialah pemegang cemeti rotan legendraris. Aku menjulukinya, si tuan takur dari timur. Aturannya aneh bin kacau. Sebelum santri masuk kelas, selalu saja ada Sweeping. <br /><br />“Tantu dia kira ini torang pencuri, nanti mo sweeping” Keluhku.<br /><br />Wajah lelaki tua itu mirip sekali dengan tentara masuk desa. Potongan rambutnya yang semi cepak membuatnya seperti baru selesai dari pelatihan militer.<br /><br />“Cepat! yang menonton semalam, berpisah dari barisan!”Bentaknya mengagetkan seisi lapangan madrasah. “Ingat pesan Rasulullah, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit” Pria tua itu memberi warning.<br /><br />Tahukah kalian? Kata-kata suci yang baru saja terlontar itu sudah dihafal mati oleh santri. Saat apel, kata-kata itu bak roket yang meledak tepat di lubang gendang telinga. Seakan tak ada kalimat ampuh lainnya yang bisa mewakili pendidikan tentang kejujuran di madrasah ini.<br /><br />Aku jadi tambah penasaran. <br /><br />“Kinapa guru di sini boti pak Hasyim saja mama. Kan madrasah ini so mulai banyak santrinya?” <br /><br />Ibu terdiam sejenak. <br /><br />“Masalahnya bagini, madrasah ini jauh dari kotaan. Mana mau guru kesini. Apalagi kalau harus menyebrang laut” keluh ibu. <br /><br />“Sungguh terlalu!” aku menanggapi dalam hati.<br /><br />“Cepat! Mangaku saja!” Aku terbangun dari lamunan. Cerita ibu jadi terputus. <br /><br />“Kalian lagi, sampai kapan sih kalian melanggar aturan madrasah ini?” katanya kesal “Kalian pindah ke pojok sana dan sisanya silahkan masuk ke kelas!” perintahnya dengan nada kesal. Amarah si guru berwajah tirus itu naik beberapa digit.<br /><br />Santri nakal itu aku, Sakinah, Salman dan Boker. Kami berempat adalah aktor tak tergantikan di ajang menonton bareng di kampung. Kami dijuluki, hiu tomini. Kenakalan kami cukup banyak popular, tersiar bak jaringan tangan gurita. Tidak hanya soal menonton saja, menyembunyikan kaca mata pak Hasyim, sampai mengunci pria itu di dalam kamar mandi berjam-jam lamanya telah kami lakukan. <br /><br />Entah mengapa, kebencian kami pada lelaki usia lapuk itu begitu dalam. Setiap kali menatapnya, seketika amarah mencapai ubun-ubun.<br /><br />Seandainya bisa membela diri, pasti kuajak bertikai si guru itu. <br /><br />“So suka molempar akan batu muka le tuan Takur ini!” Aku menggerutu, kepala spontan seperti ada jutaan kutu tumpah mengulek rambut hingga terasa gatal menggerogoti.<br /><br />Nasib… madrasahku anti televisi<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />Pohuwayama adalah daerah pesisir Gorontalo. Daerah ini sulit menenukan titik cahaya selain lentera. Kalau pun ada cahaya bola lambu pijar, pasti itu di rumahnya juragan Sagela, pak Marwan. Seorang pengusaha pengasapan ikan tradisional Gorontalo. Dia adalah jutawan yang ada di kampung kami. Produksi Sagelanya mampu menembus pasar internasional. Herannya, negaraku bahkan tidak tahu persis dimana kampung ini. Namanya besar, tapi nyaris kehidupan penduduk di sini tidak terekspos. Bahkan kartu tanda penduduk saja ada yang tak tak memiliki, parah! <br /><br />Pak Marwan memang orang kaya. Wajar jikalau rumahnya menjadi mercusur kebanggaan di kampung. Sehabis salat magrib, pasti orang bakal datang berduyun-duyun seperti jamaah haji menuju rumahnya. ngapain? Ya ikut acara nonton bareng, tradisi lama kampung yang hingga kini terjaga. Tidak kenal tua atau muda, bahkan anak-anak pun ikut nimbrung bersama di acara ritual “nobar” ini.<br /><br />Menonton adalah hal baru bagi kami penduduk pesisir, terutama daerah Pohuyama. Bahkan, kebiasaan menonton ini mengalir bagai darah di setiap nadi, berlanjut hingga generasi selanjutnya. <br /><br />Sayang, lelaki tinggi berbadan krempeng, Hasyim, paling anti soal menonton televisi.<br /><br />Apa mungkin ia berusaha memutus mata rantai ritual menonton bareng? Ah aku tidak tahu persis. Yang jelas, setiap pagi, kakiku harus bengkak gara-gara ritual moderen ini. Sampai habis minyak kelapa untuk mengolesi kaki setiap malam.<br /><br />Ibu pernah bercerita, di kampung ini dulu pernah ada perhelatan setiap malamnya. <br /><br />“Dipoluwo televisi, gambusi u’paling rame to kambungu” <br /><br />Ibu menggambarkan.<br /><br />Gambus adalah hiburan paling populer sebelum televisi masuk di kampung ini. Jika gelap telah mendekap, tiap pasang muda-mudi berkumpul di tengah kampung. Duduk sejejajar di hamparan pasir pantai sambil mendengarkan lantunan Pandungi, syair khas daerah Gorontalo. Yang dalam perpektif sastrawan, pandungi adalah puisi lama yang memiliki intonasi yang sama di setiap akhir bait.<br /><br />Syair yang dilantukan bisa beragam, sesuai pesanan yang hadir saat itu. Kalau temanya tentang bujang yang sedang dilanda asmara, maka syair yang dilantunkan pun berkisah tentang pelamaran dan perjodohan. Bahkan, merembes kepada kisah merampas istrinya orang. <br /><br />Asali bo raja bau <br />Asali tola lo pana<br />Openu hiya lotawu<br />Wau barani mohama<br /><br />Ibu mendendangkan sebisa mungkin. <br /><br />Kalau diartikan kedalam bahasa melayu akan bermakna, “Meskipun ikan hanya raja Bau, asalkan ikan itu hasil memanah. Meskipun istrinya orang, aku pun berani merampasnya.” <br /><br />Semelir angin laut merangkak, menepuk jendela rumah kami. Raungan anjing menambah kengerian malam. Bunyi daun kelapa saling bergesekan di halaman rumah, terdengar seperti orang menyapu halaman.<br /><br /> “Lalu mengapa pak Hasyim begitu benci dengan acara menonton?” aku penasaran. “Bukankah dengan menonton kita bisa dapatkan ilmu?” tanyaku pada ibu beruntun seperti pak polisi. <br /><br /> Ibu berdesis. Helaan nafasnya seperti menyimpan tragedi.<br /><br />“Dulu pernah siswa berzina di dalam kelas”<br /><br />Mendengar itu, seketika alis mata kananku meninggi. Sepertinya sensisif menerima signal negatif. <br /><br />“Setelah diperiksa, kedua anak ini ikut menonon film porno di tengah malam. Dulu, jadwal nonton anak-anak diizinkan hanya dibatasi jam sepuluh. Setelah itu barulah dilanjutkan dengan film orang dewasa, ya porno itu!” ibu berusaha membahasakan dengan cara sederhana, versi anak-anak.<br /><br />“Setelah menonton mereka pun melakukan hal yang sama di madrasah!”<br /><br />“Oooooo, jadi gitu?” aku langsung ngeh mendengarnya.<br /><br />Ibu menaik-turunkan dagunya, mengiyakan.<br /><br />“Apa acara menonton porno masih ada sekarang?”<br /><br />“Husss…!!” “tokk!” Tangan ibu mendarat tepat di kepalaku.<br /><br />“Kamu mau menonton yang begitu juga?” Ancamnya, wajahnya garang, segalak mak lampir dalam film gunung merapi.<br /><br />“Hehe..hehe.. tidak bo ada tanya!” Aku mengelak.<br /><br />“Awas kalau kau menonton yang bagituan! Ibu hajar kamu!”<br /><br />Aku menelan luda dan langsung mengingat kejadian ketika dikejar ibu sewaktu mencuri kelapa muda. Kencingnku sampai banjir di celana saat lari terbirit-birit. <br /><br />“Trus, kenapa pak Hasyim tidak penutup saja kebiasaan menonton di kampung ini?” <br /><br />“Ah malam sudah larut. Ambillah sarungmu. Matikan lampunya. Minyak tanah mahal. Nanti jatah untuk besok habis. Ibu akan lanjutkan cerita besok saja” keluh ibu sambil menurunkan kulambu, sehelai kain putih yang lubangnya mirip sutra, yang dililitkan di sebuah tempat tidur. Gunanya adalah untuk menghindari nyamuk. <br /><br />Aku bersiap tidur. Tikar kugelar.<br /><br />Kulihat ayah telah tertidur lelap. Tubuhnya terbungkus dan membungkuk. Ayah tidak seperti lelaki kampung. Dia memilih tidur, dibanding menonton film porno. <br /><br />Ah! Ingatanku belum bisa kabur dari cerita ibu.<br /><br />“Pak Hasyim, ternyata itu alasanmu melarangku menonton!”<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />Keterangan : <br /><br /><i>Pohuwayama </i>: Nama asli Paguyaman dalam bahasa Gorontalo<br /><i>Kinapa</i> : Mengapa<br /><i>Boti</i> : Hanya <br /><i>Mangaku</i> : Akuilah <br /><i>Molempar</i> : Melempar<br /><i>Pandungi</i> : Pantun <br /><i>Sagela</i> : Ikan Asap rowa, kuliner khas Gorontalo. <br /><i>Kulambu</i> : Kain semalam tirai kain yang mengelilingi ranjang. Dipakai untuk mengindari nyamuk. <div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-OQHB42Q0_uw/VL-9m00QMUI/AAAAAAAAAH8/4Y0mWm4Fv3k/s1600/Idrus%2BDama.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="111" src="http://4.bp.blogspot.com/-OQHB42Q0_uw/VL-9m00QMUI/AAAAAAAAAH8/4Y0mWm4Fv3k/s200/Idrus%2BDama.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: normal;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-43320475840755052412014-10-19T18:12:00.000-07:002015-12-09T17:44:01.376-08:00Pertarungan<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Cerpen <b><a href="https://www.facebook.com/benny.arnas" target="_blank">Benny Arnas</a> </b>(<i>Jawa Pos,</i> 19 Otober 2014)</span><br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-6MmJidAEejw/VmY4vpFTL_I/AAAAAAAAAI8/OKdTMDVDyTk/s1600/pertarungan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="360" src="http://2.bp.blogspot.com/-6MmJidAEejw/VmY4vpFTL_I/AAAAAAAAAI8/OKdTMDVDyTk/s640/pertarungan.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(southfront.org)</td></tr>
</tbody></table>
Pukul sepuluh malam Jumat kemarin, dering ponselku adalah alarm yang kuatur waktu menyalanya. Aku tahu bahwa kau tidak pernah peduli dengan nada dering yang kupakai sebab mengurus dua anak kita yang masih balita jauh lebih menyita perhatianmu. Ketika kukatakan bahwa aku akan menemui seorang kawan lama di utara kota, kau sedikit keberatan.<br />
<br />Kau sempat membawa-bawa kasus penodongan atau perampokan—yang berujung pada pembunuhan korbannya—yang kerap terjadi akhir-akhir ini sebagai dasar keberatanmu. Aku pun menanggapinya dengan tawa kecil. Ya ya ya, apa yang ingin perampok atau penodong atau pembunuh itu ambil dariku, Sayang. Kita bukan orang yang layak dirampok atau ditodong atau dibunuh. Lagi pula, imbuhku masih dengan berseloroh, kau tahu bukan kalau aku adalah preman yang kaubelokkan ke jalan lengang yang bernama Mengarang, jalan yang akhirnya kautitipi padaku karena kau ingin berkonsentrasi mengurus anak,jalan yang hingga kini telah mengantarku menjadi pengarang terpandang di kota kita. Kau sering sekali bilang kalau hidupku—hidup kita!—takdirnya memang di sastra. Ah, betapa beruntung dan bahagianya aku memilikimu.<br /><br />Entah kau menyimak kata-kataku atau tidak, kau langsung menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua botol-dot berisi susu formula cair.<br /><br />Ah, kau pasti lelah sekali, istriku.<br /><br />Aku tahu, mengurus dua anak bukanlah perkara mudah. Walaupun kadangkala aku merasa mengarangsangat melelahkan ketika ide takkunjung berhasil kutangkap, namun tentu sajaitu belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kaujabani. Ya, aku sempat beberapa kali berniat membantumu mengurus anak kita, bahkan pernah suatu hari aku mencoba mengambil alih anak-anak dengan menyilakanmu belanja ke pusat kota cukup lama, dan hasilnya adalah aku benar-benar kerepotan.<br /><br />Ah, betapa beruntungnya aku memiliki istri yang begitu mencintaiku. Kau tak pernah mengutarakan rasa kesal, marah, atau perasaan tak bersahabat lainnya dengan banyak bicara apalagi tindakan emosional. Diam. Ya, diam. Begitulah kau mengutarakan ketaksepakatanmu. Aku menghapal tabiat itu ketika aku selalu memintamu “bersabar” saban kau menanyakan kapan kita akan meninggalkan rumah kontrakan dan memiliki rumah baru. Sekali lagi: hanya diam. Aku perlu menegaskan ini karena “diam”-mu tidak seperti “diam”-nya perempuan apalagi istri kebanyakan. Diammu tidak disertai mimik muka cemberut, jutek, kesal, ataumarah. Tidak!<br /><br />Kau sempat membisu hampir tiga hari sebab aku tak mengabulkan keinginanmu menjual mobil pemberian orangtuaku demi membayar uang muka rumah baru. Kau harus tahu, Sayang: memilikimobil adalah prestise tersendiri bagi pengarang kondang sepertiku—terlepas apakah kita hanya makan nasi telur-kecap setiap harinya dan telah mengganti susu formula anak kita dengan merk yang paling murah harganya.<br /><br />Ah, ekspresimu ketika tak bersetuju memang tak pernah berubah: bisu. Selalu begitu.<br /><br />Seperti itu pula yang terjadi malam itu.<br /><br />Termasuk ketika kutanyakan perihal makanan apa yang ingin kubawakan sepulang menemui Ilyas, begitu aku biasa menyapa teman lamaku itu. Ketika kutanyakan lagi untuk kedua kalinya, seperti merepet dalam volume yang sumir kaukatakan kalau sebaiknya aku tidak pulang kalau tidak membawa rumah baru.<br /><br />Aku tahu kalau kau muak dengan sikap empat kakak perempuanmu yang terus membanggakan rumah yang dihadiahkan suami mereka,atau bisa-bisa saja kau bercanda … tapi jangan begitu, Sayang. Kedengarannya keterlaluan dan nyelekit. Aku juga sedang berusaha keras untuk menyumpal mulut mereka dengan rumah kita sendiri. Ah,harusnya aku memaklumi sikapmu sebab mungkin saja kau merasa muak dengan alasan-alasanku karena saban keluar malam—terutama dua pekan belakangan—aku selalu pulang di atas pukul dua belas, waktu ketika kau sudah terlelap di antara kedua anak kita yang khusyuk dengan botol dot susu formula yang isi nyatak lagi penuh.<br /><br />Pagi ini, kau mengutarakan pertanyaan yang hampir saja mencabut jantungku dari tempatnya berdetak. Aku pun bercerita dengan jujur. Ya, perlu kukatakan dengan lengkap bahwa “aku bercerita dengan jujur—dengan jujur!” agar kau tahu kalau aku memangs uamimu yang baik, bukan laki-laki brengsek yang suka main perempuan seperti ketakutan yang tak pernah kauutarakan itu.<br /><br />Kau menyimak ceritaku dengan saksama. Kadang mengerenyitkan dahi. Kadang membesarkan bolamata. Kadang mengangguk-angguk. Kadang hanya menatap tajam. Semua bahasa tubuh itu kautunjukkan tanpa suara.<br /><br />Usai menyambut telepon dari Ilyas, kukatakan kepadamu bahwa aku akan segera pulang tak lama setelah menemuinya. Aku memang tak memerlukan jawabanmu. Tentu saja karena aku hapal bahasa tubuhmu kalau tak merestui tindakanku—bukan karena kerepotanmu mengurus dua anak kita yang berebutan balon berbentuk ikan. Kuambil kunci mobil dan melangkah keluar, menuju garasi di belakang rumah. Hebatnya, kau masih sempat mencangking Si Sulung yang berteriak memanggilku dan ingin memaksa ikut. Ah, sebenarnya aku merasa bersalah. Tapi sudahlah. Aku menyalakan mesin mobil sebelum memutar setir ke kiri dan membelokkannya ke jalan utama komplek.<br /><br />Di kampus, aku dan Ilyas sangat dekat karena kami sama-sama tergabung di dalam tim nasyid, semacam grup vokal lagu-lagu islam(i), yang kami dirikan. Sejak berpisah sebelas tahun yang lalu, terlebih setelah kami menikah lima tahun yang lalu—bukan berarti kami naik pelaminan di tanggal dan bulan yang sama, kami tak pernah saling kontak. Bahkan, aku yakin, sebagaimana aku yang tak pernah ingat tanggal lahirnya, Ilyas juga tidak menyimpan nomor ponsel baruku. Sebenarnya kami bisa berbagi kabar lewat media sosial karena kami sama-sama berteman di Facebook, namun entah mengapa kami tak melakukannya. Memiliki keluarga benar-benar—bukan hanya menyita waktu ‘bernostalgia’ kami—menyibukkan atau mengasyikan atau melenakan. Ya, apalagi sejak memiliki anak, waktu bersama mereka acap membuatku ‘lupa diri’.<br /><br />O ya istriku, aku akhirnya menemui Ilyas setelah menyetir lima belas menit dari rumah. Sebagai teman dekat yang lebih sepuluh tahun tak berjumpa, kami berpelukan erat untuk beberapa saat. Di mata kami, ada kerinduan dan kehangatan yang membara. Aku mengajak Ilyas naik ke mobil setelah ia mengatakan bahwa bus yang ditumpanginya sedang mogok dan si sopir sudah memberitahu penumpangnya bahwa perbaikan akan memakan waktu paling cepat dua jam. Aku mengajak Ilyas ke salah satu kafef avoritku yang buka sampai larut malam di pusat kota. Kami membincangi banyak hal. <br /><br />Tentang keluarga, pekerjaan, pengalaman menarik, dan tentu saja masa lalu. Kami sangat bersemangat hingga membuat pelayan kafe beberapa kali menegur kami untuk mengurangi volume suara dan tawa yang meledak semaunya.<br /><br />O ya Sayang, sebenarnya aku menawari Ilyas untuk mampir ke rumah kita, namun ia menolak. Aku baru tahu kalau dia baru saja bercerai beberapa bulan yang lalu. Dengan air muka sedih Ilyas mengutarakan alasan perpisahan mereka. Aku pun memakluminya.Ya, dapat kupahami bagaimana perasaan seorang melankolik seperti Ilyas bila melihat kau yang begitu menyayangiku dan dua anak kita yang lucu-lucu. Ah Sayangku, kalau istri Ilyas mau bersabar, mungkin saja Tuhan akan mengaruniai mereka seorang bayi pada tahun-tahun berikutnya, sebagaimana kita yang bersabar menimang buah hati di tahun kedua pernikahan.<br /><br />Ah sudahlah, aku harap kau bisa mafhum perihal aku yang tak membawanya ke rumah.<br /><br />O ya, kau tahu bukan, kalau malam itu aku pulang pukul setengah dua belas. Busnya baru selesai diperbaiki pukul sebelas. Namun bukan itu yang menyebabkanku tiba di rumah setengah jam berikutnya, melainkan karena aku berkelahi dengan seorang penjambret yang hendak merampas tas Ilyas. Alhamduilllah Ilyas dan tasnya selamat, tapi tangan kananku terluka karena menangkis pisau yang diarahkannya kepadaku. Ah,untung saja banyak orang yang datang hingga perampok itu keburu kabur.<br /><br />Usai mengantar Ilyas ke bangku bus, aku langsung pulang. Kau tahu, itu artinya, aku nyetirngebut, Sayang.<br /><br />Sesampainya di rumah, setelah membuka pintu dengan kunci serap yang bergantung di ujung dompetkunci mobil, sebagaimana biasa aku langsung menuju kamar. Di sana, kau dan dua anak kita sudah terlelap. Si Sulung sudah tidur dengan kaki kanan di atasperutmu dan botol dot yang sudah jatuh ke lantai, sementara Si Bungsu masihmengemut ujung kompeng dari botol dot yang tak ada lagi isinya … sementara kau,ya, kau masih terlelap dengan mulut yang setengah menganga.<br /><br />Kau masih ingat, bukan, kalau aku mematikan lampu beberapa saat sebelum memelukmu dan membisikkan sesuatu yang meremangkan bulu kudukmu. Tanpa kata, kita pindah kekamar sebelah. Di sana, kita bertarung hebat dengan bersenjatakan gairah. Kitamengakhiri permainan satu jam berikutnya sebab Si Sulung sudah memanggil-manggilkita. Ia pasti merengek karena botol-dot susunya tak lagi berada dalam jangkauannya.<br /><br />Kau tersenyum manis sekali malam itu. Manis sekali. Tentu saja bukan (hanya) karena pertarungan sengit yang memberi kemenangan kepada kita berdua, melainkan karena aku mengatakan bahwa esok kita akan membeli rumah baru di perumahan elit di dekat gerbang kota. Kau langsung memelukku dan kita bertarung lagi.<br /><br />Istriku … jangan tersipu malu seperti itu.<br /><br />Maafkanlah kalau ceritaku jadi ngelantur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa, itulah berkah kalaukita berbuat baik pada orang lain. Ada-ada saja cara Tuhan menunjukkan jalan agar kita memiliki rumah sendiri. Kau tahu, Ilyas ternyata sudah menjadi kontraktor yang sukses di Jakarta, dan perumahan elit yang hangat diberitakan di koran-koran lokal itu ternyata adalah proyeknya. Entah karena trenyuh mendengar ceritaku sebagai seorang pengarang yang beristrikan seorang wanita rumahtangga, entah dia sedang berulangtahun (jujur, sedekat-dekatnya kami, aku tak pernah ingat tanggal lahirnya), entah dia memang hendak menunjukkan rasa persahabatannya yang begitu tulus, atau karena ia berasa berutang harta—atau juga nyawa (sepertinya ini yang paling mungkin), ia memberi kita salah saturumah di Blok D. <br /><br />Nah, kau sudah tahu cerita yang sebenarnya, kan, Sayang? Ah, harusnya malam tadi kau bertanya tentang tangan kananku yang terluka.<br /><br />Kau tersipu malu.<br /><br />Ya, bagaimana mungkin malam tadi kau tak melihat perban di salah satu tangan suamimu. Kau benar-benar bersemangat kalau lampu sudah dipadamkan, Sayang.<br /><br />Kau tersipu malu,lagi. Kau tentu sangat bangga memiliki suami sepertiku, bukan?<br /><br />HAMPIR empat bulan kita menempati rumah ini. Namun cerita yang kusampaikan di hari terakhir kitatinggal di kontrakan itu selalu menerorku. Maafkan tentang dering ponsel, Ilyas, penjambret, hadiah rumah baru, dan mobil yang melaju di malam itu ….Maafkan aku telah menyalahgunakan kelihaian mengarangku.<br /><br />Ilyas itu tak pernah ada. Apalagi hadiah rumah barunya. Pun dengan mobil kita yang hanya kulajukan sebentar sebelum kuparkirkan di bawah pohon mangga sebuah bedeng kos anak-anak sekolahan yang takkan peduli dengan apa yang kulakukan malam itu: menyetop ojek, menyelinap di antara rumpun irish yangrimbun, sepuluh meter dari ATM Bersama di salah satu tepi jalan utama yang lengang di utara kota. Setelah memaksa seorang laki-laki mengeruk isi tigakartu ATM-nya malam itu juga, aku nyaris berada dalam kemalangan bila saja pisau yang secara tiba-tiba ia keluarkan dari balik pinggangnya mengenai perut atau dadaku (tidak mengenai tangan kananku yang sekaligus melemparkan pistol rakitanku ke tanah). Korban ketiga itu benar-benar susah ditaklukkan. Untungsaja ini bukanlah kota yang ramai sehingga perkelahian kami tak menyedotperhatian. Hanya ada dua orang ABG laki-laki—yang sibuk dengan gadget dan headset di telinga—berjalan di trotoar seberang jalan dan sebuah bus antarpulau yang melaju kencang.<br /><br />Itu adalah operasiku yang terakhir setelah kupikir uang simpanan untuk membelikanmu rumah mewah itusudah lebih dari cukup. Aku benar-benar ingin insaf dalam keadaan tenang,nyaman, dan damai—dan aku lupa kalau semua itu tidak bisa dibeli dengan caracuci tangan dari tiga kali pembunuhan yang kulakukan!<br /><br />Sebentar lagi,setelah anak-anak terlelap di kamar mereka, aku akan mengajakmu meninggalkantempat tidur dan berbicara di ruang tengah. Kupikir kamis malam adalah waktuyang mustajab. Dan keyakinanku bertambah ketika menyadari bahwa kebohongan terakhirku dilakukan pada waktu yang sama, malam Jumat empat bulan yang lalu. Aku sudah berniat untuk jujur kepadamu,Istriku, Aku tak tahu, apakah aku akan mampu atau justru mengarang kebohongan yang baru. Ah persetan! Yang penting aku sudah meniatkan pengakuan ini, demi ketenanganku, juga ketenangan keluargaku!<br /><br />Kuhela napasbeberapa kali. Sudah terangkai kalimat pembukaan di dalam kepalaku. Terimalah pengakuanku ini, Istriku, batinku. Baru saja kubuka pintu kamar, kulihat kau sudah berdiri di tepi ranjang dengan baju tidur yang empat kancing teratasnya—sengaja kau—lepas dari lubang pengaitnya.<br /><br />Kau memberi kode agar aku mematikan lampu. Kita bertarung lagi. Bukan satu jam, tapi sampai pagi. Sepanjang pertarungan, aku tak berhenti berharap kalau-kalau pada salah satu halaman di dalam kitab suci—agama mana pun itu—tertera: membahagiakan istri di malam Jumat, bukan hanya menuai pahala karena mengamalkan sunah rasul, tapi juga kuasa membasuh dosa besar.<br /><br />Dosa pembunuhan.(*)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="background: white; line-height: 15pt; margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="color: #141823; font-family: "georgia" , "serif"; mso-bidi-font-family: Helvetica;"><br /></span></div>
<div style="background: white; line-height: 15.0pt; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-86997219923240265562014-09-07T18:19:00.000-07:002015-12-09T17:42:06.096-08:00Meja Makan yang Menggigil<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Cerpen <b><a href="https://www.facebook.com/mashdar.zainal" target="_blank">Mashdar Zainal</a></b> (<i>Media Indonesia</i>, 7 September 2014)</span><br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-H-uDLqgcCKE/VmY9EU4WkrI/AAAAAAAAAJI/BnJRkda71ns/s1600/lubang%2Bkunci.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="348" src="http://2.bp.blogspot.com/-H-uDLqgcCKE/VmY9EU4WkrI/AAAAAAAAAJI/BnJRkda71ns/s640/lubang%2Bkunci.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(fracturedparadigm.com)</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
LUBANG kunci di pintu kamarku seperti kamera yang merekam segalanya. Semenjak Ayah mengunciku di dalam kamar, mataku selalu menempel di lubang kunci itu. Menelisik ruang makan di balik pintu.<br /><br />Dari lubang kunci itu, aku bisa mengintai sebuah meja makan berbentuk persegi panjang dengan hiasan taplak renda-renda yang begitu memesona. Meja makan yang selalu tampak menggigil. Meja makan itu memiliki empat kursi di masing-masing sisinya. Dan di salah satu kursi itulah, Ibu sering terduduk dengan tangan gemetar, memandangi aneka menu yang haram disentuh, tetapi telah terhidang di tengah meja.<br /><br />Acap kali aku dan Ibu menonton bagaimana sup-sup dengan aroma rempah itu mengepulkan asap yang melambai-lambai menggelitik perut. Nasi dalam mangkuk besar pun mendadak berkeringat dan kemudian menjadi dingin.<br /><br />Aneka puding dengan saus yang sangat legit sudah mulai didatangi semut-semut. Daging panggang yang kecokelatan pun mulai kehilangan aromanya. Dan kami hanya diam, menonton bagaimana makanan-makanan itu kelelahan merayu kami untuk menyantapnya.<br /><br />“Mengapa kita tidak segera memulai makan malamnya?” aku benar-benar tak tahan menyaksikan aneka hidangan lezat itu mendingin sia-sia.<br /><br />“Kita harus menunggu ayahmu dulu,” jawab Ibu.<br /><br />“Tapi aku sudah tidak sabar, Bu, aku sudah sangat lapar.”<br /><br />“Tunggulah sebentar lagi, ayahmu sedang dalam perjalanan pulang.”<br /><br />“Mengapa kita harus selalu menunggu Ayah setiap kali mau makan malam?”<br /><br />“Bukankah Ibu pernah bilang, ayahmu adalah kepala keluarga, jadi ia yang harus membuka makan malam kita. Tanpa ayahmu, makan malam ini bukanlah makan malam keluarga. Ibu harap kau paham.”<br /><br />“Tapi aku sudah lapar sekali, Bu.”<br /><br />“Ibu juga berharap kau diam!” suara Ibu sedikit meninggi.<br /><br />Aku bungkam, menyimak bunyi keroncongan dari dalam perutku sendiri. Di sisi-sisi meja, piring, sendok, dan garpu menjadi hening. Ibu menatapku dengan tatapan meminta maaf.<br /><br />“Bagaimana kalau kau bermain boneka dulu sambil menunggu ayahmu datang?” ujar Ibu kemudian.<br /><br />Rasa lapar membuat tubuhku sedikit lemas, hingga aku tak kuasa membalas kata-kata Ibu. Aku memilih tertunduk, menyandarkan kening di bibir meja. Sedikit lama. Seperti tertidur. Kami sama-sama diam dan suara detak jarum jam tiba-tiba merajalela. Setelah bosan menundukkan kepala ke bibir meja dan pura-pura tidur, aku kembali menatap sup jamur yang tak lagi mengepulkan asap. Juga mangkuk nasi yang telah berkeringat. Ayah belum juga datang.<br /><br />“Mengapa Ayah lama sekali,” aku tak tahan untuk tidak merengek lagi.<br /><br />“Sebentar lagi ayahmu pasti datang.”<br /><br />“Mengapa Ayah tidak bekerja di siang hari saja supaya kita bisa segera memulai makan malam.”<br /><br />“Pekerjaan ayahmu memang harus dilakukan di malam hari, jadi ia harus bekerja di malam hari.”<br /><br />“Aku benar-benar sudah lapar, perutku sudah berkeriuk-keriuk.”<br /><br />Ibu terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan iba, “Apa kau benar-benar sudah sangat lapar?”<br /><br />Aku mengangguk ringan. Dan, anggukan itu membuat Ibu beranjak dari kursinya, meraih piringku dan mengisinya dengan beberapa sendok nasi. Ibu menuangkan sup jamur dan mengiris beberapa potong daging panggang.<br /><br />“Apa kau mau bawang goreng?”<br /><br />Aku menggeleng.<br /><br />“Makanlah dulu, maaf Ibu sudah membentakmu tadi,” Ibu menuangkan air putih ke dalam gelas, dan aku mulai menyantap sepiring nasi itu dengan lahap. Ibu tersenyum menatapku, tetapi matanya tidak, dan tangannya masih saja gemetar.<br /><br />“Mengapa Ibu tidak ikut makan?”<br /><br />“Ibu akan menunggu ayahmu.”<br /><br />“Apa Ibu belum lapar?”<br /><br />“Ibu belum lapar.”<br /><br />Nasi di dalam piringku tinggal beberapa suapan lagi ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan. Ketukan yang bertubi-tubi.<br /><br />“Mungkin itu ayahmu,” ibu berlari menyongsong ketukan di pintu depan.<br /><br />Ayah berjalan begitu dingin menuju ruang makan sambil melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke Ibu. Di depan meja makan Ayah terdiam menatapku. Tubuhnya seperti bongkahan batu yang tiba-tiba jatuh dari atap ruang makan, sedangkan matanya seperti sepasang senter yang membuat mataku sakit.<br /><br />Secepat yang bisa kulihat, Ayah menggebrak meja kuat-kuat, membuat sup jamur dalam mangkuk berguncang dan sebagian kuahnya ruah ke atas meja. Aku ketakutan dan berhenti mengunyah.<br /><br />“Apa yang sudah kukatakan padamu tentang makan malam keluarga?”<br /><br />“Tak ada yang boleh menyentuh hidangan makan malam sebelum kau datang,” jawab Ibu dingin.<br /><br />“Lantas mengapa kau tidak membiarkan dia menungguku?”<br /><br />“Dia sudah kelaparan menunggumu, dan kau tak pulang-pulang, aku tak tega,” Ibu lirih membela.<br /><br />“Sejak kapan kau berani membantahku,” Ayah menyeret taplak meja berenda itu dengan sangat kasar hingga semua makanan—termasuk makanan dalam piringku yang belum habis—terlempar berantakan. Piring-piring dan mangkuk berserak ke lantai dan patah-rekah menjadi beling. Aku mulai tergugu karena takut. Ibu ternganga menatap semuanya. Dan tubuh gemetarnya semakin nyata.<br /><br />Ayah berjalan mendekatiku, dan mulai menyeretku mendekati nasi dan sup yang telah ruah bercampur jadi satu, “Sekarang kau makan itu, bukankah kau sudah sangat kelaparan?”<br /><br />“Kau sudah gila!” Ibu berusaha merebutku dari tangan ayah, tetapi ibu malah mendapatkan tamparan di pelipisnya. Ibu tak menyerah, ia terus berusaha merengkuhku dari tangan Ayah, hingga Ayah mendorong Ibu kuat-kuat sampai Ibu terjengkang ke lantai. Ibu berguncang-guncang karena isakan, Ayah silih menyeretku menuju kamar dan mengunciku dari luar. Di ruang makan<br /><br />Ayah kembali meneriaki Ibu, “Kalau kau sampai berani macam-macam, membukakan pintu atau memberinya makan tanpa sepengetahuanku, ia akan mendapatkan hukuman yang lebih dari ini.”<br /><br />Sejak hari itulah aku kerap menempelkan mata di lubang kunci. Aku akan berlari menjauhi lubang kunci bila ayah datang, memasukkan batang kunci, membuka pintu, dan melemparkan sepiring nasi ke lantai, dan kemudian menguncinya kembali. Dari lubang kunci itu, aku masih sering melihat ayah meneriaki Ibu, menggebrak meja, atau menumpahkan makanan ke lantai. Ibu tak melawan, hanya gemetar. Setelah itu Ibu baru menuntaskan makan malamnya dengan tubuh berguncang, dengan pandangan lurus terarah ke lubang kunci.<br /><br />Setiap kali tiba waktu makan, Ibu tak henti-henti membujuk Ayah supaya membukakan pintu kamarku, dan membiarkanku turut makan bersama. Tapi Ibu tak mendapatkan apa pun kecuali bentakan. Hingga suatu malam, sebelum Ayah pulang, Ibu menyiapkan hidangan makan malam lebih cepat daripada yang seharusnya. Wajah Ibu tampak sedikit berseri. Dan dari balik lubang kunci itu, Ibu memanggilku dan berbisik padaku.<br /><br />“Tenanglah, Ibu akan segera mengeluarkanmu dari situ.”<br /><br />Detak jarum jam di ruang makan terdengar sampai di kamarku. Dan, mataku masih terus menempel di lubang kunci itu. Dari balik lubang kunci itu, aku menyaksikan Ibu tersenyum aneh sambil melarutkan serbuk ke dalam gelas minum Ayah. Beberapa menit berikutnya, Ibu sudah berlari ke ruang depan.<br /><br />Ayah datang. Suara ketukan sepatu Ayah semakin nyaring. Di meja makan itu Ayah melepaskan jaketnya dan menggantungnya di punggung kursi. Sementara Ibu mulai mengambilkan nasi dan sayur ke piring ayah. Malam itu, wajah Ibu memang lebih berseri. Sesekali ia melirik lubang kunci tempat mataku terkunci.<br /><br />Ayah begitu lahap menyantap makan malamnya. Ibu tak ikut makan. Hanya menunggu sampai Ayah menghabiskan makan malamnya dan kemudian meneguk air putih dalam gelas minumnya, sampai habis.<br /><br />“Airnya sedikit aneh, agak sepat,” komentar Ayah. Ibu tidak menyahut. Ibu silih mengambil piring dan memulai makan malamnya sendiri.<br /><br />Dari lubang kunci itu, aku melihat Ibu memulai suapan pertama ke mulutnya. Ibu mengunyah makanannya dengan sangat tenang. Sementara Ayah mulai tertunduk-tunduk dan terbatuk-batuk sambil mencengkeram lehernya sendiri. Ibu masih terus melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Sesekali ia tersenyum menatap Ayah yang tiba-tiba menyungkurkan kepala ke bibir meja. Sekilas, suasana menjadi hening. Dan meja makan itu tampak menggigil karena keheningan.<br /><br />Ketika Ayah sudah tertidur pulas dan tidak berkutik lagi, Ibu beranjak merogoh saku celana Ayah dan mendapati sebuah kunci. Ibu melangkah anggun menuju kamarku. Aku menjauhkan mataku dari lubang kunci yang sudah terisi oleh batang kunci yang kemudian berputar. Daun pintu terempas ringan. Menyibak kamarku yang pengap. Aku melihat tubuh Ibu tak lagi gemetar.<br /><br />“Ibu mau melanjutkan makan malam, sebaiknya kau ikut,” Ibu meraih tanganku dan menuntunku ke meja makan, dengan senyum yang begitu lumat.<br /><br />“Apa Ayah tak akan marah?”<br /><br />“Ayahmu tak akan marah.”<br /><br />Malam itu kami menuntaskan makan malam yang paling damai. Tanpa teriakan Ayah. Tanpa gebrakan di meja makan.<br /><br />Dan, tanpa makanan yang tercecer sia-sia. Sementara Ayah masih saja menundukkan kepala di bibir meja. Mungkin Ayah hanya pura-pura tidur. Persis seperti yang kulakukan ketika aku menahan lapar. (*)<br /><br /><div style="text-align: right;">
Malang, 2014</div>
<br /><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-52849819512068388682014-05-11T19:52:00.000-07:002015-12-09T17:36:57.394-08:00Kacamata<div style="background: white; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;">Cerpen Noor H. Dee (<i>Koran Tempo</i>,
11 Mei 2014)<o:p></o:p></span></b></div>
<div style="background: white; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt; font-weight: normal;"><br /></span></b>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-4JspICUp8nI/VmZExePkztI/AAAAAAAAAJs/BfeAEoztJQ0/s1600/kaca%2Bmata.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="360" src="http://2.bp.blogspot.com/-4JspICUp8nI/VmZExePkztI/AAAAAAAAAJs/BfeAEoztJQ0/s640/kaca%2Bmata.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(7-themes.com)</td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
</div>
<br /><br />SEPULANG bekerja, lelaki itu menunggu kereta di stasiun yang sepi.<br /><br />Seorang bocah, mungkin berusia 10 tahun, menghampiri lelaki itu dan menawarkan kacamata kepadanya.<br /><br />Kacamatanya, Tuan, kata bocah itu. Harganya lima belas ribu.<br /><br />Mata lelaki itu masih sehat dan baik-baik saja, tetapi ia tetap membeli kacamata itu. Kembaliannya untuk kamu saja, ujar lelaki itu.<br /><br />Bocah itu pun pergi.<br /><br />Kereta itu pun datang. <br /><br />SESAMPAINYA di rumah, lelaki itu menyalakan TV dan merebahkan tubuhnya di sofa. Ia mengganti-ganti saluran TV. Tidak ada acara yang menarik malam itu. Ia mematikan TV-nya dan berjalan ke dapur. Mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas dan langsung menenggaknya. Tiba-tiba ia teringat akan kacamata yang tadi ia beli dari si bocah.<br /><br />Ia berjalan ke kamarnya, mengambil kacamata itu dari dalam tasnya, mengenakannya, dan keanehan pun terjadi.<br /><br />Ia melihat sebuah kamar yang bukan kamarnya. Kamar itu rapi, betul-betul rapi.<br /><br />Aku berada di mana? Lelaki itu bertanya. Kamar siapakah ini?<br /><br />Lelaki itu melepas kacamatanya dan ia segera kembali berada di dalam kamarnya. Aneh betul, ujarnya.<br /><br />Lelaki itu menatap kacamatanya. Sebuah kacamata biasa dengan bingkai berwarna hitam. Karena penasaran, ia kembali mengenakan kacamata tersebut dan ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya.<br /><br />Kamar siapakah ini? Lelaki itu kembali bertanya. Ia menatap seluruh isi ruangan. Seluruh ruangannya berwarna putih bersih. Tempat tidur, lemari baju, tempat sampah, meja, kursi, gorden jendela. Satu-satunya yang berwarna hitam adalah bingkai cermin yang menempel di tembok kamar. Ia mendekati cermin itu dan menatapnya. Di tubuh cermin itu ia melihat bukan dirinya, melainkan seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.<br /><br />Lelaki itu terkejut. Ia segera melepas kacamata itu dan membuangnya ke lantai. Siapa dia?<br /><br />Tubuh lelaki itu gemetar. Ia menatap ke bawah, ke arah kacamata itu, dalam waktu yang cukup lama. Ia mundur ke belakang perlahan, selangkah demi selangkah, dan segera naik ke atas tempat tidur. Ia menutup wajahnya dengan selimut. Samar-samar ia mendengar suara wanita memanggil-manggil namanya. Malam itu ia tidak bisa tidur sama sekali.<br /><br /> ESOK harinya ia tidak masuk kerja. Ia pergi ke stasiun itu lagi, mencari bocah penjual kacamata yang kemarin sore ia temui di sana.<br /><br />Sampai sore, bocah penjual kacamata itu tidak muncul-muncul juga. Ia pun bertanya kepada petugas stasiun.<br /><br />Penjual kacamata? Petugas itu bertanya heran. Apa kamu tidak membaca peraturan itu?<br /><br />Lelaki itu menatap sebuah plang bertulisan, DILARANG BERJUALAN DI STASIUN.<br /><br />Tapi kemarin bocah itu berjualan kacamata di stasiun ini, ujar lelaki itu. Aku masih ingat betul wajahnya.<br /><br />Terserah kamu, ujar petugas itu. Aku sudah menjelaskan kepadamu bahwa tidak seorang pun dibolehkan berjualan di tempat ini. Petugas itu pun pergi.<br /><br /> KINI lelaki itu berada di dalam kamarnya, duduk di tepi tempat tidur, menatap kacamata yang masih berada di lantai kamar. Samar-samar ia kembali mendengar suara itu, suara wanita yang memanggil-manggil namanya. Suara itu betul-betul mengganggu dirinya.<br /><br />Lelaki itu kemudian turun dari tempat tidur, mengambil kacamata itu, dan mengenakannya. Ia kembali berada di sebuah kamar yang bukan kamarnya. Sebuah kamar yang rapi, betul-betul rapi, yang seluruh ruangannya berwarna putih bersih.<br /><br />Lelaki itu berjalan ke arah cermin. Di tubuh cermin itu, ia kembali melihat seorang wanita cantik berkacamata sedang tersenyum ke arahnya.<br /><br />Siapa kamu? Lelaki itu bertanya.<br /><br />Wanita itu tersenyum indah sekali.<br /><br />Kemarilah, ujar wanita itu. Mendekatlah padaku.<br /><br />Jawab saja siapa kamu, lelaki itu bertanya dengan suara lantang. Siapa kamu? Siapa kamu?<br /><br />Wanita itu tertawa kecil. Aku akan memberikan namaku jika kamu mendekat ke arahku, ujar wanita itu. Ayolah, kemarilah, mendekatlah padaku.<br /><br />Lelaki itu melepas kacamatanya dan membantingnya ke lantai. Ia mengambil palu dari dapur dan menghajar kacamata itu dengan beberapa pukulan. Kacamata itu pun hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi ruangan yang rapi dan serba putih. Tidak ada lagi suara wanita yang memanggil-manggil namanya.<br /><br />Lelaki itu tersenyum puas. Ia berdiri dan menatap cermin yang menempel di tembok kamarnya.<br /><br />Kali ini ia tidak melihat siapa-siapa di cermin itu, termasuk dirinya.(*)<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-dzwx2K_cYK0/VmjXH_pWoMI/AAAAAAAAAK4/yPvfKnlfFDY/s1600/kacamata-ilustrasi-munzir-fadly.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="200" src="http://3.bp.blogspot.com/-dzwx2K_cYK0/VmjXH_pWoMI/AAAAAAAAAK4/yPvfKnlfFDY/s200/kacamata-ilustrasi-munzir-fadly.jpg" width="126" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">lakonhidup.wordpress.com</td></tr>
</tbody></table>
<br />galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-75340666385819442632014-05-04T20:47:00.000-07:002015-12-09T17:40:15.398-08:00Debu-Debu Tuhan<div style="background: white; text-align: justify;">
<span style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial; background-repeat: initial; background-size: initial; font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt;">Cerpen Mashdar
Zainal (</span><i><span style="font-family: "georgia" , "serif";">Republika</span></i>, 4 Mei 2014)<b><span style="font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt;"> <o:p></o:p></span></b></div>
<div style="background: white; text-align: justify;">
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-nUW1m_Sp5G4/VmZFbIwfXuI/AAAAAAAAAJ0/qmc_43IinnA/s1600/debu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="426" src="http://1.bp.blogspot.com/-nUW1m_Sp5G4/VmZFbIwfXuI/AAAAAAAAAJ0/qmc_43IinnA/s640/debu.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(h3sean.com)</td></tr>
</tbody></table>
</div>
<br />“ITU SALJU, ya? ” gadis kecil itu bertanya pada ibunya.<br /><br />Ibunya tidak menjawab dan malah ikut membayangkan bahwa debu-debu yang menuakan daun-daun dan memucatkan atap-atap itu adalah salju. Sang ibu seperti terhenyak dari lamunannya ketika disadarinya bahwa langit terlampau kelabu bahkan untuk ukuran langit bersalju. Reisya, gadis kecil itu, ataupun Lela, ibunya memang belum pernah melihat salju secara langsung, kecuali dari film-film kartun atau drama Korea yang ada di televisi.<br /><br />“Itu debu-debu Tuhan,” balas Lela tiba- tiba, setelah beberapa lama.<br /><br />“Debu-debu Tuhan?” <br /><br />“Iya, debu-debu Tuhan.”<br /><br />“Ibu bohong, katanya debu-debu itu datang dari gunung.”<br /><br />“Kalau begitu mengapa kau bertanya, `itu salju, ya?’”<br /><br />“Soalnya debunya memang mirip salju di film Barbie.”<br /><br />“Tapi, tetap saja itu debu, dan bukan salju.”<br /><br />“Apakah itu benar debu-debu Tuhan?”<br /><br />“Iya, itu debu-debu Tuhan.”<br /><br />“Mengapa debu-debu Tuhan datang dari gunung? Apa Tuhan berada di gunung?”<br /><br />“Tuhan bisa berada di mana saja Dia mau. Lagi pula gunung milik Tuhan juga, kan?”<br /><br />Keduanya terdiam, memicing, menatap langit yang mengucurkan debu-debu tipis. Sudah beberapa hari orang-orang tinggal di rumah yang bukan rumah mereka. Orang- orang tinggal di rumah yang sama. Sempit dan berdesak-desakkan seperti di tempat pelelangan ikan. Orang-orang begitu riuh dengan percakapan-percakapan, dengan keluhan-keluhan. Sementara, bayi-bayi begitu gaduh dengan rengekan-rengekan. Dan, perempuan itu memilih menunggu kedatangan suaminya, dengan duduk di teras paling tepi, dengan putrinya yang baru masuk SD, yang begitu suka bertanya macam-macam, seperti mesin penanya.<br /><br />“Mengapa kita memakai ini?” Reisya bertanya lagi.<br /><br />“Itu masker,” jawab ibunya datar.<br /><br />“Masker?”<br /><br />“Iya, supaya kita tidak sesak napas karena debu-debu itu,” timpal ibunya.<br /><br />Gadis kecil itu terdiam sejenak dan berujar lagi, “Tapi, itu kan debu-debu Tuhan. Kata ibu, Tuhan menyayangi kita. Lalu mengapa debu-debu Tuhan bisa membuat kita sesak napas?”<br /><br />Perempuan itu menoleh ke Reisya, putrinya yang menembakkan matanya tepat ke matanya, memohon jawaban. Mengapa anak- anak kecil selalu melontarkan pertanyaan- pertanyaan yang sulit lagi mencemaskan. Perempuan itu berpaling dan kembali menatap langit yang terlampau kelabu. Kepala cemasnya berusaha menemukan jawaban.<br /><br />“Tuhan menyayangi kita, karena itu Dia menurunkan debu-debu-Nya yang bisa membuat kita sesak napas,” jawab Lela<br /><br />“Debu-debu Tuhan juga mengotori rumah-rumah dan jalan-jalan, padahal, kata bu guru, Tuhan suka kebersihan. Ini benar- benar aneh,” kelit Reisya.<br /><br />Perempuan itu tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, mengapa pula bocah-bocah kecil zaman sekarang pandai sekali berkomentar layaknya orang dewasa. Apa ia terlalu sering menonton Barbie dan Spongebob?<br /><br />“Ya, itu tadi, karena Tuhan menyayangi kita,” perempuan itu menjawab juga, “Menyayangi tak berarti memanjakan atau selalu membuatmu senang. Kamu ingat waktu ibu menghukummu tinggal di rumah sendirian karena kamu tak mau pergi ke sekolah?”<br /><br />Gadis kecil itu mengangguk.<br /><br />“Itu artinya ibu ingin kamu belajar menjadi lebih baik. Jika ibu terus membiarkanmu malas pergi ke sekolah maka kamu akan ketinggalan pelajaran, kalau kamu ketinggalan pelajaran maka kamu akan rugi, dan kamu tidak akan naik kelas. Ibu tak mau kamu rugi, apalagi tidak naik kelas.<br /> Makanya ibu melakukan itu dan itu karena ibu menyangimu.”<br /><br />Gadis itu terlongok menatap ibunya sebentar dan kembali menekuni langit kelabu di kejauhan. “Jadi, Tuhan menghukum kita?” tanyanya kemudian.<br /><br />“Tuhan hanya ingin kita belajar,” jawab ibunya singkat.<br /><br />Mereka terdiam agak lama. Gadis kecil itu menggambar matahari cemberut di atas lantai teras yang diselimuti debu-debu tipis dengan jemari mungilnya.<br /><br />“Mengapa kita harus pergi dari rumah dan tidur beramai-ramai di sini?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya lagi.<br /><br />“Kampung kita tidak aman, makanya, untuk sementara waktu kita harus tinggal di sini,” jawab ibunya.<br /><br />“Tapi, mengapa sekarang Ayah masih tinggal di rumah? Bukankah di rumah tidak aman?”<br /><br />“Ayahmu harus memberi makan ternak dan menjaga rumah supaya tidak dimasuki pencuri.”<br /><br />“Apa ayah akan kembali ke sini bersama kita?”<br /><br />“Pasti.”<br /><br />“Kapan?”<br /><br />“Segera. Kalau semuanya sudah aman.”<br /><br />“Kalau ayah tidak datang juga bagaimana?”<br /><br />“Mmm… mungkin ibu harus menjemputnya.”<br /><br />Gadis kecil itu terdiam dan mendadak murung. Ia menghapus gambar matahari cemberut di atas lantai yang berdebu itu dan menggantinya dengan gambar matahari menangis.<br /><br />Sejatinya, perempuan itu begitu cemas menunggu suaminya kembali. Sudah sejak sehari yang lalu suaminya pamit pulang untuk menyelesaikan segala urusan rumah supaya lebih tenang saat ditinggal ke pengungsian. Namun, sampai sekarang suaminya belum juga kembali.<br /><br />“Apa kamu janji tidak akan nakal kalau nanti kamu ibu tinggal sebentar balik ke rumah untuk menjemput ayahmu?” silih perempuan bertanya.<br /><br />“Mengapa aku tidak boleh ikut?” gadis kecil itu balik bertanya dengan nada murung.<br /><br />“Bukankah sudah ibu bilang, di rumah tidak aman. Kalau tidak untuk menjemput ayahmu, ibu juga tidak akan balik ke rumah.”<br /><br />Gadis kecil itu tertunduk, kini ia menghapus gambar matahari menangis dan silih menggambar bintang, bintang yang menangis.<br /><br />“Ibu hanya sebentar, ibu janji, sebelum langit gelap, ibu sudah kembali ke sini bersama ayahmu.”<br /><br />Gadis kecil itu melongok ke ibunya dan mengangguk berat.<br /><br />Setelah beberapa jenak, perempuan itu beranjak dari duduknya dan berbincang lirih dengan salah seorang tetangganya yang juga sama-sama cemas. Beberapa saat kemudian, setelah mengecup kening bocah kecil itu, perempuan itu pergi dengan payung hitam yang dimekarkan di atas kepala, dan perempuan itu pun berjalan menjauh dari rumah pengungsian. Bocah kecil itu terus mengawasi ibunya sampai sosok remang itu hilang ditelan remang yang lebih remang di kejauhan.<br /><br />***<br /><br />Selama ibunya pergi, gadis kecil itu hanya terduduk di lantai teras paling tepi. Ia terus menggambar apa saja di atas lantai yang diselimuti debu-debu tipis itu. Ia tak bisa memikirkan hal lain kecuali ayah dan ibunya yang harus berjalan melewati debu-debu yang terus mengucur seperti tak ada habisnya itu. Ia membayangkan tubuh ayah dan ibunya memutih berselimutkan debu- debu Tuhan itu.<br /><br />Jelang petang, gadis kecil itu menjadi sedikit cemas karena ayah dan ibunya tak kunjung datang. Ketika petang merembang, gadis kecil itu mulai menangis. Ia terus berdiri di teras paling tepi dan terus menatap ke depan. Beberapa tetangga dan relawan sudah membujuknya untuk diam dan menunggu ibunya sambil bermain atau tidur-tiduran, tapi tidak berhasil. Gadis kecil itu terus tergugu di antara keriuhan orang-orang, di antara keluh-kesah, dan rengekan-rengekan balita. Seorang relawan menawarinya semangkuk mi instan, meski ia lapar, ia tetap tak menggubris. Ia masih saja berdiri di teras paling tepi dan terus menatap ke depan.<br /><br />Di sisi lampu jalan yang pucat, debu- debu tipis masih tampak beterbangan dari ketinggian. Beberapa pohon terlihat merunduk seperti merajuk. Mendadak, gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah dan ibunya sangat kelelahan karena debu-debu Tuhan itu terus menerus mengguyur mereka, mengguyur rumah-rumah, mengguyur jalan-jalan dan pohon-pohon. Gadis kecil itu membayangkan bahwa ayah dan ibunya sudah tertidur pulas berselimutkan debu- debu Tuhan dan melupakannya sendirian.<br /><br />Gadis kecil itu menjadi semakin cemas dan ingin pulang menyusul ayah dan ibunya yang tak kunjung datang. Bukankah Tuhan selalu baik pada siapa pun? Apakah debu- debu Tuhan ini mau mengantarku pulang, pikirnya. Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, orang-orang sudah pada tertidur, beberapa yang lain bergerumbul bermain catur, sisanya yang lain berbincang-bincang rendah di antara keremangan lampu. Tak seorang pun tampak memedulikannya.<br /><br />Diam-diam, dengan isakan lirih, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke depan dan terus berjalan, berjalan dan terus ke depan, menembus debu-debu Tuhan.<br /><br /><div style="text-align: right;">
Malang, 2014</div>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<u1:p></u1:p>
<br />
<div>
<br />
<br />
<br />
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-14584319486852582272014-03-23T20:03:00.000-07:002015-12-09T18:11:25.602-08:00Taman Pohon Ibu<div style="background: white; text-align: justify;">
<span style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial; background-repeat: initial; background-size: initial; font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt;">Cerpen Benny Arnas (</span><i><span style="font-family: "georgia" , "serif";">Jawa Pos</span></i>, 23 Maret 2014)<o:p></o:p></div>
<div style="background: white; text-align: justify;">
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-YxjkQvqlQTk/VmZKun8d33I/AAAAAAAAAKE/qOA1eatALRw/s1600/pohon%2Bkertas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://1.bp.blogspot.com/-YxjkQvqlQTk/VmZKun8d33I/AAAAAAAAAKE/qOA1eatALRw/s640/pohon%2Bkertas.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(www.magic4walls.com)</td></tr>
</tbody></table>
<br /></div>
PEREMPUAN itu telah membesarkan seorang putri sedari ia mengandungnya. Ia senantiasa memberikan ragam nasihat seolah janinnya sudah gadis benar, seolah anak gadisnya ada di hadapan. Ya, bila kalian pernah membaca atau mendengar kisah seseorang yang rela digandeng Izrail demi mempersilakan oroknya mencium bumi, maka ialah ibu yang purnamulia itu1. Dan bila kalian juga pernah membaca atau mendengar kisah tukang cerita yang kerap turun ke lereng Bukit Barisan, itulah anak gadisnya. Konon, tukang cerita itu akan bercerita sampai malam memekat. Ceritanya sarat wasiat kebaikan. Tentu, buah jatuh tak jauh dari akar pohonnya; perangai ibu akan lesap ke dalam jiwa anaknya. Ketika itulah, tanpa orang-orang sadari, si tukang cerita tiba-tiba raib; bagai angslup ditelan bumi, bagai memuai dilarut angin, bagai melesat dihisap langit2.<br /><br />Itulah ihwal pembuatan patung itu. Selain itu mengenang seorang ibu berhati bening, juga untuk memancing kedatangan putrinya yang piawai bercerita. Segenap penghuni negeri memang ingin tahu seperti apa nian si tukang cerita; wajahnya, kerudung kain pelepainya, tongkat batang kopinya, baju kacapiringnya, suara paraunya yang mencekam, dan tentu saja cerita hikmahnya yang (kata orang-orang tua) menusuk ke jiwa-hati-tabiat.<br /><br />Aku menghendaki ruh kasih sayang sang ibu senantiasa hidup. Dan adakah yang beriringan dengan falsafah itu selain membuat patung dari benda yang juga hidup; pohon yang tinggi, besar, dan kuat?! Tersenyum jemawalah sang raja.<br /><br />Para penggawa terkagum-kagum. Betapa perasaan turut-bangga tiba-tiba menjalari aliran darah. Namun, salah seorang dari mereka, entah tertikam keberanian dari mana, mencuatkan beberapa pertanyaan: Pohon apakah yang akan dijadikan patung itu? Di mana ia tumbuh? Kapan ia akan ditebang? Ke mana ia akan diangkut? Di mana patung itu akan didirikan?<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />RAJA memilih pohon onlen berumur ratusan tahun yang tumbuh dengan tiyuh, tubir jalan yang membelah sungai dan pemukiman penduduk. Pohon itu tidak perlu ditebang apalagi dicerabut dari tempat tumbuhnya. Raja telah memerintahkan tukang tebas pilihan untuk membersihkan ranting-ranting yang tidak perlu. Hanya kanopi bagian pucuk yang dibiarkan sedikit menyumpil; sebagai penanda rambut si patung.<br /><br />Dua puluh dua tukang pahat termasyhur dikerahkan. Mereaka adalah yang memahat geladak kapal Sekeghumong, raja keempat kerajaan Sekala Bgha. Mereka yang memahat patung siger, tugu berbentuk mahkota pengantin wanita yang banyak terdapat di penjuru negeri. Tentu saja, mereka pula yang mengukir nuwo balakh, kediaman raja yang berarsitektur lamban pesagi, rumah panggung yang atapnya terbuat dari ijuk.<br /><br />Raja memesan kain-kain tapis kepada perempuan penenun di Krui. Tiga belas helai, kain tapis itu mestilah mencolok warnanya, elok coraknya, dan tentu saja, ditenun dari benang katun dan benang emas pilihan. Kain tapis itu juga harus dalam ukuran yang lebih panjang dan lebih lebar dari biasanya. Kain tapis-tapis itu disambung dengan benang wol, sebelum dikenakan pada patung seolah-olah pakaian bawahannya.<br /><br />Raja juga meminta kaum ibu di lereng Gunung Pesagi menjahitkan baju kurung dalam ukuran yang sangat besar. Baju kurung itu, sebagaimana kain tapis, juga harus dibuat dari bahan pilihan dengan ketelitian yang tinggi, baju kurung raksasa itu disarungkan ke tubuh patung dengan melibatkan tujuh belas tukang panjat andal.<br /><br />O ya, tangan patung adalah sepenggalah kayu damar batu yang ditancapkan di kedua sisi pohon. Matanya ditandai sepasang mutiara oval dalam jarak setengah lengan orang dewasa; bulatan hitamnya adalah batu rubi berwarna hijau katu. Hidungnya adalah belalai gajah yang dipahat. Alisnya disusun dari duri-duri landak yang masih bayi. Bulu matanya adalah bilah-bilah bulu burung murai yang dicuatkan. Tak khatam di situ, raja juga memesan batu-batu satam dari Belitung untuk disambung-rangkai dengan tali perak sepanjang tiga meter. Bertambah cantiklah patung itu dengan leher dan pergelangan tangan yang dililit perhiasan.<br /><br />Pohon Ibu. Demikianlah patung itu akhirnya dikenal khalayak.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />POHON Ibu adalah pohon kasih sayang. Tentu saja, sangat-sangat tak layak bila sesiapa dibatasi atau bahkan dilarang untuk menikmati kemegahan dan keindahannya, maklumat sang raja.<br /><br />Maka, saban akhir pekan, banyak orang tua mengajak anak-anak bermain di sekitar Pohon Ibu. Saban petang, kaum ibu sengajanyeruit, menyantap ikan tenggiri atau ikan baung dengan sambal rampai yang dicampur terasi di bawah Pohon Ibu. Bahkan, para gadis bagai dihimpun, menyulam tepi kain tapis dengan koin-koin emas di dudukan kayu, yang banyak terdapat di sekitar Pohon Ibu. Raja pun membuat taman yang mengitari Pohon Ibu. Para penduduk, terlebih anak-anak, sangat senang. Taman Pohon Ibu. Demikianlah tempat itu akhirnya berubah sebutan.<br /><br />Taman Pohon Ibu makin ramai. Orang-orang dari negeri tetangga menjadikannya tujuan berpelesir. Pada pedagang berdatangan. Pelbagai pertunjukan dan permainan dihelat saban petang hingga jam ronda berdentang.<br /><br />Untuk menjaga keindahan, kebersihan, dan keamanan taman, raja mengerahkan para prajurit. Ada yang menjaga gerbang. Ada yang mengawasi para pengunjung agar tak menginjak hamparan rumput dan memetik bunga-bunga. Ada yang rajin mengimbau agar pengunjung tak membuang sampah sembarangan. Ada yang memastikan bahwa pertunjukan dan permainan terbuka tidak memancing keributan. Ada yang menjaga ketertiban para pedagang agar tak berebutan pembeli. Ada yang mengawasi keselamatan anak-anak bermain ayunan, papan luncur, egrang, petak lele… Tentu saja, ada yang amanahnya menjaga Pohon Ibu saja, pusara keindahan taman.<br /><br />Akhir-akhir ini, beberapa pengunjung dari negeri tetangga mendatangi juru catat kependudukan. Mereka ingin menetap di negeri ini. Bahkan, agar permintaan dipenuhi, ada yang menawarkan batangan emas dalam jumlah yang menggairahkan.<br /><br />Negeri ini adalah majelis terbuka. Selama ada itikad baik, tentulah suatu kebodohan bila kami tak menerima keluarga baru. Demikian raja menanggapi.<br /><br />Penduduk bertambah banyak. Taman Pohon Ibu makin sesak. Musyawarah para purwatin, tetua adat, menyepakati dibukanya taman-taman baru. Taman-taman yang baru tak memiliki Pohon Ibu karena pohon onlen atau pohon jati atau pohon merbau atau pohon yang batangnya sangat baik untuk dipahat, tak tumbuh di titik keramaian sebagaimana Pohon Ibu. Walaupun begitu, penduduk tetap gembira. Mereka kerap menghabiskan waktu di taman-taman itu.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />MUNGKIN karena kelelahan mengawal perkembangan taman di beberapa tempat, raja jatuh sakit. Berbulan-bulan. Namun begitu, ia tak mempersilakan juru maklumat bekerja. Ia tak ingin kegembiraan penduduk disalip kabar tak penting tentang dirinya. Semua urusan raja dilimpahkan kepada sang ajudan.<br /><br />Syukurlah, menginjak setengah tahun terkulai di pembaringan, raja pulih. Begitu kembali ke singgasana, serta merta ia memanggil ajudannya. Tak sabar ia mendengarkan perkara-perkara yang dilewatkan.<br /><br />Ajudan berdehem dua kali. Sebuah pembukaan yang tak mengenakkan. Raja paham benar tabiat orang kepercayaannya itu. Maka, ia desak ajudannya agar tak berlama-lama dengan mukadimah. Raja tak ingin diombang-ambing penasaran dan kekhawatiran.<br /><br />Ampun…Yang Mulia, sebagian penduduk mulai resah. Taman bukan lagi tempat melepas penat setelah seharian berdikari. Taman bukan lagi tempat yang menarik bagi anak-anak. Taman bukan lagi tempatnyeruit bagi ibu-ibu. Gadis-gadis tak lagi menyulam kain tapis di sana. Taman bukan lagi arena pertunjukan dan permainan rakyat digelar untuk khalayak. Taman bukan lagi tempat rumput-rumput dan bunga-bunga menemukan rumah yang damai.<br /><br />Raja tatap ajudannya lamat-lamat. Lirih ia berbisik; seperti apa nian taman-taman itu kini?<br /><br />Diberitakanlah, taman-taman makin ramai; seiya-sekata dengan kemudaratan yang makin permai. Permainan dan pertunjukan digelar demi judi. Keributan saban hari. Muli-mekhanai, muda-mudi, tak lagi sungkan bercumbu di sudut-sudut taman. Rumput-rumput banyak yang meranggas, dan bunga-bunga bagai tak mau tumbuh dan mekar. Para pedagang menggelar barang-barang di sembarangan sudut. Taman menjadi sangat semrawut, sangat kotor, sangat tak aman, dan tentu saja sangat tak bersahabat bagi anak-anak.<br /><br />Sang ajudan menghentikan uraiannya. Kepalanya tertunduk. Keadaan memang tak berkarib untuk membuka lipatan berita buruk yang bersitumpuk. Dapat ia bayangkan, betapa suramnya perasaan raja.<br /><br />Apakah semua purwatin tengah terlelap? Apakah para punggawa dan prajurit tak bekerja? Atau… selama ini mereka hanya tampak amanah ketika aku sigap saja? Atau mereka menjadi bagian orang-orang yang menyebabkan malapetaka di negeri ini?<br /><br />Hampir saja raja lesatkan tombak-tombak yang berjejer di dekatnya ke orang-orang kepercayaannya itu, bila ingatannya tidak berlabuh pada anak-anak. Ya, karena merekalah ia membuka taman-taman baru di beberapa penjuru negeri. Ia bertanya kepada ajudannya yang tiba-tiba tercekat (karena takut disalahkan atas semua laporan): Ke mana anak-anak kini bermain?<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />APA? Ke lereng Bukit Barisan!<br /><br />Bagai dicambuk api raja mendapati jawaban itu. Belum reda murkanya pada kemalangan yang menyertai taman-taman, belum redup nyala kekesalannya pada kelalaian para penggawa, kini ia dapati lagi kabar yang ganjil.<br /><br />Bahu raja turun-naik. Betapa muntabnya ia. Apalagi ketika mendapati pembelaan yang tak masuk akal; Anak-anak itu telah susah payah dicari, namun tak pernah ditemukan!<br /><br />O o, bukankah menyambangi lereng Bukit Barisan adalah tabiat perempuan yang ditunggu-tunggu itu?<br /><br />Tukang cerita itu sudah datang!!!<br /><br />Tak menunggu lama, raja perintahkan para prajurit mengembalikan taman-taman ke faedahnya. Tutup saja yang sudah tak mungkin ditertibkan! Suaranya meletup-letup.<br /><br />Kerajaan dikosongkan! Semua menyebar ke bukit-bukit. Raja tak lelah memperingatkan: tak ada kekerasan! Raja takkan menyalahkan si tukang cerita atas raibnya anak-anak, apalagi hendak menangkap lalu menghukumnya. Sejatinya, ia (bersama para penghuni kerajaan dan penduduknya) juga ingin tahu seperti apa nian putri seorang perempuan yang menjadi lambang kasih sayang negeri tiu; wajahnya, kerudung kain pelepainya, tongkat batang kopinya, baju kacapiringnya, suara paraunya yang mencekam, dan tentu saja cerita hikmahnya yang (kata orang-orang tua) menusuk ke jiwa-hati-tabiat.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />TAMAN Pohon Ibu raib!<br /><br />Ada yang bilang taman itu angslup ditelan bumi. Ada yang bilagn taman itu memuai dilarut angin. Ada juga yang bilang taman itu melesat dihisap langit! Perkara yang lebih kelam menyertainya: perjudian, pelacuran, pergaulan tak beradab, keributan, bahkan pembunuhan, terjadi saban waktu. Taman-taman tak bisa ditertibkan lagi, apalagi ditutup.<br /><br />Para istri menangis sepanang hari. Suami mereka sudah jadi penjudi. Mereka selalu haus perempuan. Beberapa dari istri itu menjadi gila karena tak pernah mendapati anak-anak kembali setelah mereka berpamitan di suatu senja.<br /><br />Kami memanggilnya Nenek. Walaupun seperti raksasa, kami tak pernah takut. Selain kerudungnya yang indah, dan kain tapis berkilau yang dikenakannya, mata Nenek yang berwarna biru sangat teduh. Nenek sangat suka bercerita. Malam ini, katanya kami akan diajak bermain ke taman yang paling indah. Namanya Taman Pohon Ibu.<br /><br />Anak-anak itu mengutarakannya seolah-olah sudah beberapa kali bersua dengan perempuan itu. Entah bagaimana, ibu mereka bagai alpa bahwa tukang cerita (atau ibu si tukang cerita) sudah bertandang!<br /><br />Maka, para istri memilih bungkam. Mereka tak ingin disalahkan karena dianggap tak becus mengurus anak. Mereka tak ingin dikerangkeng karena dianggap mengabaikan keselamatan penerus puak. Pun mereka masih matikata ketika kerajaan menyiarkan kegeraman. Raja mengerahkan para prajurit dan mewajibkan setiap laki-laki mencari pohon onlen, jati, dan merbau; menebangnya; mengangkutnya ke pusat negeri. Raja juga membayar tukang pahat, penenun kain tapis, dan pemanjat ulung; memesan kalung perak, batu-batu satam, mutiara, dan permata rubi, dari negeri seberang. Lagi, raja akan membuat Pohon Ibu. Puluhan Pohon Ibu. Puluhan Taman Pohon Ibu.<br /><br />Di berbagai penjuru. (*)<br /><br /><br />Ulaksurung, 07 s.d. 15 Juni 2010<br /><br /><br />Catatan<br /><br />1 Cerita yang utuh terdapat dalam cerpen <i>Anak Ibu</i> (Koran Tempo,2010), Anak Ibu II (Jawa Pos, 2011), dan Anak Ibu III (Jawa Pos,2012)<br /><br />2 Cerita yang utuh terdapat dalam cerpen <i>Tukang Cerita </i>(Republika, 2010)<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-11623671080749523092014-02-24T20:51:00.000-08:002015-12-09T17:34:34.883-08:00Pelukan<div style="background: white; text-align: justify;">
<span style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial; background-repeat: initial; background-size: initial; font-family: "georgia" , serif; font-size: 11pt;">Cerpen Mashdar
Zainal (</span><i>Suara Merdeka</i>, 24 Februari 2013)<o:p></o:p></div>
<div style="background: white; text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-TC4G5ykYt1I/VmjUucBOXaI/AAAAAAAAAKk/QClWyQiIPPw/s1600/pelukan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="467" src="http://1.bp.blogspot.com/-TC4G5ykYt1I/VmjUucBOXaI/AAAAAAAAAKk/QClWyQiIPPw/s640/pelukan.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(killahbeez.com)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<span style="background-color: transparent;">SETIAP pagi, di depan gerbang sekolah, Hardi selalu menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi, sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan, yang begitu indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir tak berkedip mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk kelas. Sepulang sekolah, ia juga selalu memperhatikan bagaimana Bram meloncat-loncat setelah dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil jemputan. Ia juga selalu melirik Bu Guru yang sangat suka memeluk erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus kecupan di kening.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak sekali adegan peluk-memeluk yang ia saksikan sepanjang hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan tubuhnya yang kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa, hidupnya sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah memeluk atau dipeluk siapa pun. Bahkan, dalam mimpi sekalipun, Hardi tak pernah memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan, beberapa balita harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh datang dan kemudian mendiamkannya dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu jikalau harus menangis. Ia terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD seorang anak, apalagi anak laki-laki, tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis bukan perkara mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah, tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin mendapatkan pelukan dengan cara yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
BILA malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang susunnya, Hardi akan memeluk guling pesingnya berlama-lama sampai ia tertidur. Memeluk guling sebelum tidur rasanya sangat nikmat. Seperti memeluk seseorang yang sedia menemaninya sepanjang malam, ketika lampu dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk guling saja sudah begitu hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti jauh lebih hangat dan nyaman, pikirnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi hari, sampai di sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya, dan masih banyak lagi. Hardi melongo. Keinginannya untuk memeluk dan dipeluk seseorang kian menjadi-jadi. Hingga ketika jam istirahat tiba, Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah memutuskan, ia akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, rupanya kenyataan tak semanis yang dia bayangkan. Ketika ia mencoba untuk memeluk Siska, Siska malah mendorongnya hingga ia terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram, Bram malah menjotosnya dan mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk seseorang ternyata bukan pekerjaan yang mudah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak selesai sampai di situ, setelah mendorongnya hingga jatuh, rupanya Siska masih belum puas dan melaporkan kejadian itu pada Bu Guru. Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya berdiri di muka pintu, sambil memeluk daun pintu, selama satu jam pelajaran penuh. Teman-teman sekelas Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada seorang pun yang sudi memahaminya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sambil memeluk daun pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk seseorang tanpa izin termasuk perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu jam pelajaran lamanya. Ketika jam pelajaran selesai, Bu Guru baru mempersilakannya duduk. Kaki dan tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah memeluk daun pintu yang keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama satu jam pelajaran penuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesampainya di rumah panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih berhati-hati. Ia tak akan memeluk orang sembarangan lagi. Ia juga akan menahan sekuat mungkin perasaan ingin memeluk atau dipeluk seseorang. Sampai malam tiba, seperti malam-malam sebelumnya, Hardi akan kembali mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan memeluk guling pesingnya. Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guru tak akan mungkin memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KEESOKAN harinya, Hardi tidak ingin lagi memperhatikan adegan peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena itu bisa membuat keinginannya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah parah. Ia akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak mau keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi malapetaka. Hardi tak berniat memeluk siapa pun. Hardi tak ingin Bu Guru menyuruhnya memeluk daun pintu lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru melenggang. Tiba-tiba Hardi memperhatikan lengan Bu Guru yang jenjang, juga dadanya yang lebar. Pasti mujur sekali menjadi anak Bu Guru, pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang nyaman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sekarang, mari kita menuliskan identitas kita masing-masing, mulai dari nama, alamat, tanggal lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita bacakan satu per satu, di depan,” Bu Guru masih terus mengoceh di depan, sementara Hardi masih terbengong-bengong, membayangkan dipeluk Bu Guru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hardi!” bentak Bu Guru membuyarkan khayalannya. Ia mengkhayalkan dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah membentaknya dan membuatnya kaget. Benar-benar tidak setimpal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Perhatikan!” tegas Bu Guru lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi mengangguk, merunduk-runduk.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Baiklah,” Bu Guru kembali melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih waktu sepuluh menit.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Serentak anak-anak mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara 30 anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai menyusul. Satu per satu, Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru berhenti agak lama ketika membaca buku tulis milik Hardi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hardi,” seru Bu Guru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan giliran pertama untuk membaca di depan kelas?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Coba bacakan ini, hobi dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi maju ke depan kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Nama Hardian, alamat….”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Stop, stop, baca hobi dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hobi saya…,” berhenti sejenak, “memeluk.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tawa-tawa anak sekelas meledak. Serentak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Siapa yang tertawa?” Bu Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan suara terlunta, Hardi melanjutkan bacaannya, “Cita-cita saya… ingin dipeluk.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Alunan tawa kembali menggelegar. Gempar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Diam!” Bu Guru kembali menggebrak meja, sebelum kembali memelototi Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi mengerut. Tak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan memelototinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Memalukan! Kecil-kecil otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu Guru hukum memeluk tiang di teras depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas. Besok harus kamu perbaiki. Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sepulang sekolah kepala Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata Bu Guru. Ia tak paham, “harus lebih jelas” yang dimaksudkan Bu Guru itu seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir bagaimana memperjelas hobi dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai hampir patah barulah Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis begini: hobi saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru. Sangat jelas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi yakin, Bu Guru akan puas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KEESOKAN harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam terakhir. Hardi tak sabar menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan cita-citanya yang sudah sangat jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca hobi dan cita-citanya, barangkali Bu Guru akan terharu dan kemudian benar-benar memeluknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah berpihak pada Hardi. Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi dan cita-citanya yang baru, Bu Guru malah semakin marah dan kembali menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya memeluk pohon mangga yang ada di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil marah-marah, hobi itu paling tidak harus menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, atau sejelek-jeleknya bermaingame. Sedangkan cita-cita lebih banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, ABRI, dokter, pelukis, atau petani juga boleh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hardi benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau memahaminya. Lepas dari itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati kecilnya, Hardi tak pernah suka menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi bermain game. Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak pernah terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan pohon mangga di depan ruang guru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terlebih tentang cita-cita yang ditawarkan Bu Guru, sama sekali tak ada yang menggiurkan. Keinginannya cuma satu, cita-citanya cuma satu; dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah kejadian menjengkelkan itu, sertamerta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk siapa pun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu Guru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SAMPAI di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru masih belum padam. Hardi jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini memang tak ada seorang pun yang benar-benar ikhlas untuk memeluk atau dipeluk orang lain, kecuali keluarganya. Buktinya, ia tak pernah melihat Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau terkadang papanya. Ia juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain kakeknya. Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-VHrfE9w1kKE/VmjWj8K2sTI/AAAAAAAAAKw/TJrZavk6tdw/s1600/pelukan-ilustrasi-putut-wahyu-widodo.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="196" src="http://3.bp.blogspot.com/-VHrfE9w1kKE/VmjWj8K2sTI/AAAAAAAAAKw/TJrZavk6tdw/s200/pelukan-ilustrasi-putut-wahyu-widodo.jpg" width="200" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">lakonhidup.wordpress.com</td></tr>
</tbody></table>
Pikiran Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti asuhan? Tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu artinya, takkan pernah ada orang yang mau untuk ia peluk atau memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin sedih. Masa iya, aku harus memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta, berulang kali Hardi mencoba menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri, namun tetap saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya. Bagaimanapun, seseorang memang tak pernah bisa memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap butuh orang lain. Sampai matanya terlelap, Hardi masih bertanya-tanya, adakah seseorang yang sudi memeluknya? (*)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
Malang, 26 Maret 2012</div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-81632788289340578682013-10-06T22:40:00.001-07:002013-10-06T22:41:05.578-07:00Uban di Rambut Anakku<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oleh <b>Mashdar
Zainal</b> (<i>Radar Surabaya</i>, Oktober 2013)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-autospace: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-YGcMcFZYZOU/UlJJGCpty-I/AAAAAAAAAHY/cuxNcvBW1HM/s1600/Mashdar+Zainal-Surabaya+Post.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://4.bp.blogspot.com/-YGcMcFZYZOU/UlJJGCpty-I/AAAAAAAAAHY/cuxNcvBW1HM/s320/Mashdar+Zainal-Surabaya+Post.jpg" width="159" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Entah sejak kapan anak itu suka berdiri berlama-lama di
depan cermin. Menyisir rambutnya pelan-pelan. Seperti ada sesuatu yang ia cari.
Sesuatu yang terselip di antara rambutnya yang tipis dan kemerahan. Jelas
sekali, ia tak sedang berdandan. Ia anak laki-laki, dan masih kelas tiga SD.
Lagi pula, ia bukan tipe anak yang peduli dengan penampilan. Maka terasa ganjil
melihatnya berlama-lama di depan cermin. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada awalnya aku tidak peduli, namun, setelah
memerhatikan cara ia bercermin, aku jadi khawatir. Begini cara ia bercermin: ia
menatap wajahnya dalam cermin dengan tatapan panik. Wajahnya nyaris menempel di
wajah cermin, bersela beberapa centi saja. Matanya terpicing ke atas, melirik
rambut di kepalanya. Sementara jari-jarinya terus menyisir setiap helai rambut
yang menempel di kepalanya. Menyisir dan menyisir. Memilah dan memilah. Jika
tak ada sesuatu yang ditemukannya, ia akan mengulang kembali gerakan jemarinya.
Terus menyisir dan menyisir, memilah dan memilah. Hingga ia terdiam lama,
mengusap-usap rambutnya, menatap tak percaya pada rambutnya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku serta-merta. Ia
terhenyak. Tak sadar mamanya tengah memerhatikannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Ada uban di
rambutku, Ma,” balasnya sendu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Benarkah?” Aku
meraih kepalanya. Menyisir rambutnya dengan jariku sendiri. Dan benar, aku
menemukan beberapa helai rambut berwarna keperakan di kepalanya, di antara
rambutnya yang hitam kemerah-merahan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Iya, kan? Ada
uban di rambutku, kan?” ia memastikan, nada bicaranya, panik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Ini bukan uban,
ini hanya rambut yang rusak. Lagi pula, memangnya kenapa kalau ini benar-benar
uban?” Dalam hati, aku bertanya-tanya, bagaimana bisa rambut tua ini bercokol
di rambutnya. Memang sedikit kurang lumrah, anak usia delapan tahun sudah
memiliki uban.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Aku takut, Ma,” balasnya
lagi, matanya mendung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Takut kenapa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Takut mati,”
tuturnya spontan dan polos.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Memang, apa
hubungannya uban dan kematian?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Pak ustadz, guru ngaji di sekolahku pernah bercerita
tentang itu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cerita apa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cerita tentang uban.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cerita tentang uban?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Iya, kata ustadz, suatu ketika, malaikat pencabut nyawa mendatangi Nabi Yakub untuk mencabut
nyawanya, tapi Nabi Yakub mengelak, ia memohon agar Tuhan mengiriminya utusan
terlebih dahulu sebelum mencabut nyawanya. Kemudian malaikat pencabut nyawa
mengatakan, bahwa Tuhan telah banyak mengirimkan utusan, yaitu berupa sakit,
uban, pendengaran yang buruk dan penglihatan yang buram.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Aku terdiam. Tak tahu harus membalas apa. Aku
hanya mengelus kepalanya dan mengatakan, bahwa kematian adalah rahasia Tuhan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Aku kembali ke kamar dengan kekhawatiran yang
baru. Sampai di kamar, tiba</span><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">-tiba aku beringsut mendekati cermin
rias. Kuperhatikan wajahku dalam-dalam, tampak kerutan lembut mulai tergurit di
dahi dan sudut mata. Kuperhatikan juntai rambutku, saksama. Kilatan
keperak-perakan berkelebat sekilas dan hilang. Berkelebat lagi dan hilang lagi.
Aku yakin, itu uban. Aku terus memburunya, menyisir rambutku dengan jari
seperti yang dilakukan anakku, helai demi helai. Dan ketika rambut berkilat itu
kutemukan, aku merasa lega sekali. Kucabut rambut itu hati-hati, pelan-pelan,
seperti mencabut kesialan yang licin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ngapain, Ma?” suara suamiku yang baru pulang kerja
membuatku terhenyak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Eh, Papa. Pa, bisa minta tolong, nggak?” spontanku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Minta tolong apa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cabutin uban yang ada di rambut Mama.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ngapain uban dicabutin, uban itu tanda, tanda buat
berkaca bahwa kita sudah tidak muda lagi. Apa Mama tidak terima menjadi tua?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku terdiam. Perlahan kulirik rambut suamiku yang rupanya
sudah lebih rata ditumpahi uban.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Lihat rambut papa. Penuh uban. Tapi Papa biarkan saja.
Uban itu utusan, Ma. Utusan dari Tuhan supaya kita mengingat mati. Supaya kita
tidak lupa, bahwa semua yang hidup itu akan menjadi tua dan mati. Semuanya…,”
suamiku mengulang ceramahnya. Aku khusyuk mendengarkan. Tiba-tiba aku teringat
uban yang bercokol di rambut anak kami. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Jadi, uban itu hanya tumbuh di rambut orang yang sudah
tua saja, ya?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Mestinya begitu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Berarti, beberapa orang yang mati muda atau bahkan masih
bayi, mereka tidak mendapatkan utusan? Bayi kan nggak mungkin punya uban?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Entahlah, <i>wallahu a’lam. </i>Tapi, uban memang sebuah
tanda, bahwa seseorang itu menjadi tua, dan apa lagi yang lebih dekat dengan
orang tua selain tanah?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Berarti anak kita…,” ucapku terbata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa anak kita?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Dia sudah beruban.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Suamiku terdiam. Melongo. Kami saling tatap.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Petang merembang. Matahari hampir tenggelam. Kami
bercengkerama di beranda, balkon lantai dua. Menikmati matahari tenggelam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ini namanya <i>sunset</i> atau <i>sunrise</i>, Ma?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Itu <i>sunset</i>, Sayang, kalau <i>sunrise</i> itu
matahari terbit,” jawabku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“<i>Sunset</i> memang indah, ya, Ma?” wajah anak itu
berkilaun oleh tumpahan cahaya senja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Eh, kata Mama kamu punya uban, ya?” ungkap suamiku
tiba-tiba, “sini Papa lihat!” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Anak itu mendekat ke papanya. Dicengkramnya leher kecil
itu oleh lengan kekar papanya. Dengan jemarinya yang besar ia menyisir rambut
anak itu perlahan. Beberapa sisiran ia berhenti, menyisir lagi dan berhenti lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Bagaimana bisa ada uban di rambutmu?” suamiku bertanya
seperti menggumam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Anak itu menggeleng. Tak tahu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Bagaimana mulanya kamu bisa tahu ada uban di rambutmu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Dikasih tahu teman,” mata anak itu mulai sendu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh, tidak apa-apa. Itu hanya uban. Mungkin saja
shamponya tidak cocok.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tapi, aku malu, Pa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Malu? Malu kenapa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sampai sekarang, kalau di sekolah, teman-teman suka
mengejekku dengan panggilan ‘kakek’,” ungkap anak itu murung. Aku dan suamiku
saling tatap. Ada halimun yang tiba-tiba membuat dada kami sesak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak apa-apa. Uban bukanlah sesuatu yang buruk,” kata
suamiku, menghibur, “Kau tahu, orang-orang bule yang rambutnya pirang itu,
rambut mereka uban semua. Bahkan orang albino, alis sampai bulu kakinya juga
beruban,” imbuhnya dengan tawa yang kering. Kami turut tertawa. Anak kami malah
terbahak-bahak. Barangkali ia membayangkan betapa lucunya orang-orang albino
yang berambut pirang itu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kasihan mereka, ya, Pa. Masih bayi tapi sudah tua,
haha,” ia terbahak lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Makanya, kalau ada teman yang mengejek, tak usah
dibalas. Uban itu juga pemberian Tuhan, ciptaan Tuhan. Di dunia ini tidak ada
orang yang bisa menciptakan uban. Jadi, kalau mereka mengejekmu, artinya mereka
mengejek ciptaan Tuhan. Justru mereka yang kasihan, ya, kan?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Iya. Tapi kalau mereka masih mengejek bagaimana?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya kamu doakan saja, semoga mereka tidak mengejek lagi,
dan semoga Tuhan mengampuni mereka.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Anak itu menatap papanya dan mengangguk dalam-dalam.
Mereka tersenyum lalu berpelukan. Seketika keharuan menyeruak di ubun-ubunku.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Terpaksa tidak terpaksa, mau tidak mau, perihal uban di
rambut anak kami itu telah menjadi bahan pikiran baru. Suamiku jauh lebih
santai menanggapi perkara itu. Tapi aku tidak, aku tidak bisa. Aku tak sanggup
membayangkan, bagaimana anak delapan tahun menahan malu lantaran dipanggil
‘kakek’ oleh teman-temanya. Hingga suatu kali, aku mengajukan sebuah usul pada
suamiku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> “Pa, menurutmu
bagaimana kalau kita beli cat rambut saja?” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Cat rambut? Buat apa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ya buat ngecat rambut.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ah, tak usah. Tak perlu itu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kok tak usah, kasihan...”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tidak apa-apa. Justru yang harus kita lakukan adalah
memberi ia pengajaran, bahwa di dunia ini ada beberapa hal yang tidak perlu
disembunyikan. Uban bukanlah aib yang harus ditutupi. Kalau kita membelikannya
cat rambut, sama artinya kita mengajarinya menyembunyikan masalah, dan bukan
menyelesaikannya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Tapi, dia masih delapan tahun, Pa?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Justru itu, sudah selayaknya hal-hal semacam itu kita
tanamkan sedari kecil. Supaya kelak, ketika ia tumbuh menjadi remaja, menjadi
dewasa, ia tidak perlu lagi berususan dengan masalah minder.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku mengangguk, menyepakati pendapatnya, meskipun jauh,
di dalam hati masih belum terima.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: center; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah percakapan kami perihal uban itu tunai, aku
benar-benar lepas dari kekhawatiran. Fatwa-fatwa yan keluar dari lisan suamiku,
semuanya benar belaka. Tak perlu dan tak mungkin kutentang. Apa yang salah
dengan uban? Mengapa hidup mesti terbebani dan menjadi tidak tenang gara-gara
sehelai uban? Benar-benar tidak penting.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seiring waktu, ejekan-ejekan tentang ‘kakek’ terhadap
anakku mulai mereda. Rupanya ia benar-benar mempraktikkan teori dari papanya.
Semua hal memang butuh waktu untuk menjadi terbiasa. Dan ketika semua menjadi
terbiasa, sesuatu yang baru akan menggantikannya. Atas apa yang menimpa anak
itu, aku menyebutnya begitu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah perkara uban di rambutnya menjadi perkara lama,
perkara baru datang. Suatu siang, sepulang sekolah, anak itu mengeluhkan
kepalanya yang pusing. Sakit sekali, katanya. Aku memintanya istirahat. Hari
berikutnya, kening dan lehernya menghangat. Ia terus-terusan meludah. Ia
bilang, mulutnya pahit sekali, tenggorokkanya juga sakit, seperti tersedak
ranting, hingga susah sekali memasukkan makanan ke lambungnya. Awalnya aku
berpikir, itu haya demam biasa. Mungkin ia terlalu capek di sekolah. Namun,
setelah hampir lima hari panasnya tidak turun, aku mulai cemas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Suamiku mengambil izin singkat dari kerjanya agar bisa
mengantar kami ke dokter. Entah mengapa, sepanjang hari perasaanku menjadi
getir. Kata suamiku, perasaan seorang ibu memang selalu begitu ketika anaknya
sakit. Ketika dokter mulai memeriksanya, perasaanku seperti dijungkir balik.
Setelah anak itu diperiksa, dokter menemui kami dan menyarankan supaya anak itu
dirawat inap saja di rumah sakit. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Ada sesuatu yang tumbuh di kepala anak Anda, tepatnya di
otaknya,” kata dokter itu perlahan. Tenang. Kata-kata selanjutnya seperti
nguing lebah yang tak perlu kusimak lagi. Aku sudah tersengat. Anehnya, detik
itu yang pertama kali muncul di kepalaku adalah perkara uban yang oleh anak itu
dipercaya sebagai utusan penjemput maut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku tergugu menatap anak itu terbaring lemas dengan jarum
infuse menikam pergelangan tangannya. Ketika kuusap kepala itu perlahan-lahan,
aku seperti baru menyadari sesuatu, bahwa helai uban yang tumbuh di kepala anak
itu kian merata.*** <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: 27.0pt;">
<br /></div>
<b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US;">Malang,
2012</span></b>galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-47127885907053559902013-09-08T22:22:00.000-07:002013-10-06T22:23:30.906-07:00Dan Burung-Burung pun Pulang ke Sarangnya<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;">Oleh <b>Mashdar Zainal</b> (<i>Lapung Post</i>, 8 september 2013) </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://cdn.c.photoshelter.com/img-get/I00000c5pwSkajto/s/750/750/8-x-8-110.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="http://cdn.c.photoshelter.com/img-get/I00000c5pwSkajto/s/750/750/8-x-8-110.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://jeffleague.photoshelter.com/image/I00000c5pwSkajto">jeffleague.photoshelter.com</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;">SEBELUM kau menembakkan matamu ke arah langit yang hampir matang di sebelah barat, sekawanan burung telah terlebih dahulu terbang melintas dan menghilang di kejauhan. Langit begitu tenang, hingga kita mengira bahwa pada saat-saat tertentu langit pun dapat mengheningkan cipta untuk kesedihan yang mengendap di bumi. Dan warna jingga—senja itu, mungkin mengingatkan kita pada langit-langit di atas perkampungan kita beberapa malam lalu. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Kita semua tahu, senja begini, burung-burung pun pulang ke sarang mereka. Jika di waktu yang sama manusia tak bisa pulang ke rumah mereka, apakah berarti burung-burung yang tak pernah kita lihat senyumnya itu lebih bahagia? Sepertinya, iya, burung-burung itu tak pernah merasa punya beban meski bisa saja tiba-tiba sebuah senapan telah terbidik dan sebuah peluru siap bersarang di kepalanya.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Ketika baru saja kita membayangkan kebahagiaan burung-burung, lekas-lekas kau berkata, “Aku ingin terbang ke langit seperti mereka.”</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Sementara langit semakin merah, dan kita mulai bertanya-tanya, apakah sekarang sudah masuk waktu maghrib? Jika melihat ke arah matahari yang terbenam, mungkin sebentar lagi akan magrib. Dan mulai beberapa hari lalu, kita telah menandai waktu sembahyang hanya lewat tinggi matahari, karena beberapa malam silam, masjid-masjid beserta musala di kampung kita telah hangus oleh api orang-orang suci. Rumah-rumah dan fasilitas umum juga ditanami api yang menari-nari. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Beberapa orang, jika mereka tak berhasil melarikan diri, mungkin juga akan hangus seperti dikremasi.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Burung-burung terbang hanya dengan kawanan mereka, seperti juga ikan-ikan yang berenang hanya dengan jenis mereka sendiri. Apakah manusia juga begitu?” kau seperti bertanya pada langit. Dan suatu saat—yang tak akan kita ketahui, mungkin langit akan menjawab dengan caranya sendiri. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Manusia tentu tidak sama dengan binatang, mereka punya akal dan punya hati,” kata-kata itu terdengar seperti ceramah agama, dan aku tahu, beberapa malam lalu—ketika orang-orang suci itu menanam api di perkampungan kita, ceramah itu tidak berlaku.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Tapi beberapa malam lalu, kita melihat, orang-orang suci itu seperti kawanan harimau yang menyerang kawanan rusa, dan seolah-olah mereka melakukannya karena telah mendapat restu paling kudus.”</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Matamu masih tertembak ke arah langit yang telah matang di sebelah barat. Kerudungmu yang hitam berkibar-kibar, seakan-akan kau akan berbela sungkawa untuk selamanya, seumur hidupmu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Kehilangan tempat tinggal dan keluarga mungkin adalah sesuatu yang sulit, tapi seharusnya kita masih bersyukur karena kita tidak kehilangan moral kita sebagai manusia. Katakan, manusia macam apakah yang tega menyeret nenek-nenek lumpuh keluar dari rumah mereka sendiri, atau melempar anak-anak kecil dari pangkuan ibunya. Benarkan Tuhan merestui mereka, seperti sembohyan yang mereka dengung-dengungkan, bahwa darah kita telah menjadi halal lantaran kita berdoa dengan cara yang mereka anggap salah.”</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Suaramu masih saja berlompatan seperti rancauan bayi tak tak pernah tahu cara terbaik untuk tidak menyukai sesuatu. Kita kehilangan tempat tinggal. Dan kau kehilangan keluargamu. Setelah beberapa malam lalu, kampung kita tinggalah puing-puing yang mengepulkan asap. Beberapa dari kita terpisah dengan sanak saudara. Kita begitu panik dan tak sempat memikirkan apapun selain nyawa kita yang sudah seperti danging cincang yang tercerai berai dan siap ditusuk dan dibakar matang seperti satai. Barangkali keluargamu terdampar di pengungsian entah, seperti kita yang juga terdampar di pengungsian entah. Dan kita mendengar, bahwa para aparat yang orang-orang yang peduli itu telah berjanji akan mengembalikan kita kepada keluarga kita masing-masing.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Mengapa mobil jemputannya belum datang?” langit sudah mulai gelap, hingga pandanganmu ke ketinggian terhalang oleh warna hitam.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Mungkin saja mobil-mobil yang akan menjeput kita dan membawa kita ke tempat pengungsian yang baru juga telah dibakar di tengah jalan. Bukankah mereka juga telah memblokir mobil sukarelawan yang membawa bahan makanan untuk kita?</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Sepertinya sudah magrib, sebaiknya kita sembahyang, dan mungkin mobil itu akan datang usai kita sembahyang.”</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Langit sudah sempurna gelap. Kau tak perlu memandangnya berlama-lama. Karena, tanpa memandangnya pun kegelapan akan kita temui di mana-mana. Lepas sudah. Di tempat pengungsian ini, kita sembahyang tanpa sajadah. Orang-orang sembahyang tanpa sajadah. Dan malam yang dingin pun segera turun setelah isya menggeliatkan tubuh-tubuh yang kepayahan.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
“Mobil jemputan itu tak akan datang, dan kita semua akan membeku di ruangan tanpa dinding ini,” mukena putih yang kau kenakan kau lipat kembali. Seperti melipat kedamaian yang hanya sejenak dan mengembalikannya pada kerudung hitam yang abadi.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Kukatakan padamu, bahwa ruangan tanpa dinding ini bisa saja menjadi lebih buruk, jika kita tak bisa mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang terus membayang setelah kejadian mengerikan beberapa malam lalu itu. Dan kau pun terdiam, memilih merebahkan tubuh di atas lantai-lantai yang tiba-tiba menjelma menjadi balok es paling dingin.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Malam belum lagi sampai puncaknya. Dan kemah pengungsian ini telah menjadi sepi. Akan senantiasa sepi. Selepas sembahyang isya, orang-orang lebih memilih berzikir dalam tidur mereka yang berimpit-impit seperti mayat yang dijajarkan karena kematian massal. Mereka, kita, memang sudah serupa mayat yang tak terurus, bergelimpangan dan tenggelam dalam pikiran kita masing-masing.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Dan ketika malam berjalan dengan sangat lambat, seperti gelapnya, seperti juga dinginnya, aku melihatmu bangkit di antara puluhan mayat yang lelap itu. Kau pergi menuju pancuran air dan sembahyang tengah malam dengan tubuh gemetar, dengan pundak berguncang. Mungkin karena dingin. Selepas itu lampu penerangan yang redup di barak pengungsian tiba-tiba mati. Di langit yang serba kelam itu aku seperti melihat tubuhmu melayang-layang, gamis dan kerudung hitammu berkibar-kibar, mengecil di ketinggian, serupa kawanan burung yang terlambat pulang ke sarangnya. n</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<span style="color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><br /></span></div>
<span style="background-color: white; color: #333333; font-family: Arial, Tahoma, Helvetica, FreeSans, sans-serif; font-size: 15px; line-height: 20px;"><div style="text-align: justify;">
Malang, 2013</div>
</span>galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-73725361376255940472013-08-18T20:13:00.000-07:002014-06-03T20:15:32.105-07:00Pohon Tanjung Itu Cuma Sebatang<div style="background: white; text-align: justify;">
<span style="background-attachment: initial; background-clip: initial; background-image: initial; background-origin: initial; background-position: initial; background-repeat: initial; background-size: initial; font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Cerpen Benny Arnas (</span><i>Jawa Pos</i>, 18 Agustus 2013)<o:p></o:p></div>
<div style="background: white; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2014/02/pohon-tanjung-itu-cuma-sebatang-ilustrasi-bagus.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2014/02/pohon-tanjung-itu-cuma-sebatang-ilustrasi-bagus.jpg" height="320" width="198" /></a></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<b><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">KETIKA<span class="apple-converted-space"> </span></span></b><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Didin mengantarkan surat itu
pada awal Februari 1996, keinginannya berjumpa Misral menjelma gunung berapi
yang hendak meletus. Sudah empat puluh tahun mereka tak bertemu.<span class="apple-converted-space"> </span><i>Bapak rindu sekali padamu, Nak.<span class="apple-converted-space"> </span>Kau pun begitu, kan? Datanglah ke
sini. Ajak Rosnah dan anak-anakmu. Sindulami pasti sudah punya adik, kan?
Berlebaranlah di sini, atau bahkan sahur dan berbukalah di rumah ini. <span id="more-4418"></span></i><o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Lamat-lamat
ia keluarkan surat berstempel kantor pos Aceh Besar yang hanya satu lembar itu.
Ia elus-elus surat yang masih terlipat itu dengan perasaan. Ia belum berani
membuka apalagi membacanya. Perasaannya selalu berkebat-kebit. Ia masukkan lagi
surat itu ke dalam amplop. Dicium-ciumnya amplop yang berisi surat itu dengan
mata terpejam dan hidung yang sedikit mengendus, seolah bau tubuh anak semata
wayangnya menguar dari kertas itu. Ia melangkah ke lemari merbau tanpa ukiran
di kanan pintu kamarnya. Dimasukkannya surat itu ke dalam saku safari
veterannya yang tergantung di sisi kanan dalam lemari.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Lalu telapak
tangan kanannya menyusur ke bawah lipatan baju di sisi kiri. Beberapa saat
kemudian, selembar kertas mengilap seukuran kartu pos dikeluarkan dari lipatan
itu. Ia elus-elus foto yang bagian belakangnya sudah agak menguning itu.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Foto itu
datang pada pertengahan tahun 1971, lima tahun setelah kepergian Misral. Di
sana, seorang laki-laki berkumis tipis dan rambut disisir klimis ke belakang,
mengenakan kemeja kuning dan celana kecubung warna susu, duduk di kursi kayu,
memangku seorang gadis kecil yang mungkin usianya belum genap tiga tahun. Di
sampingnya, duduk pula seorang perempuan dengan baju terusan berwarna kulit
labu dan kerudung merah bata. Mereka bertiga tersenyum bersahaja seperti
mengumumkan kebahagiaan yang sesuai takaran. Di belakang foto berlatar rumah
panggung itu tertulis nama istri dan anak pertama Misral. Oh, ia kini
dikerubungi penyesalan mendalam.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Maafkan
Bapak, Misral. Bapak baru menyadari kesalahan justru ketika kau sudah pergi.
Bapak tak menyangka kau akan mengembara ke ujung pulau. Bagaimana kau membiayai
sekolahmu, Nak. Apakah di sana kau bertemu induk semang yang mulia hatinya.
Kalau tak begitu, bagaimana kau bisa kawin? Apa sekarang kau sudah berdikari
sebagai insinyur atau pegawai pertanahan atau guru sekolah seperti cita-citamu
dulu. Bapak rindu sekali, Nak. Bapak juga ingin menggendong anak-anakmu,
bermain-main dengan mereka sebagaimana dulu Bapak sempat bermain-main sebentar
denganmu.</span></i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Ia menutup
lemari merbaunya. Baru dua langkah meninggalkan tempat pakaian itu,
pandangannya mengarah ke luar jendela samping. Ia melihat seekor induk ayam
sedang membagikan cacing-cacing yang baru dikais dari tanah gembur di sekitar
pohon tanjung pada anak-anaknya yang berkeriapan. Anak-anak ayam itu berkerumun
di antara daun-daun tanjung yang jatuh berserakan. Sebenarnya halaman yang luas
itu lebih layak disebut kebun pisang, tapi saban orang baru bertanya letak
rumahnya pada tetangga sekitar, mereka akan menyebut pohon tanjung yang
menjulanglah sebagai penanda. Ya, pohon yang kata orang-orang dulu seusia
dengannya itu terlalu perkasa dibanding pohon-pohon pisang yang tumbuh hanya
seperdelapan tinggi batangnya. Kanopi dan rumpung bunganya makin hari makin
rimbun walaupun daun dan bunganya jatuh tak pandang waktu. Sebenarnya ada dua
pohon tanjung di halaman. Namun entah mengapa, tak lama setelah kepergiaan
Misral, pohon tanjung yang lebih kecil meranggas perlahan-lahan sebelum mati.
Kini, pohon tanjung yang tumbuh di halamannya cuma sebatang. Oh, pemandangan
petang itu benar-benar mengejeknya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Andai saja
ibumu tidak meninggal ketika melahirkanmu dulu, mungkin semuanya tidak akan
begini, Misral. Kau lebih banyak bermain dengan Didin, anak tetangga di
belakang rumah. Bapak baru mendongengimu sebelum tidur atau bermain
kapal-kapalan dari pelepah pisang denganmu bila sedang ingin saja. Maafkan
Bapak, Misral. Bapak memang bekas pejuang tak berguna. Bapak kira dengan
menikahi Sakdiah, kau akan beroleh kasih sayang yang layak, ternyata tidak.
Walaupun begitu, Bapak masih mempertahankannya sebagai istri, bukan sebagai
ibumu. Bapak yakin, walaupun baru berusia enam tahun, kau pasti merasakan ada
angin segar yang berembus dalam kehidupanmu ketika Bapak menceraikan ibu tirimu
itu. Seharusnya Bapak bisa menyekolahkanmu di Sekolah Rakyat atau mengantarmu
ke taman-taman bermain peninggalan Belanda yang banyak dibangun di Kayuara,
tapi… Bapak terlampau sibuk bergerilya mencari istri-istri baru. Kau pasti
sangat kesal ketika baru masuk sekolah pada umur sepuluh tahun.</span></i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Kali ini ia
tak mampu menahan laju air penyesalan itu keluar jatuh dari kelopak matanya.
Semakin ia kusal matanya, semakin basah matanya, semakin basah punggung
tangannya, semakin basah pipi keriputnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Setelah
berpisah dengan Sakdiah, ia menikahi Mariani, anak pesirah di Pulopanggung,
dusun rumah tinggi di bantaran anak Sungai Musi. Tapi pernikahan itu hanya
bertahan dua tahun begitu mengetahui kalau perempuan itu mandul, nyinyir
menanyakan harta dan warisan, dan gemar berkerumun dengan para tetangga perempuan
untuk membincangkan kesia-siaan.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" style="background: white; text-align: center; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Pada tahun
1950, memang banyak anak muda yang bergelar pejuang walaupun hanya sempat
berjuang kurang dari sepuluh tahun. Tentu saja termasuk Tanjung Salam bin
Muhammad Abduh, pemuda yang sudah bergerilya di hutan-hutan Musi Rawas sejak
usianya 15 tahun pada 1939.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Sebagaimana
namanya, ia adalah pejuang muda yang gagah dan rupawan. Adalah wajar bila Mania
Syukur, gadis desa yang pada 1949 itu berusia 20 tahun langsung mengiyakan
pinangan yang diantar oleh kerabat ayahnya. Kala itu, status yatim piatu tidak
membuat harga dirinya jatuh. Terlebih kabar yang berembus menyebutkan ia
memiliki beberapa bidang kebun karet peninggalan orang tua. Sepeninggal
Belanda, Jepang memang tak sempat menjejakkan kaki di Musi Rawas sehingga
kebun-kebun karet dikuasai oleh tetua-tetua adat. Salah satunya adalah Muhammad
Abduh yang mewariskan kebun-kebun beserta para pekerja upahannya kepada anak
bujangnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Ketika ia
hendak menikah yang kelima kalinya dengan Mila, janda kaya dari Batuurip, anaknya
menentang. Tentu saja tak mungkin ia ceritakan alasan pernikahannya kepada
Misral: mungkin Mila berasal dari keluarga berada. Mungkin Mila benar-benar
akan mengurusnya (jua Misral). Mungkin Mila bisa memberi satu-dua orang adik
untuk Misral. Mungkin dengan menikahi janda ia bisa hidup bahagia sebagaimana
dengan Mania dahulu. Namun, Misral yang berusia enam belas tahun, tak tahan
diolok-olok teman-temannya sebagai anak kucing jantan yang senang menelantarkan
jalang.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">“Tabiat
Bapak umpama pohon tanjung. Makin tua makin gemar menumbuhkan cabang dan
menggugurkan daun mati,” Misral menyindirnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">”Tahu apa
kau tentang pohon tanjung? Pernah kau merasakan perjuangan kami mengusir para
penindas berkulit jagung itu? Tabiat orang Timur itu mengusir kompeni, bukan
meladeni mulut-mulut bangau di luar sana. Mereka tak tahu sakitnya ditusuk mata
tombak dan pedihnya hantaman peluru!“<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Celakanya,
Misral melawan. Entah dari mana remaja yang sedang tumbuh mencari jati diri itu
mendapatkan perumpamaan. Ia mengatakan bahwa apa yang bapaknya lakukan
sejatinya lebih tajam dari mata tombak dan tembakan peluru.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Pecahlah
perang. Sebagai penjuang bapaknya pantang kalah. Pada pengujung Juni 1966 itu,
ia mengusir Misral seperti mengusir kompeni dari kampungnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Bagaimanapun,
tubuh ayah dan anak dialiri oleh darah yang sama. Setelah Mila tak memberinya
apa-apa (tidak perhatian, tidak anak, tidak pula kebahagiaan), ia didera
kemurungan yang panjang karena rindu pada Misral yang mencabik-cabik. Akhirnya
untuk pertama kalinya, ia digugat istri untuk mengakhiri hubungan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Kesepian pun
bersekongkol dengan matahari yang bersinar saban pagi dan bersembunyi kala
maghrib. Rasa hampa menyebabkan kebahagiaan masa lampau dan kerinduan tak
tepermanai bertabrakan. Jiwanya lumpuh. Ia termakan kutukan Misral. Ia menjelma
batang tanjung yang tua, kering, rapuh, dan mudah terbakar oleh sengat matahari
dan membusuk oleh hujan lebat.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Awalnya ia
pikir Tuhan bersimpati pada nasibnya ketika pak pos datang mengantar amplop
yang hanya berisi selembar foto Misral dan keluarganya pada musim kemarau 1971.
Tapi ternyata foto itu adalah tombak bermata dua yang kuasa mengantar
kebahagiaan sekaligus membangkitkan penyesalan. Ia berharap Misral akan
mengirimkan lebih dari sekadar foto pada kiriman berikutnya. Namun… ditunggu
dan ditunggu, pak pos tak kunjung datang.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Setelah
1980-an, ketika negara sudah mengakui veteran, Didin, teman sepermainan Misral
yang diterima menjadi pegawai di Kantor Pos Lubuklinggau, selalu menyambanginya
saban awal bulan. Tapi bukan untuk mengantarkan foto atau surat dari Misral,
melainkan biaya hidup yang sudah dianggarkan negara untuk bekas pejuang
sepertinya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Siang Selasa
itu, Tuhan seperti mengabulkan harapan laki-laki 81 tahun itu. Didin datang
bukan hanya untuk mengantar uang bulanan, melainkan juga setangkai kembang
kebahagiaan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">”Dulu Mang
Tanjung sempat cerita kalau Misral merantau ke Aceh, kan? Nah, ini dikirim dari
sana, Mang.“ Didin menyerahkan sebuah amplop dengan wajah yang tak kalah
berserinya dengan air muka si penerima.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Setelah
mendiamkan surat itu beberapa waktu, ia bermaksud membacanya. Namun ia
sempatkan menunaikan salat asar sekaligus mengirimkan doa untuk kesehatan
Misral dan keluarganya dahulu. Sebuah surat yang dinanti-nanti memang harus
dibaca dengan hati yang lapang.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Surat itu
tidak panjang seperti yang diharapkan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Baru
sadarlah ia, kedatangan Didin tadi bukan untuk mengantarkan kembang kebahagiaan,
tapi tombak bermata dua.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><br /></span></div>
<blockquote class="tr_bq" style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Pekan ketiga
Januari 1996.</span></i><i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><br /></span></i><i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Teriring
salam kerinduan dari kaki Gunung Seulawah, Bapakku, dengan berat hati, kabar
duka ini Rosnah antarkan. Bang Misral sudah meninggal dunia dua hari sebelum
surat ini ditulis. Pagi itu angin gunung berembus sangat kencang, jembatan kayu
yang membelah sungai Tanoh Abee yang dangkal dan berbatu, patah ketika
Abang tengah mengayuh sepeda angin menuju SD tempat ia biasa mengajar. Bukan
sengaja telat mengirimkan kabar duka ini, tapi sesuai amanah Abang ketika
sekarat di puskesmas; ia tak mau kematiannya merepotkan Bapak karena tak
mungkin Bapak akan ke Aceh Besar untuk menghadiri pemakamannya. Terlalu jauh,
melelahkan, dan memakan biaya dan waktu yang tak sedikit. Walaupun tak bisa ke
Lubuklinggau untuk berhari raya tahun ini, insya Allah bila kami akan
mengunjungi Bapak bila masa dan nasib masih berkenan.</span></i><i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><br /></span></i><i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Wassalam,</span></i><i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Rosnah.</span></i></blockquote>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<i><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;"><br /></span></i></div>
<div style="background: white; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Ia
tercenung. Tangannya bergerak pelan menghapus air mata yang jatuh tiba-tiba.
Seperti digerakkan sesuatu yang gaib, kakinya melangkah ke arah lemari
merbaunya. Ia kembali mengeluarkan foto lama itu. Ia elus-elus wajah Misral di
sana, seolah lekuk pipinya, lancip hidungnya, dan minyak rambutnya, dapat ia
rasakan. Keriapan anak-anak ayam yang berebutan cacing masih menyambangi gendang
telinga. Selain melayangkan daun-daun yang menguning dan kesat, sebatang pohon
tanjung tua di halaman juga menggugurkan bunga-bunga putih seukuran jempol
orang dewasa. Misral benar, ada yang lebih tajam dari mata tombak dan lebih
mematikan dari peluru. ***<o:p></o:p></span></div>
<div align="right" style="background: white; text-align: right;">
<span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 11pt;">Lubuklinggau,
23 Juni 2013<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-16600830109472253942013-08-11T23:31:00.000-07:002013-09-20T00:37:52.921-07:00Muslihat Hujan Panas<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Oleh <b>Benny Arnas</b> (<i>Kompas</i>, 11 Agustus 2013)</div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/09/muslihat-hujan-panas-ilustrasi-kompas.jpg" style="color: #006699; margin-left: auto; margin-right: auto; text-decoration: none;"><img alt="Muslihat Hujan Panas ilustrasi Kompas" class="aligncenter size-full wp-image-3961" height="320" src="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/09/muslihat-hujan-panas-ilustrasi-kompas.jpg?w=426" style="border: none; display: block; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: justify;" width="297" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kompas</td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
<b>E</b><b>NTAH</b> bagaimana Maisarah harus marah pada hujan deras yang turun siang itu. Lebih sepuluh tahun menghindari Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terus menceracau tentang gaji veterannya itu. Kehadiran Samin, di bawah pohon merbau tempat ia berteduh, hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya makin menggunung.<span id="more-3960"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Sungguh, ketakutan, kebencian, dan rasa trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya buncit oleh air. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah sering orang-orang mengingatkan tapi sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Dua tahun berikutnya, Badri, adik Mursal, menyusul. Di usia yang sama dengan meninggalnya si kakak, Badri tewas jatuh dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar. Ia disambar petir ketika sedang memetik kelapa muda di perkebunan Haji Maulana di siang bedengkang. Memang tak ada yang menyangka kalau awan berwarna santan dapat menurunkan hujan dan diterabas petir.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Sejak itu, gairah hidup pasangan Samin-Maisarah meredup perlahan-lahan. Kehilangan telah menyadarkan mereka bahwa, seperti kata orang-orang tua dulu, anak adalah bulan purnama di dalam rumah. Kepergian mereka menyebabkan hidup tak ubahnya seperti meraba dalam lorong yang gelap. Saban hujan turun di tengah hari yang kerontang, Maisarah seperti diseret ke labirin kesedihan yang panjang dan penuh liukan. Samin, mungkin karena sadar posisinya sebagai imam, mencoba menguat-nguatkan diri dan menyalurkan kekuatannya pada Maisarah. Tapi sia-sia, Maisarah seperti tak menganggapnya. Bahkan ketika Samin mengutarakan maksudnya untuk memiliki keturunan lagi, Maisarah muntab.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Hah, masih sempat pula kau mengurus kenikmatan dunia, Samin?! Lagi pula usiaku hampir empat puluh. Malu! Apa kata orang kampung. Cukuplah kematian Mursal dan Badri memberi pelajaran tentang malu!”</div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Mengapa kau bicara seperti itu, Mai? Seperti tak ada adat kau? Tak pernah kau mengaji tentang menghormati suami? Sedih itu diperbolehkan Tuhan, tapi jangan berpanjangan. Begini akibatnya, kau jadi melawan. Lagi pula, aku tak paham ‘malu’ macam apa yang kaubicarakan?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Hah, berlapis nian kalimatmu, Samin. Yang mana harus kujawab? Aku tak peduli tentang kapan aku harus berhenti meratap. Kesedihan ini terlanjur hidup dengan malu yang harus ditanggung. Nah, kau malah minta anak lagi!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Samin melangkah keluar, menutup daun pintu hingga mengeluarkan bunyi yang membuat bahu Maisarah sedikit terangkat. Sejak itu, lorong kehidupan yang mereka lalui bukan hanya gelap, tapi juga sunyi dan menyeramkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Ketakterimaan Maisarah atas kematian tragis dua anak bujangnya bukan tanpa alasan. Ia menderita demam lebih dari empat puluh hari usai melahirkan. Dua bulan sebelumnya, Mak Juming, dukun beranak di Jalan Kacung, harus mengurut perut buncitnya hingga ia harus merasakan sakit yang sangat demi mengembalikan posisi bayinya yang sungsang seperti semula.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Oh, bila pun harus sesegera itu, batin Maisarah, tidak bisakah Tuhan memilih cara yang tak membubungkan rasa malu. <i>Ya, pada kerabat dan orang-orang yang bertandang ke Ulaksurung saban Ramadhan, Lebaran, dan </i><i>Hari P</i><i>asar, bagaimana harus kuceritakan ketika tanpa sengaja mereka menyelipkan pertanyaan di sela-sela perbincangan:</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana ceritanya dua anak bujangmu tak ada lagi?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Benarkah kabar yang beranak-pinak <i>tu</i>? Dua anak bujangmu mati di bawah hujan panas?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Apa, Mai? Mursal yang lihai berenang<i> tu</i> mati hanyut dan Badri yang suka bermain di pohon jambu di belakang rumah Wak Bidin <i>tu</i> mati disambar petir di atas pohon kelapanya Haji Maulana di Lubuksenalang?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja, Samin pun beroleh pertanyaan yang sama pada beberapa kesempatan yang tak mengenakkan, dan ia menceritakan saja yang sebenarnya. Ia tahan-tahankan saja sebak yang memenuhi dada dan kelopak mata. Baginya, semuanya sudah digariskan Tuhan. Tak ada seorang pun yang ingin ditimpa tangga musibah hingga sedemikian sakitnya. Tapi Tuhan sudah memilih keluarganya sebagai bahan pelajaran untuk yang lain. Tentu, pemahaman ini tak datang serta-merta karena mulut kecubung orang-orang kampung mekar dan melebar semaunya. Sejak hubungannya dengan Maisarah menghambar, ia memilih lebih banyak berada di masjid. Ia akan pulang bila perasaan ingin melihat Maisarah bangkit tiba-tiba.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Dua tahun yang lalu, entah iblis dari mana yang menyambangi mereka berdua, di usia yang sudah berkepala lima, Maisarah pikir, Samin tak mampu lagi menuntunnya berjalan di lorong yang gelap.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Pikirkanlah lagi, Mai,” ujar Samin penuh harap, “Berita buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Ulaksurung, tapi juga Pasarsatelit, Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang sedap untuk dilahap dalam pergunjingan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Kata-kata Samin itu seperti bola karet membentur tembok. Maisarah tetap berkeras menginginkan perpisahan. Menurutnya, Samin tak lagi bisa menjadi pemimpinnya. Samin lebih mementingkan ibadahnya di masjid daripada berada di rumah apalagi bekerja untuk menyambung hidup.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Aku saja makan dari menjual hasil kebun di simpang Belalau,” ujar Maisarah penuh kemarahan. “Sudah lima tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdalih kalau sebentar lagi pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah jadi kotoran kerbau baunya. Dari tahun 1970 aku dengar kabar itu di radio. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar pemerintah, kau tentu makin betah tinggal di masjid karena tak perlu lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Samin menghela napas, tak tahu harus berkata apa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Sudahlah!” lanjut Maisarah. “Nasi yang ditanak sudah mutung. Makin kau kais kemudharatan yang akan ditimbulkan perceraian ini, hanya keraknya yang akan kaudapati. Makin pahit di lidah, pedas saja di telinga.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Maka, sejak itu, lorong gelap yang mereka lewati sudah bercabang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Meskipun begitu, sepekan sekali, sepulang dari sholat Jumat, Samin menyempatkan diri mengunjungi Maisarah walaupun perempuan itu tak pernah membukakan pintu untuknya, bila pun pintu itu terbuka, akan sesegera ditutupnya dari dalam. Dalam beberapa kesempatan dan kebetulan, mereka kerap terperangkap dalam hiruk-pikuk keramaian. Namun Maisarah selalu lihai menghindar. Dalam hati, ia selalu mengutuk hilangnya rasa malu Samin. <i>Sudah bercerai, masih pula merasa halal!</i></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Hingga siang Agustus 1993 itu pun tiba.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Di bawah rindangnya pohon merbau, kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan. Sungguh, di saat seperti itu, sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan, kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya, ketika seorang laki-laki kurus yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara berlari ke arahnya. Mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang ada di hadapan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Aku dari kantor pos, Mai. Sudah kutunggu hingga dua hari, petugasnya tak kunjung mengantarkan uang veteranku. Makanya kujemput ke kota hari ini. Cukuplah untuk membelikanmu kain panjang dan baju kurung.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Maisarah bergeming. Wajahnya kusut. Bibirnya bergetar. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Kau kedinginan, Mai?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Tak ada jawaban.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Oh, aku baru ingat, ini hujan panas. Kau tentu teringat …”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Maisarah melirik Samin dengan raut muka tak nyaman hingga bekas suaminya itu tak jadi melanjutkan kata-katanya. Maisarah pun melangkah ke balik batang hingga tubuhnya tak lagi tampak oleh Samin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Samin melangkah mendekat ke arah batang yang kini memisahkan mereka. Tak lama, di bawah guyuran hujan panas dan gemuruh petir yang tampaknya belum akan segera reda, mereka menyandarkan diri di batang yang sama dengan posisi saling membelakangi. Maisarah menengadah ke kanopi merbau yang sesekali meneteskan air. Tak terasa, sudah hampir dua jam ia melarutkan diri dengan menghitung daun-daun yang jumlahnya ia taksir mengalahkan jumlah hari semasa hidupnya. Bersamaan dengan hujan yang mulai mereda, Maisarah mendengar suara ribut di belakang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Benar-benar laki-laki tak tahu malu, gerutunya, masih saja sibuk berkicau seakan-akan aku masih tulang rusuknya!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Maisarah memutar badan, melongok ke balik batang. Ketika hendak memuntahkan kekesalan kepada Samin, lidahnya kaku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Ada apa, Bi? Seperti melihat Malaikat Izrail saja kau?” tanya Makmun, penjual cendawan keliling, begitu mendapati kedua mata Maisarah yang seperti hendak keluar. “Dari tadi Bibi kuajak bicara, tak juga menyahut. Kukira Bibi sedang sakit gigi atau demam,” imbuh Makmun dengan sedikit kesal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Kenapa kau ikut berteduh di sini? Kau takut hujan panas pula?” tanya Maisarah, ketus.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
“Ah, Bibi mengigau!” Makmun mengibaskan tangan kanannya. “Aku berteduh karena hari panas nian. Mana mungkin hujan turun di musim kemarau.…”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
Maisarah tak berminat mendengarkan kelanjutan kalimat Makmun. Ia tergesa-gesa meninggalkan laki-laki itu dengan bunyi gigi bergemerutupan karena kesal. Sepanjang perjalanan ia menggerutu.<i>Bagaimana mungkin aku masih memikirkan Samin Keparat itu! Ia bukan apa-apa lagi bagiku, bukan!</i> Maisarah mengintip matahari dengan sebelah tangan menudungi mata. Hari memang sangat panas, seperti mengabarkan kalau beberapa saat yang lalu, tidak ada awan hitam yang pecah di musim kemarau. (*)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div style="background-color: white; font-family: Georgia, 'Book Antiqua', 'Souvenir Lt BT', 'Times New Roman', serif; font-size: 13px; text-align: right;">
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: right;">
Lubuklinggau, Ahad, 07 Juli 2013</div>
</div>
</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-46809726049068881312013-06-25T23:41:00.000-07:002013-09-19T23:42:03.621-07:00Bukan Kisah Cinta Rama dan Sinta<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
Oleh <b style="margin: 0px; padding: 0px;">Denny Prabawa</b> (<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Majalah Story</i>, edisi Juli 2013)</div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
</div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; margin: 0px; padding: 0px; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-IlXM08COxYg/UgCWzLEjtCI/AAAAAAAAAN4/SXRi2B9cENU/s1600/IMG_0029.JPG" imageanchor="1" style="color: black; margin: 0px 1em; padding: 0px; text-decoration: none;"><img border="0" height="298" src="http://3.bp.blogspot.com/-IlXM08COxYg/UgCWzLEjtCI/AAAAAAAAAN4/SXRi2B9cENU/s320/IMG_0029.JPG" style="background-color: #e1e1e1; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; border: 1px solid rgb(204, 204, 204); margin: 0px; padding: 4px;" width="320" /></a></div>
</div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><i style="margin: 0px; padding: 0px;">Namaku Shanti, tapi entah mengapa kisah hidupku serupa Sinta… Dicintai dua lelaki dan hanya mencintai seorang lelaki.</i><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti merebahkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Seorang perawat membalut lengannya dengan cuff, memompa udara ke dalam cuff, kemudian memutar valve untuk melepas sedikit demi sedikit udara dalam cuff. Telinganya yang tersumbat stethoscope berusaha menangkap suara aliran darah dalam tubuh Shanti. Perawat itu menuliskan sesuatu dalam buku catatannya. Setelah memastikan segalanya tampak normal saja, perawat itu meninggalkan Shanti sendiri dalam kamarnya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Ramacandra tengah menemui dr. Laksmana, Sp.OG, adik tirinya di ruang kerjanya. Shanti tidak mengerti, mengapa kekasihnya itu bersikeras membawanya ke tempat ini?<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku baik-baik saja, Rama,” kata Shanti beberapa waktu lalu, saat dalam perjalanan ke tempat ini.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Biar Laksmana yang memutuskannya,” sahut Rama setelah melempar senyum ke arahnya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Mengapa harus Laksmana?” tanya Shanti heran, “Bukankah dia spesialis kandungan?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Hanya ingin memastikan,” kata Rama datar saja.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah aku masih perawan, begitu?” tanya Shanti dengan nada meninggi.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Bukan sayang,” ujar Rama lembut, “aku hanya tidak rela jika Dasagriva sampai mengotori kesucianmu!”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku percaya kepadamu, Shanti,” ujar Rama, “Tapi aku tidak memercayai psikopat itu!”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Dia tidak melakukan apa pun kepadaku.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Dia menculikmu!”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Maksudku….”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Sudahlah, biar Laksamana yang memutuskannya.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti teringat pada Dasagriva. Lelaki yang telah menculiknya. Lelaki yang sudah jatuh cinta kepadanya sejak masih di bangku sekolah. Kecantikan Shanti yang serupa Dewi Laksmi bagi Dasagriva membuat kapten tim basket di sekolahnya itu bermain kesetanan dalam suatu pertandingan. Teriakan semangat Shanti bahkan mampu memalingkannya dari kecantikan para pemandu sorak. Di mata Dasagriva, Shanti yang berkacamata tebal dengan rambut yang selalu dikucir kuda serupa titisan Laksmi, istri Wisnu dari mitologi Hindu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Semenjak hari itu, Shanti menjadi hantu bagi Dasagriva. Sosoknya menari-nari dalam kepala Dasagriva. Tak ada yang lebih diinginkannya selain memenangkan cinta titisan Laksmi itu. Namun, Shanti tak ubahnya merpati yang betapapun tampak jinak selalu terbang jika ia mencoba mendekatinya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti sangat berbeda. Ia lebih suka mengunjungi perpustakaan daripada menghabiskan waktu di pusat-pusat perbelanjaan. Ia tak pernah risau pada sengat matahari yang mengancam putih kulitnya. Kacamata tebal yang dikenakannya tak pernah mampu menyembunyikan keindahan wajahnya dari mata Dasagriva. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Sampai pada suatu senja yang biasa-biasa saja. Ketika Shanti tengah asyik mendongeng di sebuah taman bacaan masyarakat dekat kediamannya, Dasagriva datang membawa seikat bunga yang ia petik dari taman hatinya. Kepada Shanti, ia tawarkan cinta.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti yang terkejut mendengar pernyataan Dasagriva, mengajak teman sekolahnya itu keluar. Pikirnya, anak-anak belum pantas menyaksikan adegan macam begitu. Sudah cukup sinetron meracuni pikiran anak-anak itu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Dasagriva menyerahkan bunga yang dibawanya kepada Shanti. Gadis itu menerimanya dengan senyum ramah.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah kau menerimaku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Maaf, Dasagrifa,” kata Shanti hati-hati, “aku telah dijodohkan sejak masih dalam kandungan.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Oleh siapa?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Oleh takdir.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku akan mengubah takdirmu!”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti tidak menggubris perkataan Dasagriva, ia hanya tersenyum sebelum meninggalkan teman sekolahnya itu. Ia tidak pernah menduga jika lima tahun kemudian, setelah mereka lulus kuliah, saat Ramacandra datang melamarnya, Dasagriva membuktikan perkataannya. Saat ia tengah gelisah menanti kedatangan Ramacandra yang telah digariskan oleh sang takdir menjadi pendamping hidupnya, Dasagriva menyelinap ke dalam kamar pengantin di hotel bintang tujuh itu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku tidak ingin melukaimu,” kata Dasagriva, “aku hanya ingin kauikut denganku.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti ingin berteriak. Belum sempat ia melakukannya, Dasagriva telah membekap mulutnya dengan sapu tangan yang telah dituangkan parfum dengan bau menyengat. Shanti jatuh pingsan dalam dekapan Dasagriva. Sesaat dan hanya untuk sesaat ia memandangi kecantikan Shanti dalam balutan kebaya modern. Titisan Laksmi bagi Dasagriva itu tampak kian indah dengan kerudung yang dikenakannya. Setelah itu, ia membopong Shanti dan menyembunyikannya dalam troli layanan binatu hotel, sebelum melarikannya dengan mobil yang diparkir di pintu belakang hotel.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti membuka matanya dan menemukan dirinya sudah berada di dalam kamar sebuah vila dengan pendingin ruangan yang membekukan. Tangannya terikat pada ranjang. Dasagriva mengambil selimut tebal dan membungkus tubuh Shanti dengan selimut itu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah kau masih kedinginan?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku haus.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Dasagriva segera pergi ke dapur untuk mengambil susu coklat hangat. Ia tahu betul kesukaan wanita yang dicintainya itu. Ia segera menyodorkan gelas susu itu ke mulut Shanti, tapi Shanti enggan membuka mulutnya. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku akan membuka ikatan tanganmu,” kata Dasagriva, “asal kau berjanji tidak lari?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti mengangguk. Dasagriva segera membuka ikatan tangan Shanti, lalu memberikan gelak susu coklat hangat kepada Shanti.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Segera habiskan,” kata Dasagriva, “biar tubuhmu hangat.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Mengapa kau melakukan ini?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku mencintaimu, Shanti.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Bukankah sudah kukatakan kalau kita tak mungkin bersama?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku sudah berjanji akan mengubah takdirmu.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Jika kau mencintaiku, mengapa kau menyakitiku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku tak bermaksud menyakitimu,” kata Dasagriva dengan nada penuh penyesalan, “maafkan aku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Dasagriva memang tak pernah menyakitinya. Selama seminggu ia berada dalam sekapannya, tak pernah sekali pun Dasagriva berlaku kasar kepadanya. Lelaki itu bahkan tak pernah menyentuh dirinya. Ia tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita dengan sopan. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku hanya ingin mencintaimu dan tidak ingin kehilangan dirimu,” kata Dasagriva ketika Shanti menyanyakan, mengapa ia menculik dirinya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Kau tidak mencintaiku,” kata Shanti, “kau hanya tak mau kehilangan harga dirimu karena orang yang kaucintai akan dinikahi oleh lelaki lain.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Dasagriva tak menjawab. Ia hanya menenggelamkan pandangannya ke lantai kayu dalam kamar vila itu. Beberapa saat kemudian ia mengangkat wajahnya, memandangi Shanti yang berusaha membuang tatapannya ke tempat lain.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah kau mencintai Ramacandra?” tanya Dasagriva hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku mencintainya,” tegas Shanti, “takdir telah menjodohkan kami bahkan sejak kami masih dalam kandungan.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Mengapa takdir tidak menjodohkanmu dengan diriku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku tak tahu.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Dasagriva membuka ikatan tangan Shanti. Ia menyerahkan kunci mobilnya kepada Shanti. “Kau boleh pergi sekarang.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Mengapa kau melepaskan aku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Karena aku mencintaimu.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Terlambat. Sebelum Shanti meninggalkan vila itu, Ramacandra sudah lebih dulu datang bersama pasukan dari kepolisian. Dasagriva tak memiliki apa-apa untuk melawan todongan senjata. Ia diam saja saat polisi mengalungkan tangannya dengan borgol. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti berusaha meminta polisi untuk melepaskan borgol pada tangan Dasagriva. Namun, polisi menolaknya. Sebelum polisi memasukkannya dalam mobil tahanan, Dasagriva sempat memandang ke arahnya. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Entah mengapa Shanti tiba-tiba ingin berlari menyusulnya, tapi tak ia lakukan. Ia mencintai Ramacandra, tetapi lelaki yang telah menculiknya itu begitu mencintainya. Apakah cinta yang dimiliki Ramacanda lebih besar dari lelaki itu? Dasagriva tak melakukan apa pun kepada dirinya selama masa penyekapan, meskipun sesungguhnya ia bisa melakukan apa pun kepada dirinya. Apakah Ramacandra akan melakukan hal yang sama jika berada dalam posisi Dasagriva?<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />***<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Ramacandra dan Dokter Laksmana masuk bersama perawat yang tadi memeriksanya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Maaf membuatmu lama menunggu,” ucap Ramacandra seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Shanti seperti hendak mencium kekasihnya itu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Shanti memalingkan wajahnya. “Kita belum resmi menikah, Rama.”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Ramacandra hanya tersenyum meski tampak kecewa. Sepanjang usianya belum sekali pun ia bertemu wanita serupa Shanti. <br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Apakah kau sudah siap diperiksa?” tanya Laksmana mencairkan suasana.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Aku tidak sakit, Laksmana!” tegas Shanti.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Adik tiri Ramacandra itu tersenyum mendengar perkataan calon iparnya itu. Ia menoleh ke arah kakaknya. Ramacandra hanya menganggukan kepala.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Suster, bawa Nona Shanti ke ruang periksa saya,” perintah Laksmana.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Perawat itu segera mendorong kursi roda mendekati ranjang tempat Shanti berbaring. “Silakan, Nona Shanti,” ujar perawat itu ramah.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Mulanya Shanti enggan naik ke atas kursi roda itu. Namun, ia beranjak juga dari kasurnya ke kursi roda. Sebelum perawat itu membawa Shanti ke ruang periksa, ia sempat melontarkan sebuah pertanyaan kepada calon suaminya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Rama, jika aku katakan bahwa Dasagriva telah menodaiku, apakah kau masih mau menikahiku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Ramacandra terdiam mendengar pertanyaan Shanti yang tak pernah diduganya. Ia menatap wajah kekasihnya, berusaha menemukan kesungguhan di balik perkataan kekasihnya itu.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />“Rama,” tegur Shanti, “mengapa kau tak menjawab pertanyaanku?”<br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Laksamana seolah memberi isyarat kepada perawatnya. Perawat itu langsung mengerti. Ia segera membawa Shanti keluar. Shanti masih saja memandangi wajah Ramacandra yang berusaha memalingkan wajahnya.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Ting! Pintu lift terbuka. Perawat mendorong kursi roda ke dalam lift khusus pasien. Setelah di dalam lift, ia menekan tombol angka tiga. Lift segera bergerak ke atas menuju lantai tersebut.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" />Hanya tinggal satu level lagi, sebelum mereka tiba di lantai tiga. Shanti sudah tahu apa yang harus dilakukannya, begitu pintu lift terbuka nanti. Ia tahu di mana bisa menemui Dasagriva, ia tahu di mana lelaki itu ditahan.<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><br style="margin: 0px; padding: 0px;" /><div style="text-align: right;">
Depok, 29 November 2012</div>
</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-51639739806437299662013-03-17T21:49:00.000-07:002015-12-21T21:49:59.514-08:00Air AkarCerpen Benny Arnas (<i><a href="https://lakonhidup.wordpress.com/2013/03/17/air-akar/" target="_blank">Jawa Pos</a>, </i>17 Maret 2013)<div>
<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-Lsvm3_YhloY/VnjXoh6QrzI/AAAAAAAAARA/1GgjsIqilpo/s1600/air%2Bakar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="500" src="http://1.bp.blogspot.com/-Lsvm3_YhloY/VnjXoh6QrzI/AAAAAAAAARA/1GgjsIqilpo/s640/air%2Bakar.jpg" width="640" /></a></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
LANGIT menggelegar, terus menggelegar, seolah seorang raksasa tengah muntab karena sarapan tak kunjung tiba. Rupanya, raksasa itu sudah lapar benar, hingga tak cukup baginya hanya meraung. Ususnya sudah melilit, perutnya sakit tak kepalang. Ia akhirnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Jarum-jarum bening bagai berebutan menciumi pucuk-pucuk karet, seolah tahu benar betapa pohon-pohon tua itu meranggas karena kemarau yang memamah beberapa purnama. Daun-daun kering yang menyelimuti hamparan tanah di bawah payungan kanopi karet, kini lindap, basah, lembab, lalu mempersilakan cacing, kalajengking, dan pacat menggeliat, mencari makan ke sana-ke mari. Tak lama, raksasa itu lelah juga. Wajah langit kembali merona biru laut. Di salah satu lembah, dekat Sungai Lubukumbuk, bianglala melengkungkan cahaya tujuh warna. Memang, sebagaimana di kampung lain, penduduk Kampung Nulang yang sebagian besar menyadap karet itu juga percaya bahwa beberapa bidadari kerap singgah di kampung mereka, di lembah yang sejuk oleh semak bambu, perdu, dan pohon-pohon besar tak bernama. Namun, mereka tak pernah tahu bahwa Tuhan telah menurunkan seorang bidadari di tengah-tengah mereka.<br /><br />Bunga Raya, demikian guru dua puluh enam tahun itu diberinama oleh kedua orangtua yang sudah bertamasya ke angkasa ketika usianya masih dapat dihitung dengan sejumlah jari di sebelah tangan. Namun begitu, tak banyak yang tahu perihal namanya yang indah itu. Penduduk Kampung Nulang memanggilnya Bunda Guru—dapat diendus bahwa murid-muridnyalah yang memberi gelar itu, murid-murid yang merasa tenang, damai, dan bahagia bila diajarnya.<br /><br />Lain lagi halnya dengan penduduk Kampung Nulang. Bunga Raya memang masih dipanggil Bunda Guru, tapi bukan guru seperti di tempatnya mengajar, melainkan guru orang-orang yang sakit. Ya, bagi mereka, Bunda Guru adalah mantri yang hebat. Mantri? Seorang guru jadi mantri? Bagaimana bisa?<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />ADALAH satu tahun yang lalu, ketika Bunga Raya menjejakkan kaki di sebuah SD di kampung yang berjarak lebih dari dua puluh kilometer dari Lubuklinggau. Saat memperkenalkan diri di hadapan murid-murid kelas lima, salah seorang murid tiba-tiba mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Kelas gaduh. Bunga Raya meminta beberapa anak laki-laki yang badannya bongsor untuk membopongnya ke ruang guru. Dibaringkanlah ia di atas kedua meja yang didempetkan. Bunga Raya bertanya apa yang dimakan murid itu pagi tadi. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya kecuali erang kesakitan. Untunglah salah seorang temannya memberitahu bahwa pagi tadi murid itu sebenarnya tidak diperkenankan berangkat ke sekolah oleh orangtuanya karena sejak malam tadi hampir setiap satu jam sekali ia hilir-mudik ke Sungai Lubukumbuk untuk buang hajat. Kala itu Bunga Raya melengkungkan kedua ujung bibirnya ke atas. Ia dapat mengira-ngira apa yang tengah mendera muridnya itu. Ia menyuruh salah seorang seorang murid yang rumahnya dekat dengan sekolah untuk membuat segelas oralit dan membawanya ke sekolah.<br /><br />“Oralit?”<br /><br />Ah, ingat sekali Bunga Raya bagaimana ekspresi beberapa muridnya ketika membunyikan kata itu dalam intonasi bertanya. Bahkan anak muridnya yang tengah menderita sakit perut itu pun menghentikan erangannya seketika demi memastikan apa yang baru saja ia dengar. Sore harinya, kedua orangtua Nalin, demikian nama anak yang terserang diare itu, mendatangi kediaman Bunga Raya di belakang sekolah. Sempat berdesir bulu kuduk Bunga Raya mendapati kedatangan mereka. Ia sudah khatam bagaimana tabiat penduduk Kampung Nulang yang berdarah panas; mudah naik pitam, dan gampang main tangan. O, apa yang terjadi dengan Nalin? Butir demi butir keringat tumbuh dari kening Bunga Raya. Namun semua kekhawatirannya menguap serta-merta ketika mengetahui maksud kedatangan mereka. Ternyata Nalin sudah sembuh. Mereka berterimakasih sembari membungkukkan badan. Ah, singkuh nian Bunga Raya. Beberapa hari setelahnya, Bunga Raya dikirimi beras, sayur-mayur, ikan-ikan sungai, bahkan tempoyak, sejenis asam durian khas Sumatera. Pada hari yang lain (mungkin ayah Nalin mengira Bunga Raya juga akan menyadap karet seperti perempuan Kampung Nulang pada umumnya), ia dikirimi sebotol cuka para, semacam air keras berwarna gelap yang sering digunakan untuk mencetak karet sebelum siap dijual. Bunga Raya tetap menerimanya (ia berencana akan memberikannya kepada penyadap karet sekitar yang membutuhkan).<br /><br />Barulah Bunga Raya paham dengan siapa ia berhadapan. Orangtua Nalin adalah dua orang terpandang. Ayahnya adalah juragan karet yang juga petinggi puak. Ibunya adalah seorang tabib (Ah, syukurlah ia tidak seperti tabib kebanyakan yang pongah. Ia mengakui betapa tak ada apa-apanya ia dibanding Bunga Raya yang berhasil menyembuhkan sakit perut anaknya). Benarlah kata orang, mulut adalah tali terpanjang untuk menyambung kabar dalam lingkaran. Ya, sejak saat itu, saban hari, ada-ada saja orang yang datang ke kediaman Bunga Raya untuk berobat. Sudah habis liur membasahi lidah, sudah lelah mulut menganyam kata, demi menyangkal keyakinan penduduk tentang karomah yang kata mereka diturunkan kepadanya, namun orang-orang kampung pandai nian membuatnya tak kuasa menolak menjalani peran baru itu. Ada-ada saja sanggahan dan desakan mereka. Beginilah orang kampung; bila keyakinan sudah bersarang, tak ada guna menghindar dari permintaan!<br /><br />Mati nian, Bunga Raya!<br /><br />Seiring matahari yang tak lelah menggelinding di cakrawala, Bunga Raya harus berdamai dengan kenyataan yang tak pernah diduga-duga. Dengan mengendarai sepeda motor kreditan, ia rajin ke kota setelah jam mengajar berakhir untuk membeli sejumlah obat di apotek.<br /><br />Namun … ternyata tak mudah meyakinkan penduduk untuk mengonsumsi obat-obatan moderen. Mereka masih mengira, oralit yang diberikan kepada Nalin tempo hari adalah ramuan rahasia. Walau sudah Bunga Raya ceritakan tentang mudahnya membuat oralit, tapi mereka masih bergeming selama itu bukan dari Bunga Raya sendiri. Maka, setelah berulang kali bolak-balik ke kota, setelah berulangkali berkonsultasi dengan beberapa dokter, ahli herbal, dan teman-temannya yang peduli, Bunga Raya akhirnya dapat membuat Air Akar. Demikianlah sari umbi-umbian dan akar-akaran itu diberinama. Air Akar diyakini dapat menyembuhkan sejumlah penyakit dan keluhan. Ramuan cokelat pekat itu biasanya dimasukkan ke dalam botol dan dapat digunakan untuk waktu berbulan-bulan.Memang rasanya pahit tak kepalang. Namun, ini bukan tentang rasa yang kerap diributkan orang-orang kota. Ini tentang tampilan yang harus berkarib dengan alam dan kampung yang sederhana. Untuk itu semua, Bunga Raya merelakan sebagian gajinya terpakai. Ya, Bunga Raya sadar benar, tak cukup hanya dengan bismilah untuk mengurusi nyawa orang!<br /><br />Ternyata Tuhan memang Mahaadil. Setiap tabiat mulia yang ditanam, tentulah akan tiba masa panen buahnya. Dan buah itu, bukan hanya dipetik Bunga Raya, tapi juga dinikmati para penduduk yang telah menahbiskannya sebagai guru serbabisa. Sejumlah keluhan yang lazim di derita penduduk, seperti kepala pusing, masuk angin, dan lesu yang berkepanjangan, dapat diatasi dengan Air Akar. O, Bunga Raya, ini bukan hanya tentang kemujaraban akar dan umbi-umbian. Ini juga tentang karomah Tuhan, zat yang takkan mendiamkan hamba yang sudah lintang-pukang mengikhtiarkan kebaikan ….<br /><br />Bunga Raya sadar benar. Bagaimanapun, negara menempatkannya di Kampung Nulang untuk mengabdi sebagai guru, bukan sebagai mantri. Maka, demi menjalankan kewajibannya tanpa mengabaikan orang-orang yang datang berobat, ia meminta Bu Mindu, seorang janda yang berjualan rempah di pasar kalangan saban Selasa, untuk membantunya di rumah. Ah, siapalah yang kuasa menolak permintaan Bunda Guru yang termasyhur nama, ilmu, kepandaian, dan kebaikan hatinya. Dan seolah berjodoh, tak membutuhkan waktu lama, Bu Mindu sudah cakap melayani keluhan ringan penduduk yang datang ketika Bunga Raya tengah mengajar di SD. Singkat cerita, Bunga Raya benar-benar terbantu karenanya. Ya, Bunga Raya dapat menjalankan dua perannya dengan hati yang bungah.<br /><br />Namun, tentulah bukan kehidupan namanya, bila kebaikan bisa berlayar tanpa diusik gelombang. Beberapa guru menjulukinya mantri abal-abal, mantri yang memanfaatkan kebodohan para penduduk untuk menangguk rupiah. Mereka seolah-olah mengkambinghitamkan persediaan beras, sayur-mayur, lauk-pauk, atau bahkan kain lasem yang Bunga Raya miliki sebagai dasar gunjingan. Terakhir, Bunga Raya mendapati mereka menggunjingkan dedikasinya terhadap anak-anak didiknya<br /><br />“Terlampau sibuk cari uang dengan menjual ramuan, bisa-bisa PNS baru tumenelantarkan anak-anak di sekolah.”<br /><br />Awalnya, Bunga Raya terbakar oleh sindiran itu, namun setelah dipikirnya masak-masak, tak guna melayani orang-orang yang tak dapat membuktikan ucapannya, tak guna menanggapi orang-orang yang diragukan pengabdiannya. Ya, lucu rasanya bila guru-guru yang kerap terlambat, justru sibuk menggunjingkan guru yang rajin. Lagipula, apa hubungannya dengan statusnya sebagai PNS baru. Apalah guna masa kerja yang lama bila tak paham jua tentang tugas dan kewajiban. Ya, dua jam pelajaran pertama di SD itu hampir selalu ditangani Bunga Raya seorang. Kadang ia meminta Bu Mindu dan Wak Samin, penjaga sekolah yang sudah pikun itu, untuk memastikan bahwa anak-anak didiknya tidak membuat kegaduhan di kelas-kelas yang lain. Sungguh, bila diperturutkan, betapa jengkel ia kepada kepala sekolah dan dewan guru yang kerap datang terlambat dan alpa mengajar.<br /><br />“Jangan samakan mereka denganmu yang tinggal di kampung ini, Bunda Guru,” ujar kepala sekolah ketika Bunga Raya mengeluhkan kedisiplinan yang tidak tegak lagi di SD Nulang. “Apalagi sekarang ’kan pengujung tahun, maklumilah bila mereka berhalangan datang karena hujan lebat.”<br /><br />Bunga Raya diam, mencerna kata-kata dari pimpinannya itu.<br /><br />“Dan … rekan-rekanmu itu tak bisa tinggal di Nulang sepertimu karena mereka punya rumah dan keluarga di Lubuklinggau….”<br /><br />Bunga Raya menunduk. Matanya hangat. O, Ayah, Ibu, di mana…?<br /><br />“Bukan maksud Bapak menyinggung perasaanmu…”<br /><br />Sejak itu, Bunga Raya belajar tahu diri. Ya, di antara sepuluh orang guru (termasuk kepala sekolah), hanya ia seorang yang memilih tinggal di Kampung Nulang setelah SK pengangkatan pegawai diterima. Ia pun memahami betapa jarak Nulang-Lubuklinggau sejatinya tidak dihubungkan oleh jalan yang lurus. Bahkan, tak lebih seperempatnya yang beraspal. Selebihnya adalah jalan-jalan koral, tanah liat yang bergelombang, kelokan yang melengkung, dan tanjakan serta turunan yang di salah satu sisinya jurang menganga bersembunyi di balik rimbun pakis haji dan rumput kanji. Belum lagi, beberapa jembatan yang harus dilalui adalah bilah-bilah papan merbau yang tua, rapuh, basah, dan berlubang di beberapa bagian. Dan di pengujung tahun seperti saat ini, tentulah hujan menjadi penyempurna yang indah untuk semua keadaan yang mengenaskan itu. Bunga Raya kibaskan lamunannya. Ia binar-binarkan wajahnya. Ia lapang-lapangkan dadanya. Begitulah. Begitulah yang kerap dilakukannya bila sedih yang merundung kian menggelisahkan.<br /><br /><div style="text-align: center;">
***</div>
<br />AHAD itu, Bunga Raya mengajak Bu Mindu ke Lubuklinggau. Sebelum men-starter sepeda motor, ia menitipkan kunci kepada Wak Samin. Ia juga berpesan; kalau ada yang datang berobat, silakan kembali bakda ashar.<br /><br />Selain membeli bahan makanan dan barang keperluan rumah tangga lainnya, kepergian Bunga Raya ke kota juga untuk menemui beberapa orang yang selama ini mengajarinya membuat Air Akar. Ia memang sudah meminta Bu Mindu untuk membawa ramuan yang isinya tinggal seperempat botol itu. Sejak empat hari yang lalu, Bunga Raya tidak nyaman dengan bau yang menguap dari ramuan itu. Benarlah, semua orang kompeten yang ia temui menyatakan Air Akar sudah waktunya diganti.<br /><br />Setelah menunaikan shalat zuhur di masjid dekat simpang pasar, dan memastikan bahwa semua barang sudah dibeli dan keperluan sudah ditunaikan, mereka menyusun barang-barang di sepeda motor agar tidak jatuh selama perjalanan. Baru setengah perjalanan ditempuh, langit perlahan-lahan kelam. Jarum-jarum bening bagai berebutan menusuk pakaian Bunga Raya dan Bu Mindu. Mereka berteduh di bawah pohon kelengkeng di tepi jalan. Mereka gegas mengenakan mantel yang sudah disiapkan di dalam boks sepeda motor. Namun, tangis raksasa itu terlampau hebat hingga hujan menghalangi pandangan Bunga Raya meskipun lampu sorot jauh telah dinyalakan. Beberapa kali mereka menepi untuk menunaikan ashar atau sekadar berteduh di bawah kanopi pohon rimbun. Tepat ketika azan magrib ditangkap gendang telinga, mereka telah tiba di rumah berpagar rerimbun kembang sepatu.<br /><br />Pintu rumah tampak terbuka. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Ah, Wak Samin memang cekatan, pikir Bunga Raya. Bunga Raya mengucap salam. Suara Wak Samin menjawab salam terdengar dari dapur. Bunga Raya masuk, duduk di kursi beberapa saat setelah membuka mantel. Bu Mindu langsung ke belakang untuk mengambil wuduk. Tak lama, Wak Samin muncul dari bilik praktik.<br /><br />“Bunda Guru, tadi ada anak tujuh tahunan dari kampung seberang yang mau berobat.”<br /><br />“O ya? Saya mohon maaf, Wak. Kami telat datang ….”<br /><br />“Ya. Saya suruh tunggu, tapi karena orangtuanya ada pekerjaan mendesak, jadi anaknya dititipkan di sini untuk diobati. Paling sebentar lagi mereka datang untuk menjemput.”<br /><br />“Anaknya mana, Wak?”<br /><br />“Sudah saya obati.”<br /><br />“Maksud Wak?”<br /><br />“Tadi Bunda Guru lama sekali pulangnya. Saya lihat anak itu pun sudah sesak napasnya. Saya ambil Air Akar di dapur. Saya tuangkan ke gelas. Saya suruh dia minum.”<br /><br />“Air Akar?” Bunga Raya memeriksa tasnya. Sebotol Air Akar ada di sana. Perasaannya tak enak. Gegas ia bangkit dan menuju ke dapur. “Air Akar yang mana, Wak?” Nada suaranya mulai cemas.<br /><br />“Anak itu memang mengerang kesakitan ketika menenggaknya. Tapi saya teringat kata-kata Bunda Guru, kalau minum obat itu memang rasanya tidak enak.” Wak Samin menyusul Bunga Raya sambil nyerocos penuh percaya diri seakan ia benar-benar berjasa telah membantu Bunda Guru dalam melakukan pengobatan.<br /><br />“Bunda Guruuu!” Teriakan Bu Mindu dari ruang praktik mengejutkan Bunga Raya dan Wak Samin.<br /><br />Bunga Raya beristighfar serta-merta. Di pembaringan, di lihatnya seorang anak kecil dengan tubuh biru-kaku terbujur dengan bibir yang terbakar. Bu Mindu menangis. Bunga Raya mengalihkan pandangan ke arah Wak Samin. Jantungnya berdegup terburu-buru. Wak Samin gegas ke belakang. Ia mengambil sebuah botol sirup yang berisi cairan cokelat pekat.<br /><br />“Saya sering melihat Bunda Guru memberikan Air Akar ini kepada orang-orang yang sakit,” ujar Wak Samin sembari menunjukkan botol di tangannya. “Sepertinya ini obat semua penyakit. Apalagi anak itu cuma mengerang sebentar. Setelah itu langsung tenang, bahkan langsung tidur.”<br /><br />Bunga Raya menyambar botol itu dari tangan Wak Samin. Bu Mindu terperangah. Tenggorokannya tercekat. Bibir Bunga Raya menggigil. Bahunya turun naik menahan buncah. Kepalanya bagai bergasing. Bunga Raya dan Bu Mindu bersitatap. Ada marah dan ketakutan yang menyala di mata-mata itu. Tangannya bergetar. Botol di tangannya jatuh. Pecah. Beling-beling berserakan. Isinya muncrat di kaki kanan Wak Samin. Laki-laki berumur itu mengerang kesakitan. Jari-jari sebelah kakinya terbakar seketika. Wak Samin berguling-guling menahan sakit, menahan sakitnya kulit yang terbakar, menahan sakitnya jari-jari kaki yang terbakar, terbakar oleh cuka para!(*)<br /><br />Nulang, 29 Agustus 2011<br /><br /> <br /><br />CATATAN:<br /><br />Air Akar adalah ramuan obat sebarguna warisan leluhur. Dahulu, orang-orang tua di Lubuklinggau kerap membuat dan menggunakannya untuk pengobatan. Air Akar tidak hanya terbuat dari jenis akar dan umbi-umbian (seperti bangle, kunyit, jahe, bawang putih, dll.), tapi juga dari bunga dan daun-daunan seperti kumiskucing, sisiknaga, altowali, greges, meniran, dan kejibeling.</div>
</div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-7772128872184400902013-03-14T23:49:00.000-07:002015-12-17T19:02:31.630-08:00Syair Duka<span style="font-family: "verdana" , "tahoma" , "arial" , serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px;">Oleh </span><b style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px;">Denny Prabawa</b><span style="font-family: "verdana" , "tahoma" , "arial" , serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px;"> (</span><i style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px;">Media Indonesia</i><span style="font-family: "verdana" , "tahoma" , "arial" , serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px;">, 14 Maret 2013)</span><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-9sOyxJBQljU/VnN2uC_aF_I/AAAAAAAAAOA/Ze7dyEiFywk/s1600/Toraja%252C%2BNur%2BAmri%252C%2B1998%2Bcopy.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="313" src="http://3.bp.blogspot.com/-9sOyxJBQljU/VnN2uC_aF_I/AAAAAAAAAOA/Ze7dyEiFywk/s640/Toraja%252C%2BNur%2BAmri%252C%2B1998%2Bcopy.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Toraja karya MN Amri (budiharyawan.blogspot.co.id)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Hai…! Di manakah orang sekampung kita?<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn1" name="_ftnref1" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><b style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[1]</span></b></span></span></span></a></span></i><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Ayo, Berdirilah lalu kita menuangkan kesedihan kita!</span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Seperti sebuah seruan. Orang-orang masuk ke dalam lingkaran<i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i><a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn2" name="_ftnref2" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[2]</span></span></span></span></a> di tengah <i style="margin: 0px; padding: 0px;">lantang</i>. Saling mengait jari kelingking mengalirkan kedukaan yang maha. Tubuh-tubuh berbalut kain hitam itu bergerak, ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang sambil mengayunkan kedua tangan yang terkaitkan. Bergerimit suara merapal syair. Mengenang mendiang yang telah berpulang.<span style="margin: 0px; padding: 0px;"> </span><i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ma’badong</i><a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn3" name="_ftnref3" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[3]</span></span></span></span></a>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Satu bulan lalu, Helena Rambulangi tutup usia. Sebagai keturunan Tomanurung, menjadi kewajiban</span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> bagi keturunannya untuk</span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> merayakan kematian. Bukan masalah bagi keluarganya yang kaya raya. Sawah terhampar berhektar-hektar. Kerbau di kandang puluhan jumlahnya siap dikorbankan. Kematian. Sebuah akhir yang mula. Sebuah mula segala. Ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puy</i></span><i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">a</span></i><a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn4" name="_ftnref4" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><b style="margin: 0px; padding: 0px;">[4]</b></span></span></span></i></span></a><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">, di <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puy</i></span><i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">a</span></i><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">… negeri jiwa tempat para leluhur bersemayam. Ke sana puluhan tedong yang dikorbankan siap mengantarkan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku tidak berada di sana, tapi tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Berdiri di antara <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>. Menari dan menyanyikan syair kedukaan. Melarut dalam gerak dan suara sambil membayangkan dirimu yang terbujur kaku dalam <i style="margin: 0px; padding: 0px;">erong<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn5" name="_ftnref5" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><b style="margin: 0px; padding: 0px;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[5]</span></b></span></span></span></a><span style="margin: 0px; padding: 0px;"> </span></i>berpahat kerbau itu.</span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> </span><i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Erong</span></i><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> yang kupahat sendiri dengan tanganku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Ajari aku syair itu, <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>! Ajari aku!” pintaku, merajuk kepadamu ketika untuk pertama kali kau mengajakku ke perayaan kematian sanak keluarga kita. “Aku ingin <i style="margin: 0px; padding: 0px;">ma’badong</i>!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Kau masih kecil, Nak,” katamu sambil mengelus kepalaku, “suatu saat nanti, kau akan menyanyikannya untuk <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Aku mau <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>, aku mau menyanyi, aku </span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">mau </span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">menari.</span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> Aku mau<i style="margin: 0px; padding: 0px;">ma’badong</i>.</span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, tak bisa aku melakukannya. Meski syair dan gerakan itu telah kuhapal luar kepala. Segalanya seperti sia-sia. Entahlah. Apakah harus kusyukuri takdir sebagai keturunan Tomanurung? Atau aku harus meratapinya?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Mari kita menguraikan kesedihan hati</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Tidakkah engaku berduka?</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Tidakkah kesedihan di hatimu?</i></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Pa’badong</span></i><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"> terus bernyanyi dan menari. Semakin lama, lingkarannya kian membesar. Tubuh-tubuh berbalut kain hitam itu berjalan ke depan ke belakang sambil mengayunkan kedua tangan yang terkaitkan. Kesedihan mengepung langit di atas Rantepao.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku tidak berada di sana dan tak akan pernah berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Berdiri di antara <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>. Menari dan menyanyikan syair kedukaan. Melarut dalam gerak dan suara sambil membayangkan dirimu yang terbujur kaku dalam <i style="margin: 0px; padding: 0px;">erong </i>berpahat kerbau itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Seperti ketika aku masih berseragam putih biru. Kautuntun aku masuk ke dalam lingkaran <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Tapi aku tak ha</span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">f</span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">al syairnya, <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>,” kataku tampak canggung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Dengarkan dan ikuti,” ujarmu sambil tersenyum.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku menautkan kelingkingku ke kelingkingmu. Lalu menajamkan telinga. Berusaha menangkap setiap kata yang terlafal dari mulut <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>. Seperti dengungan ribuan lebah. Bergerak sambil terus bergerak mengikuti irama. Maju. Mundur. Aku tersirap kata-kata. Tiba-tiba saja, bibirku sudah merapal syair-syair seolah aku telah mengha</span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">f</span><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">alnya sejak lama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, aku hanya bisa duduk di depan <i style="margin: 0px; padding: 0px;">erong</i></span><i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">-</span></i><span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">mu. Berbicara kepadamu, seolah-oleh nyawa masih bersemayam dalam tubuh kakumu. Mereka belum mau menganggapmu mati, sebelum aku merayakan pesta kematian untukmu. Pesta kematian bagi perempuan bergelar puang keturunan Tomanurung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Padahal, semua kerbau dan babi milik kita sudah habis seluruhnya untuk merayakan pesta kematian <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’</i>. Hanya tedong itu, tedong bonga pemberianmu, yang tersisa di dalam kandang kita.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Ah, mengapa begitu lekas kau menyusul <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’</i>?</span><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Sehabis ratapan memanggil ibunya;</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Putuslah angin pada mulutnya;</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Habislah jiwa pada badannya</i></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Bagaikan suara lebah. Mendengung dan terus mendengung seolah memanggil sesiapa untuk masuk ke dalam lingkaran <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i> di tengah<i style="margin: 0px; padding: 0px;">lantang<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn6" name="_ftnref6" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><b style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[6]</span></b></span></span></span></a></i>. Lingkaran itu bagaikan semesta kesedihan yang menyedot siapa saja untuk larut dalam kenangan akan mendiang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Melafalkan kedukaan. Melarut dalam kesedihan yang maha seraya mengenang perjalanan hidupmu. Menapaki jejakmu pada lantai kayu dan anak tangga di <i style="margin: 0px; padding: 0px;">tongkonan<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftn7" name="_ftnref7" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><b style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">[7]</span></b></span></span></span></a> </i>kita.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Menangislah, Nak, menangislah,” katamu, “jika itu bisa menghapus kesedihanmu. Nyanyikan saja dukamu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>, jangan tinggalkan aku,” mohonku ketika itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Setiap orang pasti mati, Nak,” rintihmu, “di <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>, di <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>… negeri kita yang abadi.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Dengan apa aku mengantarmu ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>? Tedong yang kita punya hanya tinggal seekor saja.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Menyanyilah, Nak,” pesanmu, “tarikan dukamu bersama <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>, pada tiap-tiap perayaan kematian. Syair-syair yang kaulafalkan akan mengantarkanku ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Namun, setelah 360 hari selepas kematianmu, tak juga aku mampu memenuhi permintaanmu. Percuma. Nanyian dan tarian saja tidak akan mengantarkanmu ke surga. Begitu kata mereka. Tak ada <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i> tanpa tedong bonga bagi seorang puang Tomanurung. Seekor tedong bonga pemberianmu tak akan cukup membawamu ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>. Masih perlukah aku <i style="margin: 0px; padding: 0px;">ma’badong</i>?</span></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Bersama dengan asap bara api</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Diikut-ikuti oleh awan</i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ke selatan negeri tuhannya jiwa di negeri jiwa</i></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Syair ratapan dilantunkan. Duka mengapung di atap bumi Rantepao. Orang-orang masih berdatangan. Sebagian memenuhi lantang. Sebagian turut bergabung dalam lingkaran bersama <i style="margin: 0px; padding: 0px;">pa’badong</i>, melantunkan syair ratapan. Menangisi keniscayaan kematian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku mendengar semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Menyaksikan kerbau-kerbau itu diarak sebelum diikatkan pada menhir-menhir peninggalan masa silam sebelum di bawa ke tengah lapangan, siap untuk dikorbankan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Apakah kerbau-kerbau itu akan membawa <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’ </i>ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>, <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>?” tanyaku, saat menyaksikan puluhan kerbau yang kita pelihara dikorbankan untuk merayakan kematian <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Kau tidak menjawab ketika itu. Hanya wajahmu menatap ke langit. Lalu jari telunjukmu menuntun pandanganku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Kerbau-kerbau itu, <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>!” ujarku, takjub menunjuk ke langit, “Mereka di sana, mereka di sana bersama <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’</i>!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi… kerbau-kerbau itu akan mengantarkan Helena Rambulangi ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Namun, 360 hari selepas kematianmu, hanya seekor kerbau belang pemberianmu yang aku miliki. Apakah babi-babi pemberian sanak saudara kita cukup untuk mengantarmu ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>?<span style="margin: 0px; padding: 0px;"> </span>Aku hanya anak muda yang tak punya pekerjaan kecuali memahat <i style="margin: 0px; padding: 0px;">tau-tau</i> dan kerajinan lain. Telah kubuatkan <i style="margin: 0px; padding: 0px;">tau-tau</i> terindah untukmu. Mereka pasti akan sulit membedakannya dengan dirimu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Ah, rasanya sia-sia kubuat <i style="margin: 0px; padding: 0px;">tau-tau</i> itu. Ia tak akan mampu mengantarmu ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>. Rasanya tak mungkin aku mendapatkan kerbau-kerbau itu. Apa boleh buat, pekerjaanku memahat hanya cukup untuk membuatku tak kelaparan. Dengan apa aku akan mengantarkanmu ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div style="background-color: white; font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt; vertical-align: baseline;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ke selatan ujungnya langit</i></div>
<div style="background-color: white; font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt; vertical-align: baseline;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ke selatan negeri tuhannya jiwa</i></div>
<div style="background-color: white; font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0cm; padding: 0px; text-indent: 21.3pt; vertical-align: baseline;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;">Di sana negeri orang yang bersedih</i></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Syair berkat telah dilantunkan. Keselamatan telah dimohonkan. Kerbau-kerbau digiring ke tengah lapangan, siap diadu sebelum dikorbankan. Orang-orang berkumpul melingkari arena menanti kerbau-kerbau itu saling beradu tanduk.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku tidak berada di sana dan tak akan mungkin berada di sana, tapi aku tahu segalanya. Aku megenang semuanya. Aku selalu membayangkan berada di sana. Mengenang kerbau belang kita yang jadi pemenang saat perayaan kematian <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Ambe’</i>. Satu-satunya kerbau yang tersisa dalam kandang milik kita. Aku teringat pesanmu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Pelihara dia baik-baik,” wasiat Indok saat sakit tak lagi menemukan obatnya. “Kau lebih membutuhkanya daripada aku.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Lalu dengan apa <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i> ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>?” tanyaku memeram kesedihan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Dengan syairmu,” kata <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i> memaksakan untuk tersenyum, “syair yang selalu kita nyanyikan bersama pada tiap-tiap <i style="margin: 0px; padding: 0px;">ma’badong</i>.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Tak ada <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i> tanpa tedong bonga, <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Indok</i>.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">“Percayalah kepadaku.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Kini, 360 hari selepas kematianmu, syair-syair itu mendengung-dengung terus di kepalaku. Tanpa kusadari, aku mulai menari sambil melafalkan syair kedukaan di hadapanmu. Sendiri. Ya, hanya seorang diri. Sambil membayangkan dirimu berada dalam <i style="margin: 0px; padding: 0px;">erong</i> tempat Helena Rambulangi disemayamkan. Mereka tak akan menyadarinya dan tak pernah akan menyadarinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Aku terus menari dan bernyanyi melantunkan kedukaan. Bergerak ke depan dan ke belakang sendirian. Hingga dari jendela kamar yang kubiarkan daunnya terbuka, ternampak dirimu di atas sebuah kerbau belang diiringi ratusan kerbau yang bergerak dan terus bergerak ke langit. Ke <i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>… di<i style="margin: 0px; padding: 0px;">puya</i>… negeri para leluhur berdiam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: justify; text-indent: 21.3pt;">
<br style="margin: 0px; padding: 0px;" /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px; text-align: right; text-indent: 21.3pt;">
<i style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; font-size: 12pt; margin: 0px; padding: 0px;">Pulokambing, 13/12/12</span></i></div>
<div style="font-family: Verdana, Tahoma, Arial, serif; font-size: 12px; line-height: 19.453125px; margin: 0px; padding: 0px;">
<br clear="all" style="margin: 0px; padding: 0px;" />
<hr align="left" size="1" style="margin: 0px; padding: 0px;" width="33%" />
<div id="ftn1" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref1" name="_ftn1" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[1]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> Terjemahan syair-syair ini diambil dari makalah <i style="margin: 0px; padding: 0px;">Badong Sebuah Tari dan Nyanyian Kedukaan di Tana Toraja</i> yang disusun oleh Harliati, Mahasiswi FIB UI.</span></div>
</div>
<div id="ftn2" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref2" name="_ftn2" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[2]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> Orang yang menari dan menyanyikan syair kedukaan</span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref3" name="_ftn3" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[3]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> Melakukan tarian dan menyanyikan syair kedukaan</span></div>
</div>
<div id="ftn4" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref4" name="_ftn4" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[4]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> Surga</span></div>
</div>
<div id="ftn5" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref5" name="_ftn5" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[5]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> Peti mati</span></div>
</div>
<div id="ftn6" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref6" name="_ftn6" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[6]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> <span style="background-color: white; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; margin: 0px; padding: 0px;">Rumah-rumah bambu yang didirikan saat upacara Rambu Solo’</span></span></div>
</div>
<div id="ftn7" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0px; padding: 0px;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1839988469841548908#_ftnref7" name="_ftn7" style="color: black; margin: 0px; padding: 0px; text-decoration: none;" title=""><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"><span style="margin: 0px; padding: 0px;"><span class="MsoFootnoteReference" style="margin: 0px; padding: 0px;"><span style="font-size: 10pt; margin: 0px; padding: 0px;">[7]</span></span></span></span></span></a><span style="font-family: "times new roman" , serif; margin: 0px; padding: 0px;"> <span style="background-color: white; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; margin: 0px; padding: 0px;">Rumah adat suku Toraja berbentuk seperti perahu, selalu menghadap ke arah utara</span></span></div>
</div>
</div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-56939848593630821902013-02-24T00:26:00.000-08:002013-09-20T00:32:11.978-07:00Pelukan<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Oleh<b> Mashdar Zainal</b> (<i>Suara Merdeka</i>, 24 Februari 2013)</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Georgia, Book Antiqua, Souvenir Lt BT, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-fhcPv18a-9A/Ujv4eichUYI/AAAAAAAAAOo/-6xVp4LLo_8/s1600/pelukan-ilustrasi-putut-wahyu-widodo.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="315" src="http://4.bp.blogspot.com/-fhcPv18a-9A/Ujv4eichUYI/AAAAAAAAAOo/-6xVp4LLo_8/s320/pelukan-ilustrasi-putut-wahyu-widodo.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="background-color: white; font-family: Verdana, sans-serif; font-size: x-small; text-align: start;">Pelukan ilustrasi Putut Wahyu Widodo</span></td></tr>
</tbody></table>
<div style="background-color: white;">
<br /></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">SETIAP pagi, di depan gerbang sekolah, Hardi selalu menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi, sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan, yang begitu indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir tak berkedip mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk kelas. Sepulang sekolah, ia juga selalu memperhatikan bagaimana Bram meloncat-loncat setelah dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil jemputan. Ia juga selalu melirik Bu Guru yang sangat suka memeluk erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus kecupan di kening.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Banyak sekali adegan peluk-memeluk yang ia saksikan sepanjang hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan tubuhnya yang kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa, hidupnya sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah memeluk atau dipeluk siapa pun. Bahkan, dalam mimpi sekalipun, Hardi tak pernah memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Di panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan, beberapa balita harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh datang dan kemudian mendiamkannya dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu jikalau harus menangis. Ia terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD seorang anak, apalagi anak laki-laki, tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis bukan perkara mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah, tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin mendapatkan pelukan dengan cara yang lain.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">***</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">BILA malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang susunnya, Hardi akan memeluk guling pesingnya berlama-lama sampai ia tertidur. Memeluk guling sebelum tidur rasanya sangat nikmat. Seperti memeluk seseorang yang sedia menemaninya sepanjang malam, ketika lampu dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk guling saja sudah begitu hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti jauh lebih hangat dan nyaman, pikirnya.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Pagi hari, sampai di sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya, dan masih banyak lagi. Hardi melongo. Keinginannya untuk memeluk dan dipeluk seseorang kian menjadi-jadi. Hingga ketika jam istirahat tiba, Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah memutuskan, ia akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Namun, rupanya kenyataan tak semanis yang dia bayangkan. Ketika ia mencoba untuk memeluk Siska, Siska malah mendorongnya hingga ia terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram, Bram malah menjotosnya dan mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk seseorang ternyata bukan pekerjaan yang mudah.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Tak selesai sampai di situ, setelah mendorongnya hingga jatuh, rupanya Siska masih belum puas dan melaporkan kejadian itu pada Bu Guru. Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya berdiri di muka pintu, sambil memeluk daun pintu, selama satu jam pelajaran penuh. Teman-teman sekelas Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada seorang pun yang sudi memahaminya.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Sambil memeluk daun pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk seseorang tanpa izin termasuk perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu jam pelajaran lamanya. Ketika jam pelajaran selesai, Bu Guru baru mempersilakannya duduk. Kaki dan tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah memeluk daun pintu yang keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama satu jam pelajaran penuh.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Sesampainya di rumah panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih berhati-hati. Ia tak akan memeluk orang sembarangan lagi. Ia juga akan menahan sekuat mungkin perasaan ingin memeluk atau dipeluk seseorang. Sampai malam tiba, seperti malam-malam sebelumnya, Hardi akan kembali mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan memeluk guling pesingnya. Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guru tak akan mungkin memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">***</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">KEESOKAN harinya, Hardi tidak ingin lagi memperhatikan adegan peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena itu bisa membuat keinginannya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah parah. Ia akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak mau keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi malapetaka. Hardi tak berniat memeluk siapa pun. Hardi tak ingin Bu Guru menyuruhnya memeluk daun pintu lagi.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru melenggang. Tiba-tiba Hardi memperhatikan lengan Bu Guru yang jenjang, juga dadanya yang lebar. Pasti mujur sekali menjadi anak Bu Guru, pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang nyaman.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Sekarang, mari kita menuliskan identitas kita masing-masing, mulai dari nama, alamat, tanggal lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita bacakan satu per satu, di depan,” Bu Guru masih terus mengoceh di depan, sementara Hardi masih terbengong-bengong, membayangkan dipeluk Bu Guru.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Hardi!” bentak Bu Guru membuyarkan khayalannya. Ia mengkhayalkan dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah membentaknya dan membuatnya kaget. Benar-benar tidak setimpal.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Perhatikan!” tegas Bu Guru lagi.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi mengangguk, merunduk-runduk.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Baiklah,” Bu Guru kembali melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih waktu sepuluh menit.”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Serentak anak-anak mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Di antara 30 anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai menyusul. Satu per satu, Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru berhenti agak lama ketika membaca buku tulis milik Hardi.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Hardi,” seru Bu Guru.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan giliran pertama untuk membaca di depan kelas?</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Coba bacakan ini, hobi dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi maju ke depan kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Nama Hardian, alamat….”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Stop, stop, baca hobi dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Hobi saya…,” berhenti sejenak, “memeluk.”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Tawa-tawa anak sekelas meledak. Serentak.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Siapa yang tertawa?” Bu Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Dengan suara terlunta, Hardi melanjutkan bacaannya, “Cita-cita saya… ingin dipeluk.”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Alunan tawa kembali menggelegar. Gempar.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Diam!” Bu Guru kembali menggebrak meja, sebelum kembali memelototi Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi mengerut. Tak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan memelototinya.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">“Memalukan! Kecil-kecil otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu Guru hukum memeluk tiang di teras depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas. Besok harus kamu perbaiki. Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Sepulang sekolah kepala Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata Bu Guru. Ia tak paham, “harus lebih jelas” yang dimaksudkan Bu Guru itu seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir bagaimana memperjelas hobi dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai hampir patah barulah Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis begini: hobi saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru. Sangat jelas.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi yakin, Bu Guru akan puas.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">***</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">KEESOKAN harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam terakhir. Hardi tak sabar menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan cita-citanya yang sudah sangat jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca hobi dan cita-citanya, barangkali Bu Guru akan terharu dan kemudian benar-benar memeluknya.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Namun, seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah berpihak pada Hardi. Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi dan cita-citanya yang baru, Bu Guru malah semakin marah dan kembali menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya memeluk pohon mangga yang ada di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil marah-marah, hobi itu paling tidak harus menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, atau sejelek-jeleknya bermain game. Sedangkan cita-cita lebih banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, ABRI, dokter, pelukis, atau petani juga boleh.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Hardi benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau memahaminya. Lepas dari itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati kecilnya, Hardi tak pernah suka menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi bermain game. Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak pernah terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan pohon mangga di depan ruang guru.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Terlebih tentang cita-cita yang ditawarkan Bu Guru, sama sekali tak ada yang menggiurkan. Keinginannya cuma satu, cita-citanya cuma satu; dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah kejadian menjengkelkan itu, sertamerta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk siapa pun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu Guru.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">***</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">SAMPAI di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru masih belum padam. Hardi jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini memang tak ada seorang pun yang benar-benar ikhlas untuk memeluk atau dipeluk orang lain, kecuali keluarganya. Buktinya, ia tak pernah melihat Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau terkadang papanya. Ia juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain kakeknya. Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Pikiran Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti asuhan? Tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu artinya, takkan pernah ada orang yang mau untuk ia peluk atau memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin sedih. Masa iya, aku harus memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta, berulang kali Hardi mencoba menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri, namun tetap saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya. Bagaimanapun, seseorang memang tak pernah bisa memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap butuh orang lain. Sampai matanya terlelap, Hardi masih bertanya-tanya, adakah seseorang yang sudi memeluknya? (*)</span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="font-family: Georgia, Book Antiqua, Souvenir Lt BT, Times New Roman, serif;">Malang, 26 Maret 2012</span></div>
Denny Prabowohttp://www.blogger.com/profile/09407160169211078259noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-8404106064835737202013-02-23T23:26:00.000-08:002013-10-09T19:37:27.675-07:00Kemuning<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Oleh <b>Sutono
Adiwira </b>(Tabloid <i>Cempaka</i>, 23 Februari - 1 Maret 2013)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/13186_549509925070764_808509702_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="226" src="https://fbcdn-sphotos-b-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/13186_549509925070764_808509702_n.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">koleksi Sutono Adiwira</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kalau
kau melintas di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan
antara Kota dan Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan
tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas ,
bisa jadi perempuan yang kau jumpai itu Kemuning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">****<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kemuning
menerima ajakan Sari untuk bekerja menjadi pelayan warung lesehan di area alun-
alun dengan setengah hati. Seminggu setelah ibunya menyatu dengan tanah, dengan
tanpa perasaan Jarwo bapak tirinya menjual rumah yang selama ini mereka tempati
bertiga. Mau tak mau Kemuning akhirnya tinggal dengan keluarga Lik Daunah. Lik
Daunah dan Lik Parman sebenarnya sayang
sekali dengan Kemuning, tapi apa daya ekonomi yang jauh dari mapan dengan
selusin anak yang masih kecil- kecil membuat Lik Daunah mewajibkan Kemuning
ikut membayar beban listrik dan lain- lain setiap bulannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kali
pertama bekerja, Kemuning membantu Mba Ipah, pemilik warung menyiapkan menu yang dipesan pelanggan,
mencuci perkakas seperti piring, sendok, garpu dan gelas . Sesekali matanya
yang indah mengamati cara Sari menyajikan pesanan, berbasa-basi dengan
pelanggan. Kemuning hanya bisa menelan ludah menyaksikan Sari yang terlihat
genit dan sedikit nakal pada pembeli laki- laki. Andai bisa bekerja di tempat
lain? Kata hati Kemuning. Matanya menerawang, nelangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Waktu
berlari cepat. Meski di betah- betahkan, tak terasa Kemuning sudah tiga bulan
bekerja di warung Mba Ipah. Kini dirinya menjelma menjadi kembang lesehan.
Meski tidak genit, Kemuning yang cantik menjadi magnet di warung yang buka
mulai bakda magrib dan tutup dini hari tersebut. Kecuali mengobrol, dengan
halus dan sopan Kemuning selalu menampik setiap ajakan pembeli berhidung
belang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Ada
dua orang yang datang ke warung Kemuning dan tidak pernah mengutarakan niat
macam- macam selain alasan untuk
mengganjal perut dan minta ditemani ngobrol. Dua lelaki itu datang pada hari
yang berbeda. Danu, tentara yang tinggal tak jauh dari alun- alun selalu datang
pada malam minggu. Satunya lagi Pras, mahasiswa tingkat akhir universitas
terkenal di Tegal, mengunjungi Kemuning tiap minggu malam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki
memuja kesuburan. Sedang perempuan mendamba kematangan dan kemapanan. Meski
dua- duanya menarik, tentu saja kalau diminta, Kemuning akan menjatuhkan
pilihan kepada Danu yang sudah punya pekerjaan dan penghasilan tetap tinimbang
Pras yang meski terlihat dewasa tetapi masih menadahkan tangannya kepada
orangtua.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Dan
malam itu, Kemuning yang biasanya pulang bersama jompleng milik Mba Ipah, kali
ini tak bisa menolak ketika Danu ingin mengantarnya pulang. Di temani cahaya gumintang, Kemuning dengan tersipu malu menerima Danu
sebagai kekasih.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Setelah
itu, Danu hampir tiap hari mengunjungi warung Kemuning. Untuk menjaga perasaan
kekasihnya, Kemuning berusaha menjaga jarak dengan lelaki lain termasuk Pras.
Kepada Pras , dirinya bahkan berterus terang telah menjadi kekasih Danu. Pras
terhempas. Seketika itu cintanya kepada Kemuning menguap terganti menjadi benci yang
menggunung. Dan kemuning kurang bisa menangkap isyarat itu.Kalau kau melintas
di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan antara Kota dan
Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan tubuh ramping
berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas , bisa jadi
perempuan yang kau jumpai itu Kemuning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kemuning
kembali merengguk luka. Danu yang biasanya datang ke warung tenda untuk
mengantar pulang ke rumahnya, malam itu tetap datang, tetapi kali ini tidak
sendirian tetapi ditemani seorang wanita yang ternyata isterinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Entah
bagaimana muasalnya, bisa saja Kemuning memanggil tukang becak atau ojeg yang mangkal tak jauh dari alun- alun. Tapi
Kemuning memilih menelpon Pras untuk datang menjemputnya pulang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kalau
kau melintas di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan
antara Kota dan Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan
tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas ,
bisa jadi perempuan yang kau jumpai itu Kemuning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Karena
mengaangap Pras orang baik, Kemuning manut saja ketika motor mereka tak melaju menuju arah rumah Lik
Daunah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kalau
kau melintas di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan
antara Kota dan Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan
tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas ,
bisa jadi perempuan yang kau jumpai itu Kemuning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Karena
menganggap Pras orang baik, Kemuning bagai kerbau di cocok hidungnya ketika
motor di-rem di sebuah rumah yang
katanya milik teman lamanya. Kemuning juga tanpa pikir panjang meneguk segelas
kopi yang entah telah dibubuhi apa. Yang
jelas setelah isinya kosong, kepala Kemuning dipenuhi kunang- kunang yang
berputar- putar, beberapa menit kemudian tubuh rampingnya tak sadarkan diri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kalau
kau melintas di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan
antara Kota dan Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan
tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas ,
bisa jadi perempuan yang kau jumpai itu Kemuning.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kemuning
menemukan dirinya dengan pakaian dan tubuh yang tak lagi utuh. Dan sebelum
kesadarannya benar- benar pulih empat laki- laki dengan seringai serigala
kembali menerkam, mengoyak paksa mahkotanya lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">Kalau
kau melintas di Karanganyar tepatnya tiga kilo meter dari gerbang perbatasan
antara Kota dan Kabupaten Tegal dan engkau mendapati seorang perempuan dengan
tubuh ramping berwajah ayu yang tak henti memaki pengguna jalan yang melintas ,
bisa jadi perempuan yang kau jumpai itu Kemuning. Oiya, kalau kau bertemu
dengan dia, sampaikan salam untuknya. Katakan kepada dia, aku akan datang
untuknya suatu hari nanti.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-501927131269698737.post-59658868892710232502013-01-20T21:39:00.000-08:002013-02-06T22:01:07.056-08:00Belajar Setia<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><b>Oleh Benny Arnas </b>(<i>Media Indonesia</i>, 20 Januari 2013)</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/02/belajar-setia-ilustrasi-media-indonesia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><img border="0" height="320" src="http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/02/belajar-setia-ilustrasi-media-indonesia.jpg" width="277" /></span></a></div>
<div>
<b><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></b></div>
<div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><b>PADA</b><span class="apple-converted-space"> </span>kedatangan tak diundang dan tanpa pemberitahuan, pemuda 27 tahun itu sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang, perawan yang saban petang selalu menyendiri di simpang kabupaten. Kebiasaan yang sudah berumur 25 tahun.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Namun alih-alih mendengarkannya, perempuan itu bahkan tidak serta-merta bisa menerima kedatangan seorang tak dikenal. Pemuda itu berusaha tampak tenang, seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan. Ia katakan bahwa sudah hampir dua tahun ia mencari perempuan itu. Jadi, adalah konyol apabila ia harus kembali tanpa menuntaskan maksudnya.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif; text-indent: 0.25in;">Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi, katanya. Namun apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda baik. Apalagi perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan menyilakannya masuk.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif; text-indent: 0.25in;">Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan tujuannya mulai menyala.</span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam rumah papan itu, perempuan itu sudah mengejutkannya. “Namamu Musmulikaing,” begitu gumamnya. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Dan, ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya menatap si pemuda tanpa selidik. “Aku tak pernah berpikir kalau kali ini mimpiku akan jadi kenyataan.” Lalu ia berlalu ke bilik belakang, menyeka tirai kerang yang sudah jarang dan renggang.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang lenyap di balik bilik.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama Musmulikaing akan datang dalam waktu dekat.” Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu. Sesekali bunyi sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang telinga. “Namamu memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak tahu kapan dan di mana namamu pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga mimpi, kadang tak bisa dinalar.” Perempuan itu sudah kembali menerobos tirai dengan secangkir teh hangat di tangan kirinya. “Tapi mimpi kali ini, bagaimanapun, rasanya ada yang lain.” Ia meletakkan cangkir teh itu di atas meja lalu duduk di kursi rotannya. “Minumlah. Tamu adalah raja. Apalagi tamu dari alam mimpi.” Ia tertawa kecil, seperti mengejek kata-katanya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan sebuah kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih sebagai perpanjangan kehendak seseorang; apa-apa yang tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia bawa ke dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur, mimpi yang tak berguna!”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu mendatangimu?” tanya pemuda itu setelah menyeruput teh.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mayang menggeleng. “Tapi… bukannya, kau ingin bercerita?”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: center; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">***<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Syahdan, seorang laki-laki mengungkapkan rahasia terbesar dalam hidupnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya. Sang gadis benar-benar kecewa dengan apa yang keluarganya perbuat. Ia memang menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan 20 orang sanak kerabat, 12 nampan berisi bejek ketan hitam, 6 tandan pisang tanduk, dan sepikul beras dayang rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap dan menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya atas kepongahan keluarganya. Maka, lewat seorang pesuruh yang setia, ia mengirimkan sepucuk surat kepada si pemuda. Ternyata maksud tak selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang dilemparkan si pesuruh—sebagaimana amanah si gadis—lewat daun jendela kamar si pemuda, tertangkap pandang oleh ayah si pemuda.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif; text-indent: 0.25in;">Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang ayah tak pernah menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga putranya ia jodohkan dengan seorang perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun kemudian.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif; text-indent: 0.25in;">Ia tahu, putranya menerima begitu saja karena kecewa pada kekasihnya yang tiada kabar berita setelah pengusiran itu. Bagi si pemuda, peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh darinya, melepas hubungan yang sudah sekian lama dikebat….</span></div>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br />
</span><br />
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Istrinya, karena tak kuat menjadi pajangan yang hanya digauli di malam punai, akhirnya meradang berpanjangan. Sebenarnya, tiadalah si pemuda bermaksud demikian. Namun, alam bawah sadar bagai menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang bukan tabiatnya. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang dirumahkan. Tanpa sapa, canda, apalagi cerita mesra. Entah karena ajal yang sudah tiba atau rajaman kenelangsaan, sang istri meregang nyawa beberapa hari seusai melahirkan anak pertama; laki-laki.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Suaminya membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia ingin membuktikan kepada ayahnya yang sudah renta bahwa cintanya kepada gadis Kayuara itu tak akan luruh hingga kapan pun, oleh apa pun. Awalnya sang ayah tak mengacuhkan. Namun, mendapati kenyataan bahwa putranya mampu hidup sendirian sembari membesarkan cucunya hingga bujang, adalah tamparan keras baginya. Ia trenyuh. Sungguh, sebenarnya ia benci pada ketaklukannya. Namun begitu, sejatinya ia lebih benci lagi pada keegoisannya yang berlumut dan baru terkikis setelah hampir seperempat abad kemudian—walaupun ia jua takkan lupa kesombongan keluarga si gadis.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Maka, pada suatu malam yang temaram, di ujung sakit tersebab usia yang berkarat, ia membuka rahasia itu. Tentang surat itu. Tentang pertemuan—di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang terbenamnya matahari—yang tak pernah ia beritakan kepada putranya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: center; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">***<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Simpang Muarabeliti—ibu kota kabupaten?” Tiba-tiba perempuan itu menyela.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu mengangguk.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Petang?” Pemuda itu mengangguk lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki itu tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu diam.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“… dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak sudi punya anak pembangkang, tak sudi serumah dengan gadis yang mencintai pemuda tak sepadan.”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. “Mengapa, mengapa ceritamu….”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip dengan kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Jangan sok tahu!” Suara Mayang meninggi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Bukannya Ibu yang sok tahu?” Pemuda itu balas berseru. “Ibu sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mayang tercenung seperti terhenyak. Lalu perlahan ia kembali duduk. “Ternyata penantianku adalah panggilan tanpa bunyi dan jawaban.” Suaranya terdengar lempang tanpa gairah. Matanya memerah.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?” Suara pemuda itu lirih, hampir tak terdengar.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tiba-tiba meleleh.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Menantikan Semibar?” Suara pemuda itu bagai tercekat.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Dan kau adalah Musmulikaing.” Suara Mayang memarau. Ada senyum tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air matanya dengan ujung baju katunnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Bukan!” tukas pemuda itu cepat. “Aku….”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Ya, bukan hanya itu!” potong Mayang tak kalah cepat. “Musmulikaing adalah buah perkawinan Semibar dengan Jeruma yang tak berumur lama.”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mulut pemuda itu terkunci.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti Umar Hamid, kan?!”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum. “Terima kasih atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga ulung. Untuk menjelaskan semua keganjilan masa silam kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk bertandang dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku.”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">“Aku tidak marah pada Semibar. Tak ada guna. Aku bahkan memaklumi perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah tinta daun bilau yang menetes di kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan sekalipun. O ya, sampaikan pada ayahmu: ‘Ada salam dariku’.”<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin menjelaskan kalau namanya bukan Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan: seorang perempuan rela melajang hingga usianya merayap separuh abad.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan takzim, seolah tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa kabar gembira nan memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu menyampaikannya kepada Semibar.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kepada ayahnya. (*)<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: right; text-indent: 0.25in;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Linggau, Agustus-Desember 2012<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;">
<br /></div>
</div>
galerikaryaflphttp://www.blogger.com/profile/15974320776216159590noreply@blogger.com0